Empat tahun berlalu, Jagat Hartadi masih larut dalam perasaan cinta tak berbalas. Dia memilih menjalani hidup sendiri, hingga suatu malam dirinya membantu seorang wanita yang pingsan di pinggir jalan.
Jenna, itulah nama wanita tersebut. Siapa sangka, dia memiliki kisah kelam menyedihkan, yang membuat Jagat iba.
Dari sana, timbul niat Jagat untuk menikahi Jenna, meskipun belum mengenal baik wanita itu. Pernikahan tanpa dilandasi cinta akhirnya terjadi.
Akankah pernikahan yang berawal dari rasa kasihan, bisa menjadi surga dunia bagi Jenna dan Jagat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 9 : Salah Tingkah
Jagat menoleh, lalu menatap wanita yang menyapa Jenna.
Si wanita langsung mengalihkan perhatian kepada Jagat. Raut wajahnya seketika jadi serba salah. “Um, maaf. Aku ….”Ekor mata wanita itu beralih kepada Jenna, seakan memberi isyarat, sebelum kembali tertuju kepada Jagat.
“Hai. Aku Kania. Teman lama Jenna.” Dia menyodorkan tangan, mengajak Jagat bersalaman.
“Hai. Jagat Hartadi. Suami Jenna,” balas Jagat tenang dan penuh wibawa.
Ekspresi terkejut terlihat jelas di wajah Kania, meskipun berusaha disembunyikan. Wanita berambut pendek sebahu itu memaksakan tersenyum. “Suami?”
“Ya. Aku sudah menikah,” timpal Jenna menegaskan.
“Oh. Ini sangat mengejutkan. Selamat. Aku turut bahagia mendengarnya.” Kania memeluk Jenna, meskipun raut wajahnya terlihat aneh
“Jadi, apa itu berarti kamu akan menetap di sini dan tidak kembali ke Bali?” tanya Kania, seraya melepaskan pelukan dari Jenna.
“A … ya. Begitulah.” Jenna tersenyum, meskipun bahasa tubuhnya terlihat sangat kaku. Rasa terkejut atas pertemuan tidak disengaja dengan Kania, membuat istri Jagat tersebut jadi salah tingkah.
“Omong-omong, sedang apa kamu di sini?” Jenna sadar telah membuat Jagat menatapnya dengan sorot aneh. Dia berusaha mencairkan suasana dengan berbasa-basi.
“Liburan. Aku datang kemari bersama Om Bastian. Kami akan berkeliling sebentar, sebelum ….” Kania tidak melanjutkan kalimatnya, berhubung melihat pria yang disebutkan tadi datang menghampiri. “Om,” sapanya manja.
Namun, pria bernama Bastian itu justru tampak sangat terkejut ketika melihat Jagat.
“Pak Bastian. Apa kabar? Kebetulan sekali kita bertemu di sini,” sapa Jagat hangat, seraya mengajak bersalaman.
“Pak Jagat,” balas Bastian, membalas jabat tangan yang Jagat sodorkan. “Kabar baik. Bagaimana dengan Anda? Saya dengar, Anda baru melangsungkan pesta pernikahan.”
“Ya. Ini istri saya.” Jagat menoleh kepada Jenna, sebelum kembali mengarahkan perhatian kepada Bastian. “Jadi, Anda sedang berlibur di sini.” Jagat tersenyum kaku, saat ekor matanya tertuju kepada Kania.
Bastian tersenyum kikuk. “Begitulah.” Bastian terlihat lebih salah tingkah dibanding Jenna. “Baiklah, Pak Jagat. Selamat atas pernikahan Anda. Semoga selalu berbahagia.”
“Terima kasih, Pak Bastian. Selamat berlibur.” Jagat tersenyum kalem, lalu berdehem pelan. Ditatapnya Bastian dan Kania yang berlalu dari sana, hingga pintu lift terbuka.
“Mari,” ajak Jagat, berhubung Jenna hanya terpaku.
Jenna tersadar. Dia segera mengikuti Jagat masuk ke lift, tanpa bicara sepatah kata pun.
Di dalam lift, ada lima orang termasuk Jagat dan Jenna. Itu membuat Jagat menahan diri untuk bertanya, meskipun ada rasa penasaran yang mulai menggelitiknya. Terlebih, saat melihat perubahan sikap Jenna setelah bertemu dengan Kania.
Setelah tiba di lantai yang dituju, Jagat langsung menuju kamar yang disewa bersama Jenna. Dia bergumam pelan, sambil berdiri di depan pintu. “Jadi, Kania adalah temanmu?” tanyanya, kemudian membuka kunci.
Jenna mengangguk. “Iya,” jawabnya pelan, seraya masuk ke kamar. Dia langsung mengambil tas, lalu memasukkan beberapa barang ke sana.
“Pastikan tidak ada barang yang tertinggal,” ucap Jagat mengingatkan.
Jenna tersenyum, diiringi anggukan.
“Kenapa temanmu datang bersama Pak Bastian? Setahuku, Pak Bastian masih memiliki istri sah di Bali.”
Jenna sibuk dengan apa yang sedang dilakukannya. Entah benar-benar tidak fokus, atau hanya berpura-pura tak mendengar pertanyaan Jagat.
“Kamu tidak mendengarku?” Jagat memusatkan perhatian sepenuhnya kepada sang istri.
“Ah, iya. Kenapa?” Kali ini, Jenna menanggapi bahkan menoleh. Wanita yang tengah mengandung empat bulan tersebut tampak lebih rileks, dibandingkan beberapa saat yang lalu.
“Temanmu tadi. Kenapa dia datang kemari bersama Pak Bastian?” Jagat mengulangi pertanyaannya.
“Oh, itu.” Jenna tersenyum manis, seakan tak ada satu hal pun yang ditutupinya. “Mana kutahu, Pak. Aku sudah lama tidak bertemu dengan Kania.”
“Lalu, siapa Om Tio?” tanya Jagat lagi.
“Om Tio?” jenna menggeleng samar, lalu terdiam sejenak sebelum kembali bicara. “Om Tio adalah … um … dia … dia pria yang sangat baik. Aku menganggapnya seperti ayah kandung,” jelas wanita muda dengan midi dress floral itu, diiringi senyum kecil.
Jagat terdiam, dengan tatapan terus tertuju kepada Jenna yang kembali menyibukan diri.. Dia memicingkan mata, seakan menangkap sesuatu yang tak biasa dari bahasa tubuh sang istri. Jagat yakin Jenna tengah menyembunyikan sesuatu darinya.
Namun, Jagat tak ingin banyak bertanya. Dia sadar karena belum terlalu mengenal wanita muda itu. Jagat juga sudah menegaskan akan menerapkan batasan dalam pernikahan yang baru dijalaninya bersama Jenna.
“Ya, sudah. Mari,” ajak Jagat, seraya meraih tasnya dan tas Jenna. Dia mempersilakan sang istri keluar terlebih dulu.
Semenjak keluar dari kamar hingga tiba di tempat parkir, Jenna memilih diam seribu bahasa. Entah apa yang membuat wanita itu tiba-tiba kehilangan selera untuk mengajak Jagat berbincang. Jenna bahkan tampak kurang nyaman dengan keadaan sekeliling, berhubung berkali-kali mengarahkan pandangan ke sekitar hotel, seakan tengah mencari keberadaan seseorang.
Ketika mobil milik Jagat sudah melaju gagah meninggalkan area hotel, Jenna langsung bersandar sambil memejamkan mata. Tanpa sadar, tangannya mengusap-usap perut yang mulai terlihat sedikit membuncit.
“Apa kamu lelah?” tanya Jagat.
Jenna langsung membuka mata, lalu menoleh. “Tidak juga. Aku hanya kekenyangan,” jawab Jenna tenang.
“Aku akan membuat jadwal pertemuan lebih cepat dengan dokter,” ucap Jagat, seraya kembali memfokuskan perhatian ke depan.
“Iya. Terima kasih. Anda sangat perhatian. Aku benar-benar tersanjung,” balas Jenna, dengan tatapan lembut. Kekaguman terlukis jelas di sepasang matanya yang teduh. Jenna seperti ingin mengatakan sesuatu. Namun, dia tampak ragu melakukannya. Jenna memilih diam sambil menatap ke depan.
Keheningan bertahta hingga beberapa saat. Pasangan pengantin baru itu larut dalam pikiran masing-masing.
Sesaat kemudian, Jagat menggumam pelan. “Apakah kesetiaan sudah jadi sesuatu yang tidak penting lagi saat ini?” Dia seperti bertanya pada diri sendiri.
“Memangnya kenapa?” Jenna menoleh, menatap tak mengerti.
“Pak Bastian. Setahuku, istrinya sangat baik.” Jagat mengembuskan napas berat dan dalam.
“Mungkin, seperti itulah gambaran para pria yang kebingungan menghabiskan uang mereka,” ujar Jenna menanggapi senaknya.
“Aku tidak seperti itu,” sanggah Jagat segera.
“Anda baru menikah, Pak.”
“Ya. Maksudku, aku tidak menghamburkan uang untuk bersenang-senang dengan wanita bayaran …. Maaf. Aku tidak yakin dengan teman lamamu itu.”
Jenna hanya tersenyum kecil, kemudian mengalihkan pandangan ke luar. Dia kembali terdiam, larut dalam pikiran tak menentu.
Lagi-lagi, sikap diam Jenna jadi perhatian bagi Jagat. Dia makin yakin ada sesuatu yang disembunyikan wanita itu.
Beberapa saat kemudian, mobil yang Jagat kendarai telah memasuki carport. Jagat langsung keluar dari kendaraan, kemudian membukakan pintu untuk Jenna dan membantunya turun.
Setelah mengantarkan Jenna ke kamar, Jagat bergegas ke ruang kerja. Dia menghubungi seseorang bernama Beno. “Ada tugas untukmu, Ben.”