Untuk mengungkap penyebab adiknya bunuh diri, Vera menyamar menjadi siswi SMA. Dia mendekati pacar adiknya yang seorang bad boy tapi ternyata ada bad boy lain yang juga mengincar adiknya. Siapakah pelakunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29
"Kenapa lo ada di sini?" tanya Vera.
Vera berjalan terpincang keluar dari kamar mandi, tangannya masih berpegangan pada dinding untuk menjaga keseimbangan
Dwiki yang melihatnya langsung berdiri dan menghampiri. Dengan sigap, dia menahan lengan Vera dan membantunya kembali ke brankar. “Hati-hati, lo masih belum sepenuhnya pulih. Lihat lutut lo memar kayak gitu. Udah rontgen, takutnya ada keretakan,” katanya pelan.
Vera hanya berdecak, tapi dia tidak menolak bantuan Dwiki. Saat sudah duduk kembali di brankar, Dwiki merapikan selimutnya dan membetulkan selang infusnya.
“Gue bawa makanan,” kata Dwiki sambil mengangkat sebuah kotak makanan yang dia bawa dari rumah. “Nunggu makanan rumah sakit pasti lama.”
Vera menatap kotak itu sejenak, lalu kembali menatap Dwiki dengan pandangan datar. “Lo usir Saga?” tanyanya curiga.
“Nggak.” Dwiki membuka kotak makanannya dan menyodorkannya ke arah Vera. “Dia yang pergi sendiri.”
Vera tidak langsung merespons. Dia hanya menghela napas pelan dan mengambil sendok yang dipegang Dwiki, lalu mulai makan. Dia memang lapar. Sejak semalam perutnya kosong, dan baru sekarang dia merasa bisa makan dengan tenang.
Dwiki tersenyum kecil melihat Vera makan dengan lahap. “Pelan-pelan, jangan keburu-buru.”
Vera tidak menanggapinya. Dia hanya terus mengunyah karena dia benar-benar kelaparan.
“Lo kapan balik kuliah?" tanya Dwiki setelah beberapa saat hening.
Vera menghentikan makannya sejenak. Dia tidak ingin menjawab, tetapi tatapan Dwiki menuntut penjelasan.
“Secepatnya,” jawabnya singkat.
“Lo kuliah di mana? Kenapa gak menetap di sini aja?"
Vera kembali diam. Dia mengambil kotak makanan itu dari tangan Dwiki dan mulai melahapnya lebih cepat, seolah ingin menghindari pertanyaan lebih lanjut.
“Vera, lo nggak mau kasih tahu gue?” Dwiki bertanya lagi.
Vera menghabiskan suapan terakhirnya, kemudian meletakkan kotak makanan kosong di meja kecil di samping brankar. Tatapannya mengarah ke jendela, memperhatikan matahari yang semakin tinggi di langit. Cahaya keemasan menembus kaca, menerangi ruangan dengan lembut. Namun, baginya, sinar itu terasa hampa—seakan dunia terus berjalan tanpa peduli pada luka yang dia alami.
“Nggak ada gunanya gue tetap di sini,” ucapnya pelan. “Gue nggak punya siapa-siapa lagi.”
Dwiki yang duduk di samping brankarnya hanya terdiam. Dia tahu betul apa yang terjadi pada Vera. Dalam semalam, hidup gadis itu berubah drastis. Kepercayaannya hancur, rasa amannya lenyap, dan mungkin harapannya untuk masa depan ikut terkubur.
“Tapi lo nggak sendiri. Kan ada gue."
Vera tertawa kecil—bukan tawa bahagia, melainkan tawa getir yang penuh luka. “Gue udah cukup merepotkan lo dan Saga. Gue bisa jalanin hidup gue sendiri.”
Dwiki menggenggam tangan Vera yang ada di pangkuannya. “Kalau lo mau pergi, bilang aja. Gue bakal antar lo. Gue cuma mau balas budi karena lo, bokap, dan nyokap gue udah baik sama gue.”
Vera menoleh ke arahnya, menatap tangannya yang tiba-tiba digenggam Dwiki. “Iya, tapi lo nggak usah pegang-pegang gue.”
Dwiki tertawa kecil, lalu mengangkat tangannya sebagai tanda menyerah. “Baik, senior.”
“Yang sopan sama senior,” balas Vera, mengingatkan dengan nada tegas.
Dwiki terkekeh. “Memangnya lo semester berapa?”
“Dua.”
“Baru juga semester dua. Itu berarti umur kita sama, karena gue pernah nggak naik waktu SD.”
Vera menaikkan alis, menatapnya dengan bibir setengah terangkat. “Gak naik kelas aja bangga.”
Dwiki hanya tertawa sementara Vera menyandarkan tubuhnya lebih nyaman di brankar. Pandangannya kembali serius saat dia berbicara lagi.
“Dwiki, lo harus jadi anak baik,” katanya pelan.
Dwiki menatapnya dengan ekspresi bertanya. “Kenapa tiba-tiba ngomong gitu?”
“Sebentar lagi lo ujian kelulusan, kan?” Vera menatapnya tajam. “Kurangi nongkrong, merokok, dan hal nggak penting lainnya. Buktikan ke orang tua lo kalau lo bisa sukses, meskipun mereka udah berpisah. Jangan jadi korban keadaan. Kalau bisa, lo harus lebih sukses daripada bokap lo.”
Dwiki mengangguk santai, seperti tidak terbebani. “Tenang aja, gue nggak bakal gagal. Walaupun gue keliatan begini, otak gue encer. Jangan cuma lihat dari luar aja.”
“Iyakah?” Vera menatapnya ragu. “Hidup lo masih panjang. Gue sendiri aja nggak tahu bakal kayak gimana ke depannya. Gue cuma bisa kuliah karena beasiswa.”
Dwiki terdiam sejenak, lalu menatap Vera dengan intens. Ada sesuatu dalam tatapannya.
“Kalau gitu, gue bakal kuliah di kampus lo. Biar lo tidak sendirian,” katanya tiba-tiba.
Vera terbelalak. “Apa?”
“Gue mau daftar di kampus lo,” ulang Dwiki dengan nada santai, seolah itu keputusan yang sederhana.
Vera menggeleng cepat. “Dwiki, lo nggak perlu ngikutin gue ke sana. Lo bisa kuliah di mana aja. Lagian, gue nggak bakal balik lagi ke kota ini. Terlalu banyak kenangan buruk di sini.”
Dwiki menghela napas panjang, lalu menatap langit-langit ruang rawat itu sebelum kembali memandang Vera. “Gue nggak mau cuma jadi anak SMA yang lo kasih pesan terus lo tinggal pergi gitu aja,” katanya lirih. “Gue nggak mau kehilangan lo.”
Vera mendecak, lalu terkekeh kecil. “Modus lo kelewatan, Dwiki. Gue nggak bakal percaya sama buaya kayak lo.”
Dwiki tersenyum, tapi matanya tetap serius. “Gue serius. Kalau gue nggak boleh kuliah di kampus lo, setelah gue lulus kuliah dan kerja, gue bakal cari lo.”
Vera menghela napas, menatapnya lama. “Jangan. Kita nggak tahu gimana hidup kita nanti.”
“Justru karena kita nggak tahu, gue bakal cari lo,” jawab Dwiki serius. “Biar gue bisa pastiin kalau lo baik-baik aja.”
Vera mengalihkan pandangannya ke luar jendela, mencoba menata pikirannya. Dia harus fokus pada dirinya sendiri. Dia tidak boleh membiarkan kata-kata Dwiki menggoyahkan hatinya. Tapi entah kenapa, ucapan Dwiki barusan terus terngiang di pikirannya.
Dasar buaya darat! Hampir aja gue baper.
Ayooo semangat Dwiki cari dalangnya😥