Kalau nggak suka, skip saja! Jangan kasih bintang satu! Please! 🙏🙏
Gara-gara sebuah insiden yang membuatnya hampir celaka, Syahla dilarang keluarganya untuk kuliah di Ibukota. Padahal, kuliah di universitas itu adalah impiannya selama ini.
Setelah merayu keluarganya sambil menangis setiap hari, mereka akhirnya mengizinkan dengan satu syarat: Syahla harus menikah!
"Nggak mungkin Syahla menikah Bah! Memangnya siapa yang mau menikahi Syahla?"
"Ada kok," Abah menunjuk pada seorang laki-laki yang duduk di ruang tamu. "Dia orangnya,"
"Ustadz Amar?" Syahla membelalakkan mata. "Menikah sama Ustadz galak itu? Nggak mau!"
Bagaimana kisah mereka selanjutnya? Apakah pernikahan mereka akan baik-baik saja?
Nantikan kelanjutannya ya🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Om Suami Selingkuh?
"Assalamu'alaikum, apa kabar Nduk?" Terdengar suara Umi Zahra setelah video call tersambung.
"Alhamdulillah, sehat Umi," Syahla tersenyum ke arah ibundanya. "Abah mana?"
"Tadi sih masih ngaji," Umi Zahra tampak menoleh ke arah pintu sejenak. "Nah itu sudah datang,"
"Siapa?" Syahla bisa mendengar percakapan Abah Baharuddin dengan Umi Zahra.
"Syahla, katanya kangen." Jawab Umi Zahra sembari menyerahkan handphone pada suaminya.
"Halo, Abah!" Syahla menyapa ayahnya yang sudah lama tidak ia lihat. Meskipun masih saling menelpon setiap satu minggu sekali, tetap saja Syahla merasa rindu. "Abah apa kabar?"
"Alhamdulillah, sehat Nduk." Abah Baharuddin sepertinya kebingungan dengan teknologi handphone. "Kok muka kamu kebalik sih, Nduk?"
"Abah kali yang kebalik megang hapenya," Syahla tertawa. Abah Baharuddin kemudian membalikkan handphone, dan benar saja, gambarnya sudah kembali normal.
"Oh iya," Abah Baharuddin tertawa malu. "Eh, mana suamimu? Abah mau bicara,"
"Di depan," jawab Syahla asal. Sebenarnya dia sendiri juga tidak tau kemana perginya Ustadz Amar. Hanya saja, suara televisi dari ruang tengah membuatnya menebak-nebak kalau ada orang di sana.
"Kasihin Nduk, Abah mau ngobrol sama Amar."
Syahla menghela napas. Dia sebenarnya sangat malas untuk beranjak sekarang. Tapi, daripada nanti dia menolak dan dicap sebagai anak durhaka, Syahla lebih baik menurut saja.
Sesuai dugaan, Ustadz Amar ternyata sedang duduk di depan televisi. Menonton acara berita kesukaannya. Syahla kemudian menepuk pundak Ustadz Amar sampai lelaki itu menoleh dan memberi tatapan 'kenapa?'.
"Abah mau bicara," Bisik Syahla.
Entah hanya perasaan Syahla atau bukan, tapi wajah Ustadz Amar jadi terlihat lebih cerah. Segera saja mertua dan menantu itu saling mengobrolkan banyak hal, sampai-sampai Syahla merasa dia sudah dilupakan.
"Udah dong ngobrol sama Ustadz Amar Bah, memangnya Abah nggak kangen aku?" Syahla merajuk sambil ikut memposisikan wajahnya agar terlihat di kamera. Sehingga wajahnya dan Ustadz Amar menjadi semakin dekat.
"Aduh, kamu itu mengganggu saja. Mar, kalau Nduk Syahla nakal tolong dicubit saja ya,"
"Dih, Abah kok gitu, sih? Masa lebih sayang menantu ketimbang anaknya sendiri?"
Abah Baharuddin dan Umi Zahra tertawa terbahak-bahak. Setelah puas mengobrol, mereka berdua berpamitan dan telepon ditutup.
Suasana ruang tengah seketika menjadi hening. Ustadz Amar berpindah ke dapur untuk menyeduh kopi hitam kesukaannya. Sementara Syahla masih di atas sofa sambil memainkan ponsel.
Sebuah notifikasi panggilan masuk membuat Syahla menoleh. Suara itu bukan berasal dari handphonenya, tapi dari handphone yang tergeletak di atas sofa yang berarti adalah milik Ustadz Amar.
"Mama Muda?" Syahla membaca nama kontak yang terpampang pada layar. "Om Suami, ada telepon dari Mama Muda!" teriaknya pada Ustadz Amar yang berada di dapur.
Mendengar teriakan Syahla, Ustadz Amar berlari menghampiri dengan terburu-buru. Dengan agak kasar, Ustadz Amar merebut ponsel dari tangan Syahla dan langsung masuk ke dalam kamar serta menutup pintu rapat-rapat.
Syahla hanya bisa terbengong-bengong di tempatnya. Kenapa reaksi Ustadz Amar seheboh itu? Memangnya Mama Muda itu siapa?
"Kok, mencurigakan?" mata Syahla memicing. Entah kenapa, tiba-tiba ia merasa dadanya panas.
...----------------...
Dua jam sudah berlalu, dan Syahla masih berada di atas sofa dengan tatapan mengarah pada pintu kamar suaminya. Meskipun pintu kamar itu tertutup rapat, Syahla masih bisa mendengar suara dari dalam sana karena memang ruangan itu tidak dibuat kedap suara. Yang membuat Syahla tidak kunjung beranjak adalah tawa Ustadz Amar yang terdengar kencang, seolah sedang membicarakan sesuatu yang lucu.
"Kenapa lama banget?" Syahla melirik pada meja makan dimana kopi buatan Ustadz Amar tadi berada. Sudah pasti minuman hitam itu sudah menjadi dingin karena ditinggalkan oleh pemiliknya.
"Ngobrolin apa, sih?" Syahla jadi penasaran. Karena rasa penasaran yang sudah tidak bisa dibendung lagi, Syahla akhirnya memutuskan untuk berjalan mendekati kamar sang suami, lalu memposisikan telinganya menempel pada pintu kamar.
"Iya.. Aku juga kangen.." Mata Syahla terbelalak mendengar perkataan sang suami pada seseorang yang entah siapa. "Sebentar lagi kan kita ketemu.."
Syahla semakin menempelkan telinga agar suara Ustadz Amar semakin terdengar jelas.
"Besok setelah ngajar aku akan ke hotel, aku sudah nggak sabar ingin ketemu.."
Syahla menutup mulutnya shock. Kangen? Ketemu? Hotel? Apa sebenarnya yang sedang ia dengar?
"Yasudah, istirahat saja, pasti capek. Sampai ketemu besok,"
Syahla masih berusaha semakin mendekatkan indera pendengarannya. Sayangnya, pintu kamar itu tiba-tiba terbuka dari dalam, yang membuat tubuh Syahla otomatis condong ke depan.
"Aduh!" Syahla jatuh tersungkur. Ustadz Amar kaget bukan kepalang melihat kejadian itu.
"Istri ngapain, sih?"
"Eh, bukan, saya—" Syahla buru-buru bangkit dan berpikir mencari alasan. "Saya mau tanya Om Suami mau dibuatkan kopi lagi apa tidak karena yang tadi sudah dingin," Syahla harus memuji kemampuan otaknya yang bekerja dengan cepat. "Om Suami mau kopi lagi?"
"Nggak usah," geleng Ustadz Amar. "Saya bikin sendiri saja,"
"Tapi—" Syahla menggigit bibir saat Ustadz Amar menoleh dengan tatapan heran. "Om Suami tadi nelepon siapa, sih?"
"Teman," Jawab Ustadz Amar singkat.
"Oh, teman.." Syahla mengangguk-anggukkan kepalanya. "Teman siapa?"
"Kamu nggak kenal," Ustadz Amar menjawab sembari mencuci gelas kopi yang sudah dingin.
"Oh.." Syahla masih berusaha ingin memastikan. "Besok, Om Suami sibuk nggak? Kalau nggak, tolong anterin saya ke toko buku ya?"
"Besok banget?" Ustadz Amar sudah mengambil gelas baru untuk menyeduh kopi keduanya. "Besok saya mau pergi, jadi kamu pergi sendiri saja."
"Oh ya? Pergi kemana?"
"Kenapa tanya terus?" Ustadz Amar sudah selesai menyeduh kopi dan melihat Syahla dengan tatapan heran. "Tumben banget kepo sama urusan saya,"
"Hah? Nggak kok!" Syahla berkilah. "Saya kan cuma tanya saja. Kalau nggak mau jawab juga nggak papa," ucapnya sembari melangkahkan kaki menuju kamarnya. Sebelum benar-benar masuk, Syahla menyempatkan diri menoleh ke arah sang suami, dan ia merasa heran karena suaminya itu kembali melihat layar handphone sambil senyum-senyum sendiri.
Syahla jadi menutup pintu dengan ragu-ragu. Ia merasa perilaku suaminya terlihat aneh.
"Jangan sampai aja Pak Amar yang nyari cewek lain,"
Perkataan Anggika tempo hari tiba-tiba terngiang di kepalanya.
"Ah, masa sih?" Syahla merasa sangsi, tapi entah kenapa, ia punya firasat buruk. "Jangan-jangan..."
Syahla segera mendudukkan pantatnya di atas kasur dan mulai mengetik pada kolom pencarian google.
"Ciri-ciri suami selingkuh," gumamnya dengan jantung berdebar-debar. Setelah muncul, Syahla buru-buru mengeklik artikel yang berada di paling atas kemudian membacanya dengan teliti.
"Hah?" Syahla sampai berdiri dari duduknya setelah selesai membaca. "Suamiku beneran selingkuh!"
apalagi suaminya lebih tua