Seorang laki-laki muncul di hadapan Ajeng. Tidak amat tampan tetapi teramat mapan. Mengulurkan keinginan yang cukup mencengangkan, tepat di saat Ajeng berada di titik keputus-asaan.
"Mengandung anaknya? Tanpa menikah? Ini gila namanya!" Ayu Rahajeng
"Kamu hanya perlu mengandung anakku, melalui inseminasi, tidak harus berhubungan badan denganku. Tetap terjaga kesucianmu. Nanti lahirannya melalui caesar." Abimanyu Prayogo
Lantas bagaimana nasab anaknya kelak?
Haruskah Ajeng terima?
Gamang, berada dalam dilema, apa ini pertolongan Allah, atau justru ujian-Nya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bsb 32
Ajeng masih terbaring lemah sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Sedang bayi mereka ditempatkan di ruangan khusus.
Sementara Abi masih di rumah sakit menemani istrinya sambil menunggu kedatangan Vivi. Istrinya sudah dikabari sejak pagi harinya, namun belum kunjung datang.
"Apa aku boleh melihat bayinya? Aku harus memberinya ASI," pinta Ajeng dengan tubuh yang masih lemah.
"Tidak boleh, anak itu tidak boleh minum asimu, nanti tidak baik setelahnya," sambar Vivi yang siang itu baru datang.
Abi terdiam bingung, benar saja memang kata Vivi, kalau ASInya diberikan takutnya tumbuh ikatan batin yang terlalu dalam dan nantinya susah untuk dipisahkan. Sementara di sisi lain nalurinya bertentangan, merasa kasihan dengan Ajeng dan tentunya bayi mungil itu yang benar-benar butuh ASI murni dari sumbernya.
"Mas, pokoknya kalau kondisi bayi itu sudah boleh dibawa pulang, kita langsung bawa pulang saja. Aku tidak mau berurusan lagi dengan perempuan itu," ucap Vivi yang jelas membuat Ajeng terdiam dalam tangis.
Tak punya kemampuan untuk berbuat sesuatu yang lebih. Hatinya begitu sakit, rasa sakit pasca operasi tak seberapa dengan luka batin atas perpisahan ini.
"Eh, ya, kamu harus ingat ya Mas, perjanjiannya setelah melahirkan kamu harus menceraikan Ajeng, 'kan? Sekarang anak itu sudah lahir, tunggu apalagi, ayo talak Ajeng, Mas!" pinta Vivi terang benderang di ruang rawat perempuan itu.
Ajeng tidak masalah untuk mendapat gelar dan status baru pada dirinya. Ia bahkan sudah siap lahir batin untuk berpisah dengan Abi, karena dari awal sudah mempersiapkan diri menyiapkan hatinya untuk ini.
Hanya saja kesedihan ini lantaran harus berpisah dengan anaknya yang harus diserahkan pada Abi dan Vivi. Runtuh sudah pertahanan dirinya, sekuat hati menahan tangis untuk terlihat tegar.
Ajeng sempat menghubungi Hanan untuk mengunjungi dirinya di rumah sakit. Setidaknya ia punya sandaran di saat hatinya benar-benar rapuh dan merasa sendiri.
"Sebaiknya kita bahas ini nanti, kondisi Ajeng juga belum pulih," jawab Abi mendadak bimbang sendiri.
Satu sisi ia begitu bahagia dengan kelahiran putri mereka yang telah lama dinanti. Sementara di sisi lain menyakiti ibu dari anaknya dan juga masih sah menjadi istrinya sebelum ada kata talak untuknya.
"Mas, kenapa kamu jadi ragu, jangan bilang kamu tidak mau melepasnya. Kita sudah punya anak dan akan hidup bahagia dengan keluarga yang lengkap. Aku yang akan mengurusnya nanti."
Perdebatan kecil di ruang tunggu itu jelas terdengar oleh Ajeng yang saat ini bahkan tengah menangis pilu. Sudut matanya basah, mungkinkah yang terbaik memang tidak melihatnya atau memeluknya biar rasa ini semakin ikhlas.
Ajeng menangis tergugu seorang diri, menyusut air matanya berkali-kali, ini kah akhir dari kisah sembilan bulan ini yang paling melesakkan.
"Ya Allah ... kenapa ini rasanya sakit sekali, maafkan aku anakku sayang, ibu terpaksa melakukan ini."
Air susunya yang tumpah membasahi pakaiannya semakin menambah luka hatinya tersayat dalam. Di ruang rawat, Ajeng benar-benar terisak pilu. Berkali-kali menguatkan diri sembari beristighfar banyak-banyak, tetap saja air matanya tumpah tak terbantahkan.
Sementara Hanan di rumahnya langsung bersiap-siap setelah dikabari kakaknya untuk datang ke rumah sakit. Pemuda itu mengeluarkan motornya dari halaman rumahnya. Sengaja mampir ke ATM lebih dulu menarik sejumlah uang agar cukup untuk persediaan selama menunggu.
Hanan melangkah lebar setelah memarkirkan motornya. Melewati sisi parkiran mobil, kembali menemukan mobil yang telah membuatnya celaka. Kali ini Hanan penasaran luar biasa, bahkan ia tidak beranjak lama, rasa ingin tahu yang besar pada pemiliknya yang telah membuatnya menderita, terlebih kakaknya harus terjebak dalam pernikahan yang rumit dengan perjanjian yang begitu konyol.
Rasa penasaran membuat pemuda itu tetap stay di tempat. Walaupun rasa ketemu dengan kakaknya teramat ingin, sedikit ia tahan demi rasa ingin tahu yang membumbung angan.
Hati sucinya mendendam, seakan takdir mempermainkan hidupnya. Gegara orang yang tidak bertanggung jawab atas kecelakaan itu. Membuat hidup orang lain susah. Bahkan harus menanggung kerumitan yang jelas tidak mudah untuk hidup kakaknya.
Hanan menanti dengan sabar, bahkan kalau perlu akan mengambil gambarnya dan membuntuti ke rumahnya atas pemilik mobil itu. Walaupun dianggap sedikit lancang, ia yakin betul dengan kejadian beberapa bulan lalu itu. Ingatannya masih penuh, seseorang di balik kemudian bahkan sempat menoleh ke arahnya, lalu benar-benar pergi melarikan diri.
Bagai pengintai handal yang tak mengenal kata lelah. Ujian waktu yang terus berlalu tak membuatnya pupus, demi sebuah keadilan untuk orang pinggiran.
Pria itu langsung melangkah cepat, mendekat begitu ada orang yang hendak masuk ke mobil target. Dengan berani dan keyakinan, Hanan mencekal tangannya.
"Heh, kamu siapa? Lepasin! Lancang sekali!" pekik orang tersebut meronta melepas cekalan tangan seorang pemuda yang serasa begitu erat.
"Seseorang yang Anda tabrak sembilan bulan lalu, hingga hampir cacat seumur hidup, lalu Anda menghilang tanpa tanggung jawab," ucap Hanan dengan gigi gemletuk.
"Jangan asal nuduh ya, saya bisa tuntut kamu, mana buktinya kalau aku nabrak kamu? Dasar orang stress, kalau mau cari uang dengan cara kotor menipu begini."
"Saya masih hafal betul dengan nomor plat mobil Anda, dan saya juga yakin Anda masih teringat dengan korban anak SMA yang dulu Anda tabrak begitu saja. Lihat muka saya! Bagaimana naluri Anda lari begitu saja!" bentak Hanan yang membuat tatapan orang tersebut merekam kejadian yang hampir sepuluh bulan lalu.
"Nggak, bukan aku, lagian kamu sudah sehat, dan kamu tidak ada bukti apa pun!" sangkal orang tersebut marah. Tidak mengakui perbuatannya yang jelas-jelas terbaca oleh tatapannya dan tubuhnya yang gemetaran.
"Aku bakalan tuntut kamu kalau berani macam-macam!" pekik orang itu lancang setelah dihempaskan Hanan dengan sedikit kasar.
"Silahkan! Aku tidak takut, Anda akan mendapatkan ganjaranya, bukti CCTV di jalan akan membuktikan tabir kejahatan Anda walaupun berusaha dihilangkan sekalipun!" Hanan tidak gentar.
Kalau kemarin ia nampak diam dan pasrah, lantaran tidak tahu dibalik kecelakaan itu membuat kakaknya begitu menderita. Sekarang ia tidak bisa tinggal diam, melawan untuk sebuah keadilan. Kakaknya sampai harus menanggung hidup yang tak mudah atas ulahnya.
"Brengsek! Gila! Aaaa ...!" umpat orang tersebut memukul bundaran stir sembari mengemudikan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata.
"Woe ... mabuk ya! Nyetir yang bener dong, kalau bosan hidup jangan ngajak-ngajak! Bedebah!" pekik seorang yang merasa dirugikan di jalan.
Sementara Hanan menguasai diri dulu sebelum masuk ke ruang rawat kakaknya. Dirinya tidak boleh terlihat kacau atau akan menambah beban hatinya.
"Kak Ajeng, bagaimana keadaan Kakak?" tanya pemuda itu lembut. Langsung mendekati ranjang dan menggenggam tangannya.
Ajeng tidak mengatakan sepatah kata pun, ia langsung menangis begitu melihat adiknya datang menemuinya.
"Mana bayinya Kak, aku ingin lihat!" tanya Hanan yang membuat Ajeng makin tergugu dalam pelukan.
"Bawa aku pulang, bawa aku pergi yang jauh, sebelumnya pertemukan aku dengan anakku dulu yang terakhir kali. Aku ingin memeluknya, menyampaikan salam perpisahan yang manis. Aku akan bilang kalau aku sangat menyayanginya," kata Ajeng terisak.
Hanan sekuat hati menahan diri, menguatkan kakaknya yang menangis dalam pelukan.
"Aku bakalan bawa kakak ke ruangan bayinya, jangan nangis, maafkan aku, Kak, gara-gara aku kakak harus menderita begini, dan harus berpisah dengan bayinya." Hati Hanan ikut sakit dan pilu, sudut matanya ikut basah juga.
🤔🤔🤔
Yang datengnya barengan sama Abi?? 🤔🤔
ceritanya menarik tp bahasanya msh agak kaku antara kakak dgn adik