DILARANG PLAGIAT YA!
Seorang lelaki berjaket hitam terduduk di lantai, dia membersihkan cairan merah kental yang menodai tangannya. Dia mengambil pisau dan tongkat kasti kesayangannya, siapapun yang berani melukai wanitanya maka orang itu akan ia bebaskan dari dunia ini.
Dia adalah Dave Winata, namanya jarang didengar karena identitasnya yang sengaja dirahasiakan. Wajah dan sorot matanya yang dingin menyerang siapapun dengan tatapan elang yang siap memangsa. Hanya ada satu kelemahannya, yaitu air mata wanitanya.
Penasaran kan? Lanjut yuk ke ceritanya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sekar Arum, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SILVI
WARNING:
SEBELUM LANJUT MEMBACA DIWAJIBKAN UNTUK RATE, VOTE, LIKE DAN TINGGALKAN KOMENTAR SESUKA KALIAN.
DUKUNGAN KALIAN ADALAH SEMANGAT UNTUK AUTHOR.
HAPPY READING 😘
.............................
Samar-samar Silvi masih mendengar suara kakaknya yang terus memanggil namanya. Ia merasakan tubuhnya di dekap erat. Ia mencoba tetap membuka matanya sejak peluru itu menembus lengan kirinya. Tapi kini matanya terasa sangat berat, lama-lama pandangannya menjadi buram. Dan suara kakaknya terdengar semakin mengecil, lalu tidak terdengar sama sekali.
"Bertahanlah, Silvi! Sebentar lagi kita akan sampai, dokter akan mengobati lukamu. Lihatlah darahmu keluar banyak sekali!" ucap Dave yang mencoba menepuk pipi Silvi.
Sebelumnya Silvi merespon dengan membuka lebar matanya setiap kali pipinya ditepuk oleh Dave. Tapi sekarang Silvi tidak merespon sama sekali.
"Kau ini bisa mengemudi tidak! Tambah lagi kecepatannya!" teriak Dave pada anak buahnya.
Anak buah Dave hanya mengangguk, mobil Dave melaju dengan kecepatan di atas rata-rata. Jarak mansion dengan rumah sakit cukup dekat. Dalam sepuluh menit mobil Dave sudah berbelok memasuki area rumah sakit. Dave bergegas turun menggendong Silvi, ia berlari dan berteriak memanggil dokter.
Dave tidak melepaskan tangannya dari pucuk kepala Silvi walau sedetikpun. Hingga seorang perawat memintanya untuk menunggu di luar ruang operasi. Perawat itu berkata jika mereka akan mengeluarkan peluru dari lengan Silvi.
"Bodoh bodoh bodoh!" Dave menjambaki rambutnya sendiri.
Punggungnya bersandar pada tembok rumah sakit yang dingin. Dave mengutuki dirinya sendiri yang telah melukai Silvi. Dunianya seakan runtuh saat melihat darah segar keluar dari lengan adik kesayangannya. Adik perempuan yang selama ini ia sayangi melebihi dirinya sendiri.
Kedua bolanya tiba-tiba menatap tajam ke ujung lorong rumah sakit. Ternyata Samuel dan Reza yang berjalan di lorong itu. Tatapan tajam Dave terkunci pada Reza.
"Berhenti disitu!" seru Dave.
Samuel dan Reza menghentikan langkahnya mereka saling menatap. Dave menghampiri keduanya.
"Gua nggak mau ada keributan di sini! Jadi mumpung gua masih bisa ngontrol emosi, lo pergi dari sini sekarang juga! Jangan tunjukkan wajah lo di hadapan gua sebelum gua sendiri yang minta!" ucap Dave.
Reza yang merasa bersalah segera mengiyakan ucapan Dave. Ia membalikkan tubuhnya lalu melangkah pergi.
"Tunggu! Satu hal lagi! Gua akan pindahin lo ke anak perusahaan yang ada di negara Singapura! Lusa lo harus berangkat ke sana!" seru Dave.
Selama ini Reza memang bekerja di perusahaan milik Dave. Sebenarnya Reza bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan lain. Karena maminya selalu siap kapanpun Reza bersedia menggantikan posisinya di perusahaan keluarga yang ia pimpin. Tapi Reza memilih untuk merintis karirnya dari awal.
"Sial! Gua malah dikirim ke Singapura! Apes apes!" batin Reza.
Samuel menghela napas dalam, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Reza bersalah karena membantu seorang istri kabur dari suaminya. Ia duduk di kursi tunggu tidak jauh dari Dave.
Lampu di pintu operasi menyala, Dave sama sekali tidak berpindah dari tempatnya. Ia duduk di lantai rumah sakit yang dingin.
Dave langsung bangkit dari duduknya saat lampu di pintu padam, tanda operasi Silvi telah selesai.
"Bagaimana keadaan Silvi? Kenapa operasinya lama sekali? Apa yang kalian lakukan pada adikku di dalam? Cepat katakan kabar baiknya! Kalau terjadi sesuatu yang buruk, akan aku bakar rumah sakit ini!" Dave memberondong dokter yang baru saja keluar dengan pertanyaannya.
Dokter menelan salivanya. Dengan siapa sebenarnya dia berhadapan, hingga dia sampai mengancam akan membakar rumah sakit. Tanpa Dave ancam, dokter memang akan memberikan kabar baik karena operas Silvi berjalan lancar.
"Kami sudah berhasil mengeluarkan peluru dari lengan adik tuan, adik anda belum sadar karena pengaruh obat bius! Kami akan segera memindahkan adik anda ke ruang perawatan," sahut dokter dengan suara yang sedikit gemetaran.
Dave mengangguk, ia langsung mengikuti perawat yang mendorong brankar Silvi. Silvi dibawa ke ruang perawatan VVIP sesuai perintah Dave tentunya. Ia setia memegang tangan Silvi dan sesekali menciumnya.
"Minum," rintih Silvi.
Dave dengan cekatan mengambil segelas air minum di nakas. Ia bantu Silvi untuk sedikit mengangkat kepalanya.
"Bagaimana keadaanmu sekarang? Apa yang kamu rasakan? Apakah kepalamu masih pusing? Bagian mana yang sakit? Apakah ini sakit?" tanya Dave yang menunjuk lengan kiri Silvi.
Silvi memajukan bibir bawahnya, apa-apaan kakaknya ini. Kepalanya dibuat pusing karena berondongan pertanyaan Dave.
"Ayo jawab! Sebentar aku panggilkan dokter saja! Biar dia yang menjawab pertanyaanku!" seru Dave.
Seorang dokter laki-laki datang, dan memeriksa Silvi. Dave mengekor di belakang dokter itu.
"Bagaimana keadaannya, dok? Kenapa dia diam saja saat aku tanya? Apakah luka di lengannya mempengaruhi telinga dan mulutnya?" tanya Dave yang terlihat sangat cemas.
"Tentu saja adikmu diam saja, anda memberikan begitu banyak pertanyaan konyol seperti itu! Orang normal saja pusing jika mendengar pertanyaanmu!" batin Dokter.
"Begini tuan, Nona Silvi baru saja sadar. Tolong jangan terlalu banyak mengajukan pertanyaan atau mengajaknya mengobrol dulu! Biarkan dia instirahat!" jawab dokter.
Sekarang dokter sedang mengecek luka di lengan Silvi. ia memperhatikan perban yang melilit lengan Silvi. Lalu ia mengangkat dan membolak-balikkan lengan Silvi.
"Apa yang kau lakukan!" bentak Dave.
"Saya mengecek luka Nona Silvi, tuan. Saya hanya memeriksa apakah terjadi infeksi atau tidak," jawab dokter.
"Itu pasti menyakitinya!" seru Dave.
"Sabarkan hati hambamu ini Ya Allah," batin dokter.
"Aku tidak kesakitan kak, dokter melakukannya dengan hati-hati!" sahut Silvi.
Dave mengalah, ia membiarkan dokter mengecek luka di lengan Silvi. Setelah yakin lukanya baik, dokter meninggalkan ruangan Silvi.
"Aku baik-baik saja, kak! Kakak tidak usah terlalu cemas seperti itu!" seru Silvi.
"Kakak merasa sangat bersalah, Silvi! Mengertilah! Kenapa kamu mempertaruhkan nyawamu untuk pengkhianat itu?" ucap Dave.
Lidah Silvi kelu, ia melakukannya tentu karena ia tidak mau Reza celaka. Apalagi belakangan ini setiap bertemu Reza, jantung Sivi berdetak terlalu cepat.
"Sudahlah kak, yang lalu biarlah berlalu! Aku mau kakak memaafkan Kak Reza. Ingat, Kak Reza sahabat kakak!" Silvi memalingkan wajahnya.
"Tapi..."
"Sekarang bagaimana dengan Kak Aryn? Apakah kakak sudah menemukan keberadaannya?" tanya Silvi memotong ucapan Dave.
"Belum ada kabar dari anak buahku!" jawab Dave.
"Pasti Kak Reza terpaksa melakukannya karena permintaan dari Kak Aryn! Apa yang kakak lakukan pada Kak Aryn? Terakhir Kak Reza bilang padaku kalau Kak Aryn sedang sakit," tanya Silvi.
"Kenapa kamu selalu membelanya? Kakakmu itu aku kan, bukan dia!" seru Dave.
Silvi memutar bola matanya malas.
"Malam setelah pernikahan kakak mabuk, waktu itu kakak melihat Elsa padahal itu Aryn. Kakak mendorongnya sampai jatuh dan terkena lampu tidur," ucap Dave.
Silvi menepuk jidatnya sendiri,
"Masih saja belum move on!"
"Aku sudah memutuskan untuk melupakan Elsa. aku buang fotonya di gudang. Tapi Aryn selalu saja membuat emosiku meledak-ledak!" sahut Dave.
Drrrttt...drrttt
Ponsel Dave menggetarkan nakas di sebelah Silvi. Sepertinya telepon dari anak buahnya. Ia segera meraihnya dan menggeser ke kanan.
"Bagaimana!"
"Nihil, bos!"
"Kenapa kau menelponku jika kau belum menemukannya?"
"Maaf, bos! Tapi saya menelpon untuk menanyakan apakah Nona Aryn membawa ponsel saat kabur? Jika Nona membawa, Kita bisa dengan mudah melacaknya. Karena nomor polisi motor itu nomor bodong, kami tidak bisa melacaknya!"
"Tidak, dia bahkan tidak mempunyai ponsel. Kalian terus cari!"
Tut,
Dave melemparkan ponselnya ke sofa. Ia menyadari betapa bodoh dirinya. Jika ia memberikan ponsel pada Aryn pasti ia akan menemukan keberadaan Aryn dengan mudah.
.........................
Jangan lupa like dan vote ya! Rate juga, bintang lima ya!❤️