Warning! Konten Dewasa!
Kehidupan Hana baik-baik saja sampai pria bernama Yudis datang menawarkan cinta untuknya. Hana menjadi sering gelisah setelah satu per satu orang terdekatnya dihabisi jika keinginan pemuda blasteran Bali-Italia itu tidak dituruti. Mampukah Hana lolos dari kekejaman obsesi Yudis? Ataukah justru pasrah menerima nasib buruknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ira Adinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Setelah Bapak Tiada
Hana berjalan dengan lesu tatkala kembali ke rumah. Sesekali, ia melirik ke tempat jenazah ayahnya dimandikan. Pedih hatinya mengingat ketiadaan Lusi dalam suasana berkabung itu. Ia mendesah lemah, sambil mendongakkan kepala ke atas.
Dari dalam rumah, Bu Esih tergesa-gesa menghampiri putri sulungnya yang baru saja tiba. Ditatapnya Hana dengan penuh harap, sembari melihat-lihat ke belakang putrinya.
"Hana, mana Lusi?" Bu Esih bertanya, menatap Hana lekat-lekat.
Hana menggeleng pelan dan tertunduk lesu. "Lusi nggak ada di sekolahnya, Ma."
Terbelalak Bu Esih mendengar jawaban putrinya. Jantungnya serasa berhenti berdetak, seakan sulit mempercayai kalau si bungsu tak ada di sekolahnya. "A-Apa?! Terus, di mana Lusi sekarang? Kamu nggak cari dia ke tempat lain?"
Dengan raut sendu, Hana menjawab, "Seseorang sudah membawa pergi Lusi lebih dulu dari sekolah, Ma. Kata gurunya, Lusi dijemput seseorang buat ketemu kita di rumah sakit."
"Tapi, kan, Lusi nggak datang ke rumah sakit sama sekali," tukas Bu Esih.
"Aku juga tau itu, Ma," tegas Hana.
"Apa gurunya Lusi ngasih tau orang yang menjemput dia waktu di sekolah?"
"Ya ... Bahkan, aku sempat dihubungi oleh orang yang menjemput Lusi. Dia meminta aku untuk menemuinya," jelas Hana.
"Dia bilang apa aja sama kamu? Apa dia meminta tebusan buat melepaskan Lusi? Kalau gitu, kita harus lapor polisi," cetus Bu Esih, raut wajahnya semakin panik.
"Kita nggak boleh melibatkan polisi," kata Hana singkat.
Tertegun Bu Esih mendengar ucapan putrinya. "Apa?! Bukannya akan lebih bagus kalau orang yang menjemput Lusi itu langsung ditangkap?"
Hana menggeleng pelan. "Akan sangat berisiko kalau kita sampai melibatkan polisi. Orang itu mengancam akan menghabisi Lusi lebih dulu kalau sampai kita berani melapor ke polisi."
"Astaga!" Bu Esih terbelalak sambil menutup mulut dengan kedua tangannya sejenak. Setela itu, ia menatap Hana lagi, seraya berkata, "Terus, sekarang kita harus gimana? Kita nggak bisa berdiam diri, Lusi dalam bahaya besar."
"Sebaiknya Mama jangan panik. Nanti Hana bakal cari Lusi dan menjemput dia secepatnya. Sekarang mendingan kita urus pemakaman Bapak dulu sampai rampung," bujuk Hana, memandang sang Ibu dengan prihatin.
Bu Esih mengangguk, lalu melangkah ke dalam rumah bersama Hana. Jenazah Pak Parman yang baru saja selesai dimandikan akan segera dikafani dan dibawa ke mesjid untuk disalatkan.
Selesai dikafani, jenazah Pak Parman dimasukkan ke dalam keranda dan digotong oleh empat orang tetangga menuju mesjid. Detik-detik melepas sang ayah ke pembaringan terakhir membuat Hana dan Bu Esih terdiam seribu bahasa. Mereka seakan tak percaya, bahwa pria yang selama ini menghabiskan waktu untuk melaksanakan kewajiban menafkahi dan menyayangi segenap hati, akhirnya telah menemui ajal.
Tak lama kemudian setelah disalatkan, jenazah Pak Parman dibawa ke pemakaman. Warga sekitar dengan sukarela menggotong keranda, mengantarkan jenazah sampai ke pusara. Proses pemakaman berjalan lancar, hingga jasad tak bernyawa Pak Parman telah tertutup sempurna oleh tanah.
Hana memandang kosong ke gundukan tanah yang mengubur sang ayah. Pikirannya benar-benar kacau, mempertimbangkan antara keselamatan Lusi dengan harga dirinya. Air mata menetes ke pipinya, kegelisahan terus bergemuruh di dalam dada gadis itu.
Pak, apakah Allah akan mengampuni dosaku jika sampai harga diri putri sulungmu ini digadaikan untuk keselamatan Lusi? Apa Bapak juga akan menerima getahnya atas keputusan buntu yang aku pilih nanti? Aku benar-benar nggak bisa berpikir jernih lagi, Pak. Seandainya orang yang akan aku hadapi itu bukan Yudis, mungkin saat ini Lusi udah ada bersama kita dan melihat Bapak untuk terakhir kalinya. Tapi ... Bagaimanapun juga aku nggak akan menyerah. Aku akan segera menyelamatkan Lusi. Aku nggak mau Lusi menyusul Bapak lebih cepat, bisik batin Hana.
Hana melangkah gontai dengan kepala tertunduk lesu. Ibunya sudah pulang lebih dulu bersama kerabatnya di depan. Langit mendung pukul tiga sore, seakan menggambarkan suasana hati Hana yang dipenuhi oleh kebimbangan bercampur sedih.
Setibanya di rumah, Hana duduk di teras belakang sambil memandangi burung kenari yang dibelinya untuk sang ayah. Tatapannya begitu intens pada makhluk yang bertengger di sebuah tangkai dalam kandang, tanpa berkedip sedikit pun. Terlintas di benaknya, mengenai nasib buruk setelah mengenal Yudis. Ia tak ubahnya burung dalam sangkar, yang dikurung oleh ancaman serta manipulasi keji dari pria itu.
"Kamu lagi mikirin apa, Hana?" Suara seorang wanita dari belakang, mengejutkan Hana.
Sontak, Hana terhenyak, lalu menoleh. "Eh, Bi Een."
"Kamu masih mikirin Lusi?" Bi Een duduk di sebelah keponakannya.
"Iya, Bi. Aku masih khawatir sama dia. Aku takut Lusi kenapa-kenapa," jelas Hana, menatap bibinya.
Bi Een membelai rambut Hana. "Semoga Lusi baik-baik aja, ya. Kita doakan, mudah-mudahan dia cepat ketemu."
"Bi, aku boleh minta tolong nggak sama Bibi?" Hana menatap bibinya dengan penuh harap.
"Minta tolong apa?" Kedua mata Bi Een membulat.
"Malam ini tolong temani Mama di rumah, ya. Hana mau pergi mencari Lusi," pinta Hana dengan wajah memelas.
"Kamu mau cari Lusi ke mana? Ini udah mau sore, di luar juga cuacanya mendung." Bi Een memperingatkan.
"Ke mana aja, Bi. Pokoknya Lusi harus secepatnya ditemukan. Aku nggak mau kalau sampai Lusi kenapa-kenapa gara-gara telat diselamatkan," tegas Hana.
"Kalau gitu, kita minta antar sama Mang Jujun. Nggak baik kamu mencari Lusi sendirian. Bibi khawatir, kamu sampai dicelakai sama orang yang nyulik Lusi," usul Bi Een.
"Bibi nggak usah khawatir. Hana bisa jaga diri," kata Hana menegaskan. "Sekarang, Bibi temani aja Mama di rumah. Hana pastikan, besok Lusi sudah ada di rumah."
Bi Een mengangguk pelan. Kecemasan di wajahnya tergambar jelas, terlebih saat Hana beranjak dari halaman belakang rumah.
Hana segera masuk ke kamar untuk mengemas barang-barang yang diperlukan untuk menyelamatkan adiknya. Tindakannya yang tergesa-gesa ini tentu saja mengundang kekhawatiran bagi Bu Esih. Wanita itu masuk ke kamar putrinya, sambil memandangi beberapa benda yang dimasukkan ke dalam tas kecil Hana.
"Kamu mau ke mana, Hana?" tanya Bu Esih.
Hana menoleh sambil menyampirkan tas ke bahunya. "Hana mau cariin Lusi sekarang juga," jawabnya.
"Ya ampun, Hana! Apa ini nggak terlalu tergesa-gesa? Mama nggak mau kalau sampai kamu dan Lusi dalam bahaya," omel Bu Esih.
"Ma." Hana memegang kedua tangan Bu Esih dan menatap mata ibunya dalam-dalam. "Mama percaya, deh, sama Hana. Hana pastikan, Lusi pulang dengan selamat dan berkumpul kembali di sini bersama kita. Doakan saja agar Hana dan Lusi selamat."
"Tapi, Hana--"
"Ma, aku mohon. Mama nggak perlu berlebihan mengkhawatirkan aku. Doa dari Mama lebih berharga buat aku sekarang ini," potong Hana.
Bu Esih mengembuskan napas berat, seraya berkata, "Kalau memang ini satu-satunya jalan keluar, baiklah ... Mama izinkan kamu pergi sekarang. Tapi, kalau sampai besok siang kalian belum kunjung pulang, Mama akan melapor ke polisi."
"Mama tenang aja. Besok pagi aku pasti pulang bersama Lusi," bujuk Hana, lalu mencium tangan ibunya.
Setelah mendapat izin dari Bu Esih, Hana bergegas pergi meninggalkan kediamannya. Tekadnya menyelamatkan sang adik, membuatnya enggan menunggu lama. Ia pun segera menaiki angkutan umum menuju terminal tatkala mendekat ke arahnya.
Di dalam angkutan umum, ponsel Hana berdering. Sebuah nomor asing muncul di ponselnya, lalu ia mengangkat panggilan itu.
"Halo," sapa Hana.
"Bagaimana, Hana? Apa kamu setuju untuk menghabiskan malam bersama aku?" tanya Yudis dari seberang telepon.
"Nggak usah basa-basi! Cepat katakan di mana kita akan bertemu!" desak Hana, sambil meremas tasnya.
Thor 💪👍🙏🙏😘