Menjalani kehidupan rumah tangga yang bahagia adalah idaman semua pasangan suami istri. Hal itu juga yang sangat diimpikan oleh Syarifa Hanna.
Menikah dengan pria yang juga mencintainya, Wildan Gustian. Awalnya, pernikahan keduanya berjalan sangat harmonis.
Namun, suatu hari tiba-tiba saja dia mendapat kabar bahwa sang suami yang telah mendampinginya selama dua tahun, kini menikah dengan wanita lain.
Semua harapan dan mimpi indah yang ingin dia rajut, hancur saat itu juga. Mampukah, Hanna menjalani kehidupan barunya dengan berbagi suami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Velza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32. Permintaan Novita
Adnan dan Mama Ginan saat ini sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit.
"Ma," panggil Adnan seraya fokus dengan kemudinya.
"Iya."
"Mama nggak mau ngasih tau papa tentang masalah ini?" tanya Adnan.
"Maunya mama gitu, tapi mama nggak yakin kalau papa bakalan bisa menerima keputusan mama."
Adnan mengangguk, dia tahu sang papa sangatlah tegas dan tak mudah dibujuk. Setiap mengambil keputusan juga tak bisa diganggu gugat oleh siapa pun termasuk sang mama.
"Kalau tiba-tiba papa pulang terus kita belum di rumah gimana? Papa pasti bakal tanya dan kita juga gak bisa bohong."
"Gampang kalau soal itu, nanti biar mama yang urus. Terpenting sekarang kita bertemu kakakmu dulu," pungkas Mama Ginan.
Sementara itu, Wildan berusaha membujuk Novita untuk makan dan minum obat.
"Nov, makan, ya. Terus minum obat, biar kamu cepat sembuh."
Novita hanya menggeleng tanpa berucap sepatah katapun. Semenjak dia mengetahui kebenaran tentang kondisi kesehatannya, seperti tak ada semangat dalam hidupnya.
"Aku nggak mungkin sembuh, Mas."
Wildan meletakkan piring yang dipegangnya, kemudian menggenggam tangan sang istri. "Kamu bisa sembuh, asalkan kamu mau bersemangat dan optimis."
Novita tersenyum sinis mendengar penuturan Wildan. "Memangnya dengan cara apa aku bisa sembuh? Apa setelah banyak menghabiskan obat, aku langsung sembuh? Enggak 'kan?"
Wildan langsung terdiam, dia juga paham bahwa penyakit yang diderita Novita bukanlah penyakit ringan yang bisa langsung sembuh setelah minum obat. Sang istri dianjurkan mengikuti rangkaian kemoterapi, tetapi hal itu tak sepenuhnya bisa membuatnya sembuh.
"Percaya denganku, kamu pasti sembuh. Kita berjuang bersama untuk kesembuhan kamu, apa pun caranya," ucap Wildan.
"Kamu nggak perlu membuang waktu dan uang hanya untuk wanita berpenyakitan sepertiku, Mas. Aku sudah pasrah dengan keadaan, kalau memang sudah ajalku, aku siap. Kalau memang aku masih diberikan kesempatan untuk hidup lebih lama, akan kugunakan waktu itu sebaik mungkin untuk meminta ampunan orang-orang yang pernah aku sakiti."
Saat akan membuka mulut untuk mengatakan sesuatu pada istrinya, ponsel Wildan yang berada di atas nakas berdering.
"Halo, Nan," sapa Wildan setelah menjawab panggilan telepon.
"Aku sudah di tempat parkir rumah sakit, kamu di ruangan mana?"
"Biar aku yang nyusul, kamu di tempat parkir yang mana?"
"Dekat UGD."
"Oke, aku ke sana." Wildan lantas mematikan panggilan teleponnya.
"Aku ke luar dulu, ya. Kamu istirahat aja," ucap Wildan tak lupa mengecup kening Novita.
Sepeninggal Wildan, Novita kembali menangis meratapi nasibnya saat ini.
"Mbak Hanna, jika diizinkan aku ingin bertemu dan memohon maaf ke kamu. Setidaknya sebelum aku pergi untuk selamanya, aku sudah mendapatkan ampunan darimu, Mbak. Sebab kamulah orang yang paling menderita karenaku," gumam Novita dengan tangisan yang tertahan.
Sementara di tempat parkir, Adnan dan Mama Ginan sedang menunggu Wildan di dekat mobil. Dan tak berapa lama, yang ditunggu pun datang.
"Ayo, langsung masuk. Soalnya Novita di ruangan sendirian," ajak Wildan pada Adnan dan mamanya.
Mereka bertiga lantas berjalan beriringan menuju ruang rawat Novita. Mama Ginan dan Adnan tampak saling pandang, ketika menyadari jika yang dituju ruang perawatan biasa yang satu ruangan bisa diisi beberapa pasien dan hanya terpisah oleh tirai.
Sesampainya di brankar Novita, Wildan mempersilakan mamanya duduk di kursi yang tersedia, sedangkan dia dan Adnan memilih untuk berdiri.
"Nov, ada mama dan Adnan mau jenguk kamu," ucap Wildan seraya menyentuh pergelangan tangan Novita.
Novita yang baru memejamkan mata, seketika langsung membuka matanya. Dan orang pertama yang dia lihat adalah Mama Ginan yang menatapnya dengan hangat, berbanding terbalik saat pertama kali dia bertemu dulu.
"Gimana keadaan kamu?" tanya Mama Ginan yang memulai pembicaraan.
"Seperti yang Anda lihat, saya hanya bisa terbaring dan menyusahkan anak Anda," jawab Novita dengan lirih.
"Kamu ngomong apa, sih? Aku nggak merasa disusahkan sama sekali," sela Wildan.
"Semangatlah untuk sembuh, jangan pikirkan apa pun. Saya yang akan menanggung semua biaya pengobatan kamu," tutur Mama Ginan yang membuat terkejut Wildan, Adnan, dan Novita.
"Ma ...," Wildan tak sanggup melanjutkan kalimatnya, dia merasa tak pantas menerima kebaikan mamanya setelah apa yang telah dia lakukan dulu.
"Adnan, minta dokter untuk memindahkan istri Wildan ke ruang rawat lain, sekalian kamu urus administrasinya," titah Mama Ginan.
Adnan yang paham ruang rawat yang dimaksud sang mama, lantas mengiyakan dan segera melakukan apa yang diperintahkan mamanya.
"Kemasi barang bawaan kalian, biar nanti bisa langsung pindah," ucap Mama Ginan pada Wildan.
Bak kerbau yang dicucuk hidungnya, Wildan menuruti sang mama tanpa ada bantahan. Dia juga masih tak percaya jika mamanya mau membantu menanggung biaya pengobatan Novita.
......................
Sementara di tempat lain, Hanna masih betah di rumah sang kakak bahkan dia juga yang menyiapkan segala keperluan kakaknya dan keponakannya.
"Han, jangan sibuk sendiri. Kakak bukan orang jompo yang apa-apa harus dilayani," ujar Atika.
"Enggak masalah," balas Hanna yang menyiapkan makanan untuk sang kakak.
"Buka mulutnya," pinta Hanna seraya menyodorkan sendok yang berisi makanan di depan mulut sang kakak.
"Kakak makan sendiri aja. Mending kamu tidur sana, dari tadi nggak diam sama sekali." Atika berusaha mengambil piring yang dipegang Hanna, tetapi langsung dihalangi.
"Udah, Kakak diam aja dan nurut aku. Kapan lagi aku bisa manjain Kakak? Anggap aja baktiku ke Kakak yang udah ngerawat aku dulu," ujar Hanna.
"Itu sudah jadi kewajiban kakak sebagai pengganti ayah dan ibu, Han. Jangan pernah merasa punya hutang budi kayak gitu."
"Terserah Kakak, yang penting aku tetap akan melayani Kakak sampai masa nifas selesai."
Atika tak mampu membantah lagi ucapan sang adik yang memang keras kepala. Apa pun yang Hanna mau harus dituruti dan tak boleh ada yang membantah. Karena itu caranya mengutarakan rasa sayang pada keluarga.
Saat sedang menyuapi kakaknya, ada satu pesan masuk di ponselnya yang kebetulan ada di atas nakas. Hanna lantas membuka pesan itu, khawatir pesan penting dari atasannya.
Namun, dugaannya meleset, pesan itu ternyata dari Frans.
Aku sudah di depan rumah kakakmu, keluarlah. Begitulah isi pesan dari Frans yang cukup membuat Hanna terkejut dan salah tingkah.
"Astaga, dari mana dia tahu alamat rumah Kak Atika? Duh, ada-ada aja, sih, harusnya 'kan ngomong dulu kalau mau ke sini," batin Hanna.
Tangannya sedikit bergetar karena gugup, bingung harus bilang apa pada kakaknya.
"Kak, aku keluar sebentar, ya. Temenku kirim pesan kalau dia ada di depan," pamit Hanna.
"Oh, iya." Atika hendak bertanya lebih, tetapi dia urungkan agar Hanna tak merasa disudutkan.
Setelah mendengar jawaban kakaknya, Hanna langsung bergegas ke depan menemui Frans. Tanpa disadari, Atika beranjak berdiri dan melihat dari balik gorden.
Setibanya di dekat mobil, Hanna langsung mengetuk kaca mobil Frans.
"Kenapa ke sini nggak ngomong dulu? Terus tau dari mana alamat rumah ini?" cecar Hanna.
"Enggak penting aku dapat alamat ini dari mana, apa pun bisa aku dapatkan hanya dengan menjentikkan jari. Dan lagi, aku ke sini karena ingin menjenguk calon kakak ipar," ujar Frans dengan santainya.
"Heh, jangan macem-macem kamu. Bisa makin panjang urusannya nanti," protes Hanna.
Dari balik gorden, Atika tampak tersenyum geli melihat Hanna dan Frans. Dia sekarang tau, siapa teman yang dimaksud Hanna, ternyata pria yang diceritakan suaminya kemarin. Saat Hanna pulang, dia melihat sendiri foto di ponsel suaminya. Meski samar, tetapi dia ingat betul wajahnya sama dengan yang saat ini.