Dialah Azzura. Wanita yang gagal dalam pernikahannya. Dia ditalak setelah kata sah yang diucapkan oleh para saksi. Wanita yang menyandang status istri belum genap satu menit saja. Bahkan, harus kehilangan nyawa sang ayah karena tuduhan kejam yang suaminya lontarkan.
Namun, dia tidak pernah bersedia untuk menyerah. Kegagalan itu ia jadikan sebagai senjata terbesar untuk bangkit agar bisa membalaskan rasa sakit hatinya pada orang-orang yang sudah menyakiti dia.
Bagaimana kisah Azzura selanjutnya? Akankah mantan suami akan menyesali kata talak yang telah ia ucap? Mungkinkah Azzura mampu membalas rasa sakitnya itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
*Bab 05
Awalnya cukup sulit. Tapi akhirnya, hubungan itu berjalan sesuai yang di harapkan. Namun, tidak ada yang berubah karena jarak yang menjadi halangan.
"Begitulah ceritanya, Zura. Kami dekat tapi tidak seperti dulu lagi. Memang, waktu telah mengubah segalanya," ucap Hani sambil menatap Zura dengan tatapan sayu.
Tatapan itu membuat Zura merasa ada yang tidak beres. Sayangnya, dia tidak tahu apa itu. Dan, tidak pula ia punya keberanian untuk menanyakan apa yang saat ini ada dalam hatinya.
....
"Di mana Zura, Ma? Kok rumahnya ngga ada orangnya?" Mirna celingak-celinguk di depan pintu rumah sepupunya itu.
"Entahlah. Mama juga tidak tahu ke mana perempuan itu pergi."
"Tunggu, deh. Jangan-jangan, dia pergi berbelanja lagi dengan kartu yang baru ia dapatkan."
"Bisa jadi."
"Tapi, Ma. Kek nya ngga mungkin juga deh. Mama kan tahu gimana si Zura itu. Gak mungkin dia suka dengan menghambur-hamburkan uang buat berbelanja. Dia kan pelit pada dirinya sendiri."
"Eh. Benar juga apa yang kamu katakan. Zura kan pelit ya. Mana mungkin dia berbelanja. Lalu ... ke mana dong ni anak? Pintunya malah di gembok gini. Kek jalannya jauh banget aja gitu."
"Ya mana aku tahu, Mama. Orang aku sama dia ngga serumah juga kok."
"Eh, ni anak yah."
"Ah, udah deh. Pulang aja yuk! Tanya papa aja di mana keponakan dia berada. papa kan selalu tahu ke mana keponakan kesayangannya ini pergi, Ma."
"Bod* oh ya? Mau kena omel kamu sama papamu yang suka sensi jika itu soal keponakannya? Nanti, bisa-bisa ia curiga sama. kita lagi, kalau kita ingin mengambil kartu ATM milik Zura yang baru dia dapatkan."
"Benar juga mama. Lalu, kita harus apa?"
"Ya mama juga ngga tahu tuh."
"Ah! Sudahlah. Aku mau pulang saja dari pada diam diri di sini kek orang bodoh saja."
"Eh, tapi .... "
Ibu dan anak ini juga tidak punya pilihan. Mereka tidak mungkin menunggu di rumah kosong sampai malam menjelang.
...
Hari berlalu, Zura sudah di perkenalkan sebagai karyawan butik oleh tante Hani. Sejak kedatangannya, dia sudah berusaha menghubungi pamannya. Tapi sayang, ternyata nomor paman tidak kunjung aktif.
Zura sudah bertanya pada tante Hani perihal nomor pamannya yang tidak bisa ia hubungi. Dari tante Hani, Zura baru mengetahui kalau pamannya ingin ia fokus membangun karier tanpa harus berhubungan dengan tempat yang sudah ia tinggalkan.
"Jangan cemaskan dia, Zura. Pamanmu ingin kamu sukses setelah meninggalkan tempat yang sudah memberikan kamu lupa tanpa sedikitpun berhubungan dengan orang di sana termasuk dirinya."
"Lho, kenapa begitu, Tante?"
"Karena dia tidak ingin ada yang tahu di mana kamu berada."
"Maksudnya bagaimana?"
"Kamu tahu apa yang pamanmu maksudkan, Zura. Dan karena pamanmu sangat menginginkan kesuksesanmu itu menjadi nyata, maka tante akan semakin kuat untuk membantu dia meluluskan harapannya itu."
Zura tetap saja masih dalam keadaan bingung. Sementara Hani langsung menyentuh pundak Zura dengan lembut.
"Tante akan mengirimkan kamu ke luar negeri satu minggu lagi, Zura. Di sana, kamu akan lebih bersinar dengan bakat unik luar biasa yang kamu miliki. Apakah kamu bersedia?"
Wajah bingung Zura semakin terlihat sekarang.
"Tapi, Tante .... "
"Zura. Kamu akan jadi desainer dunia kelas atas nantinya jika kamu bersungguh-sungguh. Dengan bakat yang kamu miliki, tante yakin kamu mampu. Dengan begitu, kamu akan bisa membuat orang yang sudah menyakiti dirimu membayar harganya."
"Dengarkan tante baik-baik, Azzura. Balas dendam terbaik adalah dengan menjadikan dirimu lebih sukses dari yang sebelumnya. Buktikan pada mereka, jika mereka telah salah karena telah membuang berlian."
"Percayalah. Kamu bisa melakukannya. Buat orang yang sudah merendahkan dirimu merasa sangat menyesal karena telah mencampakkan mu, Zura. Itu adalah balas dendam terbaik menurut tante."
"Dan juga ingatlah, Zura. Inilah yang pamanmu inginkan dari kamu. Dia ingin kamu memperlihatkan pada dunia, kalau kamu adalah yang terbaik dari pada yang baik. Dia ingin kamu membungkam mulut orang-orang yang sebelumnya sudah menghakimi kamu tanpa berpikir terlebih dahulu."
Kata demi kata yang Hani ucapkan seakan membakar semangat dalam diri Zura. Hatinya bergejolak sekarang. Semangatnya menyala seakan tidak bisa dipadamkan karena terlalu besar. Dengan mantap pula, Zura menyetujui keputusan yang sudah Hani buat.
Dia akan pergi keluar negeri satu minggu lagi. Dia akan berjuang lagi di sana untuk berbaur dengan tempat tinggal dan suasana yang baru. Padahal, dia baru saja merasa terbiasa di tempat yang baru ia datangi Sekarang, dia malah harus pergi lagi.
Tapi pengorbanan dan usaha harus dilakukan jika ingin sesuatu yang indah. Mendapatkan yang berharga haruslah bekerja dengan sangat keras, bukan?
"Aku akan pergi, Tante."
"Bagus. Tante akan menyiapkan semuanya. Jangan pikirkan soal biaya atau yang lainnya. Yang harus kamu pikirkan hanya mental dan juga kepercayaan diri. Kumpulkan semua kemampuan. Berjuanglah dengan sangat keras agar kamu bisa jadi pemenang di garis yang paling depan."
....
Persiapan demi persiapan Azzura lakukan. Ternyata, karena terlalu sibuk, satu minggu itu terasa sangat singkat untuk ia habiskan. Sekarang, hari keberangkatannya pun telah tiba di depan mata.
"Zura. Jika kamu merancang pakaian nanti. Jangan gunakan nama aslimu sebagai pengenal. Gunakanlah nama samaran untuk setiap rancangan yang kamu buat."
Zura terdiam. Namun pikirannya mengerti dengan maksud dan tujuan yang Hani katakan.
"Baik, tante. Aku akan mengingatnya."
"Bagus."
"Oh ya, bolehkan tante yang memberikannya?"
"Bo-- boleh kalau tante punya."
"Oke. Yura. Pakai nama itu jika kamu sudah ada di laur negeri, Zura. Dengan begitu, tante akan tahu sejauh mana anak angkat harapan tante sudah berkembang."
"Baiklah, tante."
Setelahnya, Zura pun meninggalkan tanah air sekarang. Usaha keras harus ia lakukan lagi. Tekad baja harus ia kumpul kembali. Sungguh tidak mudah sebuah perjuangan. Tapi tanpa perjuangan pula, manusia tidak akan tahu semanis apa pencapaian yang ia dapatkan kelak.
Sejak kakinya menginjak di tanah asing, namanya pun sudah ia ubah. Azzura, kini sudah ia ganti dengan Yura. Nama yang mama angkatnya berikan. Dan dengan bergantinya nama itu, maka perjuangan Yura pun telah di mulai sekarang.
Sementara itu di tanah air, tepatnya di kediaman pamannya, keributan sedang terjadi. Kartu ATM pamannya sedang di pertanyakan oleh tantenya.
"Di mana kartu itu, Mas? Jangan sembarang kamu. Bukannya kartu itu adalah tabungan umroh yang kamu sisipkan sejak lama?"
"Bukan urusan kamu. Tabungan itu milikku. Terserah aku mau buat apa. Tidak ada hubungannya dengan kamu."
"Apa! Bagaimana mungkin tidak ada hubungannya? Kamu nyisip uang ke sana, bukankah kamu membuat jatah bulanan kami sedikit berkurang?"
"Pokoknya aku tidak mau tahu, berikan aku melihat kartu itu jika masih ada pada kamu."
"Tunggu! Jangan-jangan, kartu itu kamu berikan pada keponakanmu, Mas."
tp bila baca kisah angga kesian juga dye...