Ia mengalami kematian konyol setelah mencaci maki sebuah novel sampah berjudul "Keajaiban Cinta Capella". Kemudian, ia menyadari bahwa dirinya menjelma menjadi Adhara, seorang tokoh sampingan dalam novel sampah itu.
Sayangnya, Adhara mengalami kematian konyol karena terlibat dalam kerusuhan.
Kerusuhan itu bermula dari Capella, si tokoh utama yang tak mau dijadikan permaisuri oleh kaisar.
Demi kelangsungan hidupnya, ia harus membuat Capella jatuh cinta dengan Kaisar Negeri Bintang. Kesulitan bertambah saat terjadi banyak perubahan alur cerita dari novel aslinya.
Mampukah ia mencegah kematiannya sebagai Adhara, pemeran pembantu dari dunia novel yang berjudul "Keajaiban Cinta Capella"?
"Mungkin ini hanya jalan agar kita bisa bertemu lagi, dan saling mencintai dengan cara yang lebih bahagia."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira Akira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"AKU MENCINTAIMU"
Setelah semua pengalaman kebatinan yang dialami oleh Adhara. Mendadak ia mulai berpikir kritis.
Ia kira, perpindahan jiwanya dalam raga Adhara merupakan hal yang paling aneh. Namun pengalaman kebatinan lebih aneh lagi.
Adhara meraba tangannya sendiri, dan mengingat bagaimana tubuhnya pudar layaknya roh dalam film-film.
Bagaimana bisa seorang manusia, elemennya padat, bisa pergi ke masa lalu?
Di dunia ini terlalu banyak hal yang tak bisa dibuktikan secara logis. Tetapi, semuanya nyata. Ia telah mengalaminya.
Lagipula anak laki-laki itu siapa?
Anak itu seperti seseorang yang di atas dunia nyata. Keberadaan anak itu sepertinya tidak fana, dia bukan manusia.
Daripada memikirkan banyak hal rumit, ia memutuskan untuk membersihkan diri dan bersiap. Bagaimana pun ia adalah penasihat kekaisaran. Sebisa mungkin dia selalu mengetahui aktivitas kaisar. Dengan cepat ia bersiap, bahkan tanpa menunggu Shaula untuk menyiapkan perlengkapannya.
Di kehidupan sebelumnya, ia selalu mengerjakan segala sesuatunya sendiri. Ini hanya persoalan mengurus dirinya sendiri. Mungkin ia tak bisa menata rambutnya sendiri sepeti yang biasanya Shaula lakukan. Jadi, hari ini dia hanya mengikat rambut panjangnya sebagian.
Baru saja ia ingin bangkit, pandangannya teralih pada jepit rambut giok milik Agena Centauri. Tangannya terulur untuk mengambilnya, memasangnya pada rambutnya yang diikat sederhana.
Setidaknya ia sudah memiliki jepit rambut ini, meskipun ia tak bisa memiliki pemberinya.
Ia keluar dari kediamannya dengan cepat. Adhara tak mau bertemu dengan Capella untuk saat ini. Ia hanya tak bisa memikirkan bagaimana ia harus menghadapi Capella yang tengah cemburu buta padanya.
Adhara berjalan pelan menuju istana Alnair. Sepertinya sudah lama Adhara tak kemari, tetapi keadaan istana Alnair tetap sama. Istana ini tetap seperti bangunan-bangunan kuno dalam buku sejarah.
Mungkin di masa depan, istana ini akan menjadi salah satu tempat bersejarah. Ia memikirkan berapa besar keuntungan dari tempat bersejarah ini jika dibuka sebagai destinasi wisata. Lagipula Adhara belum sempat menuliskan haiku-nya di sini.
Ia tak bisa menuliskan haiku erotisnya yang sempat ia buat. Kaisar sudah mendengar isi haiku-nya, dan ia tak punya wajah lagi jika kaisar melihat haiku itu tertulis di dinding istana Alnair.
“Nona.”
Adhara melihat Regor mendekat ke arahnya. Dengan basa-basi busuk, Adhara membungkukkan tubuhnya dengan anggun untuk menyapa Regor. Adhara sering lupa untuk melakukan ini, sehingga ini pertama kalinya ia menyapa Regor dengan salam khas puteri bangsawan.
Melihat Adhara yang tiba-tiba sopan, Regor mendadak mundur ketakutan. Wajah Regor memucat, dan ia memberanikan diri untuk mencubit pipi Adhara.
Jdughh..
Adhara langsung menendang tulang kering Regor sekuat yang ia bisa. Setelah melihat Regor membungkukkan tubuhnya menahan sakit, Adhara meninggalkannya begitu saja.
“Ad..uh.. Nona, tunggu.”
“Pergi sana ke danau, tangkap katak, untukku. Jangan mendekat kalau kau tak bisa menangkapnya.”
Adhara berjalan dengan cepat meninggalkan Regor, tanpa melihat wajah Regor yang tak terima.
“Nona, kemarin saya sudah menangkap tiga ekor. Bukankah itu sudah cukup untuk jadi mainan anda,” ucap Regor sambil mengikuti Adhara dari belakang.
Jdughhh…
Adhara berbalik tiba-tiba dan menendang kaki Regor lagi, “Siapa bilang katak itu mainan ku? Aku hanya ingin menolong katak itu agar tak hidup terombang-ambing di danau itu,” bela Adhara keras kepala.
“Nona mau membangun Negeri Katak?”
“Jangan banyak tanya. Kerjakan, atau aku akan melaporkanmu pada kaisar,” Adhara memasang wajah marah.
Akhir-akhir ini Adhara sering menggunakan ancaman ini pada Regor. Dan anehnya, Regor mau-maunya diancam. Padahal, Adhara mana berani mengadu pada Aldebaran.
Memangnya Aldebaran itu bapaknya apa.
Namun seperti biasa, ancaman itu berhasil. Dengan lesu, Regor menuju danau untuk menangkap katak lagi. Adhara hanya bisa menahan tawanya karena berhasil menyingkirkan Regor yang cerewet.
Regor itu sama cerewetnya dengan kakaknya, Rigel. Jadi, Adhara hanya ingin menyelamatkan telinganya dari Regor.
Brukk
Baru saja Adhara ingin berjalan lagi, tiba-tiba tubuhnya ditabrak oleh seseorang yang tengah berlari. Sialnya, Adhara harus mendarat dengan tidak elit di lantai istana Alnair.
Mengapa ada orang yang berlari di istana kediaman kaisar? Memangnya ini taman bermain apa?
“Sakitnya….”
Adhara menoleh ke arah suara dan mendapati seorang gadis yang juga terjatuh di lantai. Rupanya gadis ini yang baru saja menabraknya tadi.
Lihat, inilah mengapa kau perlu berlari hanya saat lomba lari. Jika kau berlari sembarangan, kau akan terjatuh. Ingat, ini pesan moral!
“Kalau berjalan itu lihat-lihat,” omel gadis itu seenak perutnya.
Wah, wah. Cari konflik!
“Bukannya kau yang lari-lari ya,” Adhara mendadak ingin mengambil sepatunya.
Gadis itu membersihkan gaunnya dengan jengkel, “Harusnya kau bisa memilih jalan. Kau lihat aku berlari di sebelah sini, berarti kau harus bergeser sedikit.”
Adhara menatap gadis yang lebih tinggi darinya itu dengan tajam. Mengapa jadi dia yang disalahkan? Dia adalah korban!
“Lyra.”
Adhara dan gadis itu sama-sama menolehkan kepalanya dan mendapati pejabat Auriga mendekat.
Ia tercenung sejenak. Jadi, ini dia Lyra Auriga. Pantas sama menyebalkannya dengan Pejabat Auriga ini. Adhara mendengus kesal.
“Pejabat Auriga,” Adhara menyapa Pejabat Auriga sesopan yang ia bisa.
Pejabat Auriga melirik sekilas pada Adhara, dan mengabaikan salamnya. Pejabat Auriga memilih untuk menghampiri Lyra yang masih bersungut-sungut.
“Mengapa kau pergi bergitu saja?” Pejabat Auriga menegur puterinya.
Lyra tak mau menatap ayahnya, “Ayah, aku tak mau terlibat semua ini.”
“Kau…”
Ucapan pejabat Auriga terhenti saat beliau mengingat bahwa ada orang lain yang mendengar pembicaraan mereka. Pejabat Auriga melirik Adhara dengan tatapan curiga, lalu memilih untuk menarik puterinya menjauh.
Adhara hanya mengendikkan bahunya, memaklumi permusuhan yang ditimbulkan oleh Pejabat Auriga padanya. Siapa yang tak marah pada seseorang yang melengserkanmu dari jabatannya?
Menolak untuk membuat keributan, Adhara menuju ruang baca kaisar.
Di depan ruang baca kaisar, Adhara bertemu dengan seorang pelayan yang baru saja keluar dari ruang baca. Adhara meminta pelayan itu untuk menyampaikan kedatangannya.
“Anda bisa masuk kapan saja, Nona. Yang Mulia sedang menunggu anda.”
Merapikan pakaiannya sebentar, Adhara masuk dan langsung memberikan penghormatan pada kaisar, “Keberkahan menyertai Kaisar Negeri Bintang.”
“Bangunlah, Adhara.”
Adhara menegakkan kepalanya. Tatapannya langsung terkunci pada tumpukkan gulungan di meja baca kaisar,
sedangkan kaisar terlihat tengah menulis sesuatu pada selembar kertas dengan kuas. Kepala kaisar sedikit tertunduk, dan mata tajamnya fokus pada pekerjaannya.
Lihatlah, Presdir versi kuno!
Mendadak Adhara ingin memotret kaisar, tetapi sayangnya belum ada kamera di zaman ini.
“Ada apa, Adhara?” kaisar menyadari bahwa Adhara masih menatapnya dengan cermat.
“Hamba menjawab, Yang Mulia. Hamba kemari untuk membantu.”
Kuas yang digunakan Aldebaran tiba-tiba berhenti, pandangannya teralih pada Adhara yang bersimpuh di hadapannya. Mendadak ia melepaskan kuasnya, dan berjalan menuju Adhara.
“Aku sudah bilang bahwa kau bisa bangun.”
Dengan cepat Adhara bangkit dari bersimpuhnya. Ia langsung berhadapan dengan Aldebaran. Saat itulah lagi-lagi Adhara menyadari bahwa jarak tinggi mereka sangat jauh.
Apa yang kaisar ini makan sehingga bisa setinggi ini?
“Dimana Regor?”
Adhara menggaruk kepalanya, merasa bersalah, “Hamba meminta Regor untuk membantu hamba.”
Tatapan Aldebaran terpaku pada penampilan Adhara yang sederhana. Biasanya Adhara akan menggunakan gaun yang lebar, dan tatanan rambut yang indah.
Namun kali ini, Adhara hanya menggunakan gaun putih sederhana. Rambut Adhara yang masih basah terurai dengan lembut sampai ke pinggang. Pipi Adhara memerah karena dingin. Mungkin saja gadis ini baru mandi, dan langsung kemari.
“Kau sudah sarapan?”
Ketika Adhara menggeleng, kaisar tahu bahwa tebakannya benar.
Adakah gadis bangsawan lain yang berani keluar dari kediamannya tanpa berdandan seperti Adhara?
“Siapkan sarapan,” perintah Aldebaran pada pelayan yang berdiri di luar ruang baca.
“Hamba berterima kasih atas kemurahan hati Yang Mulia. Namun hamba kemari bukan untuk merepotkan.”
Tarik ulur.
Adhara memang suka makanan gratis, tetapi ia tak boleh menerima langsung. Ini seperti kau sengaja menolak hanya untuk dapat sesuatu yang lebih besar. Lagipula karena menghindari Capella, Adhara langsung pergi dan tak sempat sarapan. Ia harus dapat makanan enak hari ini.
“Aku belum sarapan,” jawab Aldebaran singkat.
Adhara berpikir untuk mencari lubang agar ia bisa bersembunyi. Bagaimana bisa ia begitu percaya diri jika kaisar menawarinya untuk sarapan?
Sifat kaisar satu ini memang kadang asem.
Tak lama suara pelayan terdengar, makanan datang. Adhara menatap buas pada makanan yang tersaji di meja. Ini kan hanya sarapan saja, tetapi makanan yang disediakan seperti sajian satu keluarga besar. Pantas kaisar tumbuh dengan pesat.
Adhara menatap buas pada potongan-potongan besar daging sapi yang dipanggang di bara api. Disiapkan dengan kecap yang ditambah jeruk nipis dan sedikit cabai. Selain itu, ada ayam yang dipanggang utuh, diolesi madu. Mulut Adhara mendadak berair.
Kalau saja sajian ini dihidangkan dengan nasi, pasti lebih mantap rasanya. Tetapi, sejak pertama kali ia muncul di dunia novel ini, ia menyadari bahwa makanan pokok di Negeri Bintang bukanlah nasi. Padahal, rasanya kan belum makan jika tanpa nasi.
“Kau tak ikut makan?”
Adhara menyeka mulutnya tanpa sadar. Ia menatap makanan di meja masih dengan tatapan berbinar, tetapi ia mencoba untuk menahan diri.
“Hamba tak berani, Yang Mulia.”
Diam-diam Adhara menelan ludahnya dan menangisi takdirnya. Ia mungkin hanya bisa membayangkan daging sapi itu dalam imajinasinya. Adhara berusaha menutup penciumannya, tetapi ia segera berhenti saat menyadari bahwa napasnya terasa sesak.
“Temani aku makan,” titah Aldebaran.
Baiklah jika kau memaksa. :D
Adhara duduk di hadapan kaisar dengan cara yang seanggun mungkin. Matanya melirik pasif pada daging sapi yang terlihat bersinar di matanya.
“Makanlah.”
Tujuan pertama Adhara ialah daging sapi di atas meja. Dengan cepat Adhara memakannya dengan saus kecap. Setelah itu, ia mencoba sup ikan yang disediakan di mangkuk kecil. Ia meminumnya dengan pelan. Lalu…
“Kau suka makanannya?”
Adhara menganggukan kepalanya untuk menanggapi kaisar.
Di kehidupan sebelumnya, ia sering kelaparan. Mungkin karena hal itu, kehidupan ini ia jadi suka makan. Tubuh Adhara yang kecil ini juga anehnya sanggup menampung porsi makannya yang cukup banyak.
Adhara berhenti mengunyah saat menyadari kaisar tak menyentuh sedikitpun sajian yang ada di meja. Aldebaran hanya meminum teh herbal miliknya. Mendadak Adhara jadi tak enak hati. Adhara menghentikan aktivitas predatornya, ia meminum teh herbalnya untuk menutup sesi makannya dengan tak rela.
“Kau sudah kenyang?” Aldebaran mengangkat alisnya heran saat menyadari bahwa Adhara berhenti makan.
“Hamba merasa makan sendiri. Padahal, Yang Mulia juga belum sarapan. Hamba memohon maaf atas ketidaksopanan hamba.”
Selamat tinggal daging sapi panggang dan kecap yang dibuat dengan bahan pilihan.
“Kau bisa memakan apapun yang kau mau.”
Mata Adhara berbinar-binar. Baru saja ia ingin melanjutkan makan, ia mengingat alasan mengapa ia menemui kaisar.
“Mohon maaf, Yang Mulia. Bisakah hamba berbicara?”
Kaisar hanya memberikan isyarat tangan untuk mempersilahkan.
“Apa yang tertulis pada gulungan milik Mintaka?”
Mengingat ekspresi Menkalinan, Adhara yakin isi gulungan itu mungkin saja sangat penting untuknya. Namun Adhara tak bisa menanyakan hal ini pada Menkalinan. Lagipula bagaimana bisa Adhara tega untuk membuat Menkalinan menangis lagi.
"Apakah itu penting?" tanya Aldebaran sambil menatap Adhara lekat.
Adhara cengar-cengir tak jelas, "Sebenarnya itu tak terlalu penting. Hamba hanya penasaran mengapa kertas itu sangat berarti bagi Jenderal Menkalinan. Apakah itu mantra supaya awet muda seperti Mintaka?"
Kaisar masih menatap Adhara dengan lekat, karena itu Adhara jadi tak mampu menatap kaisar. Ia berusaha memfokuskan perhatiannya pada paha ayam yang masih mulus di atas piring giok.
“Aku mencintaimu.”
Tuk…
Potongan paha ayam yang berada di mulut Adhara mendadak jatuh ke piringnya kembali. Adhara tersentak saat mata Aldebaran menatap lekat padanya.
Sebisa mungkin Adhara menenangkan diri, dan kembali mengambil paha ayam yang terjatuh. Memasukkannya ke dalam mulut dengan tangan gemetar.
“B..egitukah. Hamba mengerti mengapa Jenderal Menkalinan menangis saat membaca itu.”
Mengapa suasananya sekarang menjadi canggung?
"Mungkin saja."
Ayo, Adhara! Cari topik lain, jangan terlibat momen love love di udara ini. Kaisar bukan jatahmu!
“H..amba melihat pejabat Auriga di luar istana Alnair," Adhara mengalihkan pembicaraan.
Kaisar meletakkan cangkir tehnya pelan. Matanya masih menatap lekat pada Adhara yang mengunyah paha ayam dengan anarkis.
“Sebuah pernikahan politik.”
Tuk…
Lagi-lagi ayam di mulut Adhara terjatuh. Kali ini hanya sisa tulangnya saja. Adhara mencoba mengambil tulang itu lagi, namun entah mengapa tangannya gemetar. Ia memilih untuk meraih cangkir tehnya, dan tanpa sadar menumpahkannya hingga mengenai gaun Adhara.
“Maafkan hamba. Maafkan hamba.”
Adhara mengusap gaun putihnya yang terkena tumpahan. Ia tak sanggup untuk menatap mata Aldebaran yang sebenarnya sangat ia sukai.
“Hamba mungkin harus kembali untuk berganti pakaian, Yang Mulia.”
Adhara berusaha bangkit dari duduknya. Ia hanya berharap ia segera keluar dari ruang baca ini, dan menangis sepuasnya di kamar.
Adhara tak lupa untuk membungkukkan badannya pada Aldebaran, “Hamba undur diri...”
Srettt..
Kaisar menarik tangan Adhara hingga gadis itu masuk ke dalam pelukannya. Membiarkan Adhara tenggelam ke dalam dadanya, mendengarkan detak jantungnya.
“Yang Mulia, ini…”
Ku mohon, jangan seperti ini!
“…….”
Keheningan muncul di antara mereka. Hanya terdengar suara degup jantung kaisar yang kini di dengar olehnya. Tak lama, ia merasakan dagu kaisar di atas kepalanya.
Adhara mencoba mendorong dada kaisar untuk melepaskan pelukan mereka, namun tangan Aldebaran sudah melingkari pinggang Adhara yang ramping. Memaksa Adhara untuk menghabiskan jarak di antara mereka.Bahkan, tanpa sadar mengangkat Adhara dari lantai.
“Apa yang harus aku lakukan untuk mengatasimu, Adhara?” suara dalam kaisar terdengar di telinga Adhara yang memerah.
Tangan Adhara mencengkeram jubah kekaisaran Aldebaran dengan erat. Menahan air matanya, dan menahan perasaan yang membara di hatinya.
Setidaknya untuk hari ini saja. Setelah ini, Adhara akan membiarkan perasaan ini pergi seperti angin.
“Aku…”
Brakk..
“Nona, aku membawa….” Regor mengangkat katak yang didapatkannya dengan bangga.
Adhara dengan kuat mendorong tubuh Aldebaran menjauh darinya. Untungnya pelukannya tidak seerat sebelumnya. Dengan cepat Adhara menjauh dari Aldebaran, dan pergi dari ruang baca kaisar.
Meninggalkan Regor yang masih mati gaya sambil memegangi katak yang ditangkapnya dengan susah payah.
Regor menelan ludahnya dengan takut-takut, menunggu jatuhnya bom dari kaisar.
“Regor!”
Katak yang Regor tangkap mendadak melompat dari genggamannya. Wajah kaisar semakin menggelap.
"Pergilah mengumpulkan nyamuk di luar istana Alnair. Jangan berani masuk jika kau belum mendapatkan seribu nyamuk untuk makanan katak yang kau tangkap. PERGI!”
“Baik, Yang Mulia.”
Dengan cepat Regor menangkap kembali katak yang terlepas. Ia pergi dengan cepat, sebelum kaisar ini mengeluarkan titah tak masuk akalnya lagi.
Regor akhirnya menyadari bahwa kaisar ini memang masih sangat muda. Bertindak sesukanya, dan kekanakan.
Selain itu, kaisar ini juga tak berpengalaman dalam hubungan cinta.
***
Terima kasih atas para pembaca yang masih setia dengan cerita ini. Tetap bersemangat dalam menjalani semua cobaan ini. Semoga kita semua tetap diberikan kesehatan.
Oh ya, tinggalkan jejak ya, teman-teman. Gratis kok itu :D
Adhios
cuman kayaknya belum nyampe sini...
Aku dibuat naik turun perasaan bacanya...
nano nano banget inih
pengen jadi kompor rupanya yh nih si Capella
bisa pada heboh nanti mereka
bahkan sampai menculiknya /Smug/
orang zaman dulu mah anggepnya kutukan ya /Facepalm/
jiwa jiwa ghibahnya mulai tumbuh kembali 😆
walaupun tubuhnya saja /Facepalm/
yang mau beli /Smile//Smile//Smile/