PENGAKUAN DIJAH
Namanya Dijah. Nama panjangnya ada, bagus dan sangat indah malah. Tapi sejak kecil ia dipanggil dengan sebutan Dijah saja.
Umurnya baru 23 tahun, tapi statusnya adalah janda beranak satu. Anaknya seorang laki-laki berusia 5 tahun. Dijah menikah di umurnya yang belum genap 17.
Kenapa menikah begitu cepat? Dijah genit atau hamil lebih dulu? Tidak. Ayahnya berhutang banyak untuk pengobatan sakit diabetes ibunya pada seorang agen sabu di daerah mereka. Dijah yang manis dan masih muda, menjadi korban transaksi perdagangan manusia terselubung itu.
Anak orang tua Dijah ada lima orang, dua orang wanita yang sulung menjadi TKI di negeri Jiran. Dan dua orang anak laki-laki lainnya menikah cepat dan juga hidup pas-pasan sebagai pedagang kaki lima di bawah jembatan penyeberangan.
Sebut saja Dijah tinggal di kota X. Kota besar dengan angka pengangguran dan manusia produktif sama tingginya. Manusia-manusia yang hidup harus memiliki rasa egois agar bisa bertahan dalam gulungan ombak persaingan perkotaan.
Dijah hidup di sebuah kos-kosan murah di sebuah gang berliku-liku di belakang perkantoran elit. Dia hanya hidup sendiri di sana. Seminggu sekali Dijah pulang ke rumah untuk memberi belanja pada orang tua dan anak semata wayangnya.
Kenapa Dijah tak tinggal bersama orangtuanya? Itu karena Fredy, mantan suaminya masih sering mengejar-ngejar Dijah untuk memperkosanya di saat mabuk. Biasanya Fredy yang tak bisa tidur karena menenggak air sisa rebusan sabu-sabu di dalam bong tak akan bisa tidur. Pria itu akan berkeliling kampung mencari mantan isterinya untuk melampiaskan hawa nafsu atau sekedar menghajar Dijah hingga babak belur.
Lantas, kenapa Dijah tak membawa anak laki-lakinya untuk hidup bersama? Itu sulit. Pekerjaan Dijah serabutan. Ia tak bisa menunggui anaknya bersekolah seperti ibu-ibu pada umumnya. Meski Dijah terkadang ingin ikut bergosip memamerkan cincin, ponsel atau pakaian baru terhadap orang tua murid lainnya, ia tak bisa. Dijah harus bekerja. Apa saja.
Lagipula, Dijah tak mau anaknya besar di lingkungan kos-kosan yang sangat keras itu. Lingkungan yang dari melek mata hingga menutup kembali selalu diwarnai suara musik keras, teriakan orang berisi caci maki, serta desahan dan erangan tetangga kamarnya yang bercinta hingga subuh.
Lantas apa pekerjaan Dijah?
Apa saja. Dia mengerjakan semua hal yang biasa dikerjakannya. Kecuali melacurkan diri. Dia tak bisa. Bukannya dia tak pernah mencoba, tapi dia gagal di hari pertama kerjanya.
Saat itu, Dijah ditawari oleh tetangga kosnya, seorang pria gemuk lumayan berduit yang ingin mencari teman tidur. Katanya, itu bukan short time. Tapi menemani sampai pagi. Yang artinya, Dijah bisa ditiduri beberapa kali dalam satu malam itu.
Mendengarnya saja Dijah sudah mual. Tapi tetangga kosnya mengatakan untuk melihat lebih dulu. Jadilah Dijah mengikuti tetangga kosnya itu ke sebuah hotel melati yang terletak di tepi kota.
Dijah telah menguatkan hati karena telah menggenggam empat lembar uang ratusan ribu. Tetangga kosnya itu mengatakan bahwa pria itu akan memberikan uang sisanya.
Dengan wajah tenang tapi tegang dan berdebar, Dijah bertemu dengan pria gemuk itu. Saat berduaan di dalam ruangan dan pria itu mulai membuka pakaiannya, Dijah panik. Dijah jijik dan mual melihat seorang pria gemuk berkelamin kecil telanjang di depannya. Dijah lari keluar kamar terbirit-birit.
Dijah menemui tetangganya dan mencampakkan uang 400 ribu untuk menggagalkan transaksi itu. Tetangga Dijah tak senang dan tersinggung. Hasilnya, malam itu kos-kosan mereka diramaikan dengan adegan Dijah dan tetangga wanitanya yang bergumul saling jambak.
Meski babak belur, Dijah berhasil menyeret tetangganya itu keluar kos-kosan dan mengusirnya keluar. Tak ada yang melapor ke polisi. Malam itu, Dijah pemenangnya dan Dijah merasa lebih berhak tinggal di daerah itu.
Soal perceraiannya? Itu sudah lama sekali. Dijah menjadi janda saat anaknya berusia enam bulan. Dia tak mau lagi menjadi isteri Fredy. Alasannya banyak dan segudang. Tapi Dijah hanya menyebutkan satu alasan di pengadilan. Dia tak mau disodo*mi oleh suaminya.
Fredy yang gila setiap kali mabuk sabu selalu berbuat hal aneh tiap pulang ke rumah. Dijah beberapa kali nyaris mati dipukuli dan diinjak-injak tanpa ada seorang pun tetangganya yang berani melerai. Mereka semua takut pada Fredy. Meski bukan bandar besar, tapi Fredy punya kaki tangan preman kelas teri yang kerjanya jadi polisi cepek di simpang jalan.
Kini meski hidup pas-pasan, Dijah tak perlu khawatir tubuhnya dikotori oleh Fredy yang suka memakai jasa pelacur murahan. Bahkan Fredy beberapa kali terlihat membonceng waria berganti-ganti. Itu tak masalah lagi buat Dijah. Dia tak pernah ada perasaan apapun pada Fredy.
Meski harus pontang-panting menghindari mantan suaminya itu, setidaknya Dijah sudah membebaskan dirinya dari tekanan batin.
Jika Fredy sedang waras, laki-laki itu datang ke rumah orang tua Dijah untuk sesekali memberi jajan pada anaknya. Tapi jika Fredy sedang gila, laki-laki itu akan berkeliling kampung mencari Dijah dan mengancam akan membunuh anak mereka.
Dijah kini janda. Suatu stigma yang sangat negatif bagi rakyat negeri ini. Bahkan di kampungnya pun masih banyak laki-laki yang menyapanya, Dijah yang janda.
Awalnya dulu, Dijah sakit hati. Dijah malu. Dijah kasihan pada anaknya yang selalu dicap sebagai anak bibir pelakor. Begitu kata anaknya suatu kali.
Kini Dijah santai. Suatu hari ada seorang penarik ojek di depan gang yang menyapanya.
"Dijah... Udah janda gini kerjaannya ngapain? Nggak pernah digoyang lagi ya?" sapa pengemudi ojek itu.
"Memang lagi nggak ada kerjaan nih, sebentar lagi aku goyang bapakmu aja. Gimana?" jawab Dijah santai melewati pengemudi ojek yang kemudian jadi bahan tertawaan teman-temannya.
Itulah Dijah.
Malam hari ia bekerja sebagai pelayan kafe remang-remang yang sering memanfaatkan laki-laki hidung belang.
Siang hari ia berjibaku dengan kuman karena berubah menjadi pemulung plastik dan kaleng minuman bekas di tempat pembuangan sampah akhir.
Dijah tak pernah punya mimpi dan keinginan. Dia hanya tahu bekerja untuk mencari makan pengisi perut sejengkal. Dijah tak pernah protes akan ketidakadilan yang diterimanya dalam hidup. Baginya pukulan dan tendangan Fredy selama tak mematikan, bukanlah suatu masalah besar.
Sampai akhirnya ia bertemu dengan Bara Wirya. Pria yang memberinya sebuah plester luka di depan sebuah Kantor Polisi.
"Kalau sakit kenapa nggak dilaporin aja Mbak? Mbak bisa buat pengaduan. Ini namanya udah tindakan kekerasan. Mbak kok diem aja sih?"
"Dari tadi aku diem aja karena nggak suka dipanggil Mbak. Mbak...Mbak... Kapan aku kawin sama Mas-mu?"
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 178 Episodes
Comments
meli andriyani
hai..salam kenal kak...baru baca dah bikin penasaran nih
2024-11-07
0
may
Hai, khadijah💕aku kembali membaca kisahmu untuk ke 3x kalau gk lupa🤣haloo mas bara, alafiyuuu🤭(kaborrrrrrr🏃)
2024-11-07
1
BhaGha
sama, baca lagi
2024-11-21
0