Teruntuk semua perempuan di luar sana yang masih berjuang untuk bahagia dengan caranya masing-masing.
Ini tentang Bara Wirya. Seorang wartawan kriminalitas yang sedang mengulik kehidupan Dijah yang mengganggu pikirannya.
***
"Kamu ini tau apa sih? Memangnya sudah pernah beli beras yang hampir seperempatnya berisi batu dan padi? Pernah mulung gelas air mineral cuma untuk beli permen anak? Kalo nggak pernah, nggak usah ngeributin pekerjaan aku. Yang penting aku nggak pernah gedor pintu tetangga sambil bawa piring buat minta nasi."
Bara melepaskan cengkeraman tangannya di lengan Dijah dan melepaskan wanita itu untuk kembali masuk ke sebuah cafe remang-remang yang memutar musik remix.
Bara menghela nafas keras. Mau marah pun ia tak bisa. Dijah bukan siapa-siapanya. Cuma seorang janda beranak satu yang ditemuinya di Kantor Polisi usai menerima kekerasan dari seorang mantan suami.
Originally Story By : juskelapa
Instagram : @juskelapaofficial
Contact : uwicuwi@gmail.com
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Api Asmara
Bara tak menghiraukan pertanyaan polos Tini soal siapa yang lebih dulu telanjang di balik pintu. Bisa-bisanya Tini bertanya sesantai itu saat asap keluar dari celah-celah pintu kamar Asti.
"Aku udah telfon tapi dari tadi nggak diangkat. Gimana ni Mak?" tanya Tini pada Mak Robin.
"Ayo kita gedor lagi pintunya." Mak Robin maju ke sebelah Bara dan memukul pintu kamar dengan tinjunya berkali-kali.
"Jangan-jangan Asti udah mati di dalem," ucap Dijah yang tiba-tiba sudah muncul di belakang Bara.
"Hah?!" Bara berjengit menoleh ke belakang. Ia tak menyangka kalau Dijah bisa mengucapkan hal seperti itu.
"Aku nggak tau nomer hape bapaknya. Kalo Asti mati kita ngubungin siapa?" Tini melontarkan pertanyaan pada Dijah.
"Salah kamu! Asti khawatir bapaknya yang duda kamu ganggu. Sampe dia nggak mau ngasi nomor keluarganya." Dijah bicara seraya menepuk lengan Tini.
"Aku cuma nanya bapaknya udah berapa lama jadi duda. Agak gimana gitu rasanya kalo denger laki-laki udah tua nggak gituan. Masak bertahun-tahun anunya cuma dipake untuk pipis doang. Kasian..." Sekarang Tini menggeleng dengan wajah prihatin.
Mendengar perkataan Tini, Bara merasa tertampar. Baru kali ini ia merasa benar-benar kesal dengan perkataan Tini. Omongan penghuni kos-kosan itu seperti tak ada yang normal pikirnya. Termasuk Dijah.
Kekuatan Bara jadi berlipat ganda. Ia mengarahkan ujung linggis ke celah pintu Asti yang mulai renggang.
"Ayo cepet! Nanti Asti keburu mati!" seru Dijah sembari menyentuh pinggang Bara.
Seketika Bara merasa tersetrum dengan sentuhan di pinggangnya. Bayangan tentang adegan di balik pintu kembali melintas di kepalanya.
"Ada apa ya? Siapa yang bakar kamarku?" Suara seorang wanita muncul di belakang mereka.
"Heh Gilak! Nggak di dalamnya kau?" tanya Mak Robin.
"Ini Asti..." gumam Dijah.
BRAKKK!!!
Bara tak sempat menyadari kedatangan Asti saat kakinya berhasil menendang pintu kamar itu hingga menjeblak terbuka.
"Dasar gendeng! Ini kamarmu kebakaran! Asap dari mana itu? Kamu dari mana?" cerca Tini saat melihat Asti muncul dengan wajah polos dan plastik belanjaan minimarket.
"Aku nggak ada bakar apa-apa... Eh iya! Aku naruh lilin kecil di atas meja!" Asti langsung menghambur ke dalam.
Bara yang berdiri di dekat pintu terjajar menabrak gawang pintu karena Asti dan Tini berebut tiba di dalam kamar lebih dulu. Dijah terbatuk-batuk menyusul masuk ke dalam kamar.
Api ternyata berasal dari sebuah selendang licin yang perlahan terjulur ke atas lilin dan terbakar.
"Kamu pake lilin di atas meja ini untuk apa? Pemujaan? Muja apa?!" Tini mengambil sebuah buku dan memukul-mukul api yang merambat di taplak meja.
Dijah dengan polosnya mengambil sebuah sisir dan ikut menepuk-nepuk api. Asap semakin banyak dan kamar Asti yang kecil semakin gaduh dan terasa sesak. Asti mengibaskan sarung kotak-kotak merah ke atas meja dan semakin membuat api membesar.
Bara maju selangkah ingin membantu para wanita itu. Tapi kemudian,
"Pingger kau Bara!" teriak Mak Robin. Bara kembali terlempar ke luar pintu.
BYUURRRR!!
Mak Robin mengangguk puas dengan hasil dari seember airnya. Wanita itu kemudian kembali keluar.
Kemudian,
"Pinggir dikit dong Mas..!" pinta Boy centil pada Bara.
BYUURRRR!!
Boy tetangga sebelah kamar Asti kembali menyiramkan seember air ke arah api. Api padam. Tini, Dijah dan Asti ikut basah terkena guyuran dua ember air. Kamar Asti sekarang kacau tak berbentuk. Padahal aslinya, mahasiswi itu adalah wanita paling rapi. Isi kamarnya lebih tertata dari hidup Tini.
"Udah! Udah padam! Kamu lain kali kalo ninggalin kamar itu jangan pake acara ada api-api. Lagian bikin apa lilin nyala di susun di atas meja? Nyembah apa? Bikin pemujaan apa kamu?" Tini menyerocos kesal pada Asti yang sedang mengedarkan pandangannya pada kekacauan.
"Itu aromaterapi biar aku tidur nyenyak. Kamarnya wangi. Sekarang berantakan. Kamarku basah. Aku tidur di kamar Mbak Tini aja ya..." ucap Asti. "Mbak Dijah ada mas-nya."
"Dikamarku juga bisa. Mas apa? Nggak ada. Aku sendirian kok tidur," ujar Dijah melirik Bara yang sedang cemberut di depan pintu menatapnya.
"Mau tidur nyenyak aja ribet pake lilin. Kalo udah enak, pasti bisa tidur nyenyak kalo aku. Ayo Jah!" Tini menyeret lengan Dijah keluar kamar Asti.
"Aku beresin kamar dulu! Makasi ya Mas Boy, Mas Bara!" teriak Asti pada orang-orang yang mulai meninggalkan kamarnya.
"Aku nggak mau dipanggil Mas! Mas yang ganteng itu aja dipanggil Mas. Namanya Bara ya... Penghuni baru atau tamu?" tanya Boy pada Asti.
"Mas-nya mbak Dijah. Sana ganggu kalo berani. Mas Boy mau liat aslinya mbak Dijah gimana? Nggak inget gimana mbak Dijah gelut sama penghuni kamar atas dulu? Haha" Asti tertawa melihat reaksi Boy yang langsung mencibir pergi dengan sebuah ember kosong di tangannya.
"Udah malem, nggak pulang?" tanya Dijah pada Bara saat mereka berada di depan kamar.
"Aku Senin berangkat, jam segini udah ngusir aku pulang. Besok kayaknya aku nggak bisa dateng."
"Bukan ngusir, nggak baik. Kamu udah beberapa malem nggak pulang. Aku nggak mau nanti orang tua kamu tau kamu tidur di mana. Bayanginnya aja aku udah takut." Dijah kembali masuk ke kamar. Sebagian wajah dan bajunya basah terkena siraman Mak Robin dan Boy tadi.
"Jadi aku harus pulang?" tanya Bara dengan wajah memelas. Ia kini duduk di tepi ranjang.
"Aku mau nuker baju dulu," tukas Dijah.
"Aku nggak bakal ngeliat. Aku ngadep ke dinding," jawab Bara.
Ternyata Dijah dalam kondisi sadar itu pelit sekali pikir Bara. Baru saja sesaat yang lalu ia berhasil membuka pakaian wanita itu, sekarang sudah hitung-hitungan.
Dijah menuju ke sudut kiri kamar dan membuka pintu lemari. Di balik pintu itu ia membuka atasan seragam SPGnya dan mengalungkan sebuah daster berbahan kaos dengan leher yang sudah kendur.
"Jadi aku harus pulang?" tanya Bara lagi saat Dijah berjongkok di depan sebuah galon air dan memompanya dengan tangan ke dalam sebuah ceret plastik.
"Iya, harus pulang. Besok nggak kesini juga nggak apa-apa. Kerjain urusan kamu yang lebih penting. Aku juga mau jengukin Dul sebentar. Mau ngajak keluar. Sisa uang yang kamu kasi kemarin dulu, mau aku belikan pakaiannya Dul. Boleh kan?" tanya Dijah berbalik memandang Bara.
"Ya boleh, itu kan uang kamu. Aku mau pulang... Tapi..." perkataan Bara menggantung. Ia berharap Dijah mengerti maksudnya. Ia masih ingin bermesraan dengan wanita itu. Apalagi melihat Dijah telah mengganti pakaiannya ke yang lebih simpel dan mudah. Mudah melucutinya maksud Bara.
"Ya udah pulang, ini udah tengah malem." Dijah meneguk segelas air putih kemudian menghampiri Bara.
"Aku pulang, tapi sini dulu..." Bara menarik Dijah ke pangkuannya. Ia langsung mencium bibir Dijah dengan rakusnya. Tangan kanannya melingkari pinggang Dijah dan tangan kirinya sibuk meremas perut wanita itu dan mengusap bagian sekitarnya.
TOK! TOK!
Pintu kamar diketuk, tapi Dijah tak memiliki cukup waktu untuk berpindah dari pangkuan Bara.
BRAKKK
Pintu kamar terbuka dan Dijah masih duduk manis di pangkuan Bara. Tatapan matanya masih sayu karena sedang hanyut akan ciuman rakus Bara yang semakin dinikmatinya.
Tini muncul dengan wajah serius. "Maaf Mas Bara, aku sela sekali lagi." Tini meringis memandang Bara.
" Jah, iki mas mu kapan mulihe? Aku meh ngejaki misi penting, mas mu iki wis koyo satpam ATM wae to, ora lungo-lungo. (Jah, ini Mas-mu kapan pulangnya? Aku mau ngajakin misi penting. Mas-mu ini dah kayak satpam ATM aja. Nggak pergi-pergi.)" Tini mulai memahami bahwa saat ia perlu berkomunikasi rahasia bersama Dijah ia harus menggunakan bahasa yang tak dimengerti pria itu.
"Yo mbuh, mosok yo kudu diusir, memange ono misi opo to? (Ya nggak tau. Masak harus diusir. Memangnya mau misi apa?)" Dijah melirik Bara yang menatap ia dan Tini dengan wajah penasaran.
"Ojo saiki, mengko mas mu nesu,ngenteni ndekne lungo, dikempit sepisan wae jah,ben ora penasaran wonge,nututi awakmu terus, aku dadi ra iso curhat. (Nggak bisa sekarang, nanti Mas-mu marah. Tunggu dia pergi. Dijepitin sekali aja Jah, biar dia nggak penasaran. Ngekorin kamu terus, aku nggak bisa curhat.)" Tini memandang wajah Dijah penuh arti. Ia melemparkan pandangan bahwa urusannya ini sangat penting.
"Opo sek dikempit? Ngawur wae! Mengko mesti tak kancani. (Apanya yang dijepit? Ngawur! Nanti pasti aku temenin pokoknya!)" Dijah yang mulai memahami arti tatapan Tini sepertinya menyadari bahwa temannya itu butuh bantuan.
"Sesuk iso? (Besok bisa?)" tanya Tini.
"Bisa kayaknya..." jawab Dijah.
"Oke, mantap! Monggo Mas dilanjut." Tini kembali menutup pintu kamar.
Bara yang mulai terbiasa dengan kehadiran Tini dengan segala interupsinya, kini kembali mengalihkan tatapannya pada Dijah dan... sepasang benda milik wanita itu yang sedang berada di depan wajahnya.
"Tini bilang apa tadi? Kayaknya penting..." ucap Bara.
"Nggak ada, cuma nanya aku besok mau ke mana," jawab Dijah.
"Besok aku nggak ke sini ya..." ulang Bara sekali lagi.
"Iya nggak apa-apa," sahut Dijah cepat.
"Besok kamu ke mana?" tanya Bara.
"Paling jengukin Dul aja," jawab Dijah.
"Coba tangannya di sini..." pinta Bara mengambil kedua tangan Dijah dan mengalungkannya ke lehernya.
"Udah malem.."
"Tini bilang aku harus ngademin diri di ketek kamu. Gitu, kan?"
"Tini jangan diikutin ...," gumam Dijah.
"Tapi Tini selalu memprovokasi aku. Salahin temen kamu itu." Bara ikut menggerutu.
"Jangan nginep lagi, kasian orang tua yang nunggu di rumah."
Tangan Dijah menggantung canggung di kedua sisi pundak Bara. Wajah pria itu terasa begitu dekat. Pandangannya menelusuri tiap sudut wajah Bara dalam keadaan tersadar sepenuhnya. Ia bisa melihat bintik halus di pipi Bara. Bulu mata pria itu yang lentik dan bola matanya yang ternyata berwarna coklat pekat.
"Peluk aja kalo mau dipeluk Jah... Nggak apa-apa. Pengen peluk aku kan?" tanya Bara yang menarik tubuh Dijah untuk lebih mendekat.
Dijah maju perlahan dan menjatuhkan kepalanya di bahu kiri Bara. Ia mengeratkan pelukannya. Matanya perlahan memejam menikmati kehangatan api dalam tubuh Bara. Nyaman sekali pikirnya. Memiliki seseorang yang bisa dipeluknya seerat ini ternyata nyaman sekali.
"Nyaman Jah..." gumam Bara. "Pelukan kamu bikin aku nyaman..." sambung Bara.
Besok ia mengatakan tak akan datang mencari Dijah. Tapi tatapan mata Tini saat berbicara tadi membuat rasa penasarannya bergejolak. Tini sedang mengajak Dijah mengerjakan sesuatu. Bara penasaran. Sepertinya besok dia harus mencari tahu sendiri.
To Be Continued.....