Hidup dalam takdir yang sulit membuat Meta menyimpan tiga rahasia besar terhadap dunia. Rasa sakit yang ia terima sejak lahir ke dunia membuatnya sekokoh baja. Perlakuan tidak adil dunia padanya, diterima Meta dengan sukarela. Kehilangan sosok yang ia harap mampu melindunginya, membuat hati Meta kian mati rasa.
Berbagai upaya telah Meta lakukan untuk bertahan. Dia menahan diri untuk tak lagi jatuh cinta. Ia juga menahan hatinya untuk tidak menjerit dan terbunuh sia-sia. Namun kehadiran Aksel merubah segalanya. Merubah pandangan Meta terhadap semesta dan seisinya.
Jika sudah dibuat terlena, apakah Meta bisa bertahan dalam dunianya, atau justru membiarkan Aksel masuk lebih jauh untuk membuatnya bernyawa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hytrrahmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Waktu dan Perlintasan (b)
Pertama kali melihat wanita yang begitu mirip dengan gadis di sebelahnya, Aksel terpesona dengan mulut yang setengah terbuka. Mulai dari gaya berpakaiannya, rambutnya yang sama-sama pendek, gerakan tubuh yang Aksel yakini sangat serupa dengan Meta. Membuatnya tersenyum penuh kagum. Usianya yang sudah memasuki kepala empat tak membuat kecantikannya luntur, hanya saja tubuhnya sangat kurus.
Aksel menyambut kedatangan wanita itu dengan mengacungkan tangan. "Tante, kenalin, saya Aksel. Saya diminta Tante Risa untuk nemenin Meta," beritahunya.
Vina yang melihat kesopanan Aksel pun langsung luluh, ia mengelus puncak kepala laki-laki itu dengan senyuman yang tak pernah putus.
"Makasih, ya, Aksel. Udah mau nemenin Meta untuk jalan-jalan sama saya. Berhubung Meta sudah dipercayakan sama kamu, gimana kalau kita ke Yogyakarta aja? Nanti biar saya yang ngabarin Risa."
"Saya ikut keputusan Tante sama Meta aja. Sebagai orang asing yang tersesat di sini, kayaknya keputusan saya nggak berpengaruh." Aksel bercanda, Vina tertawa namun Meta hanya diam saja.
Saat Aksel merasa candaannya tak berpengaruh pada Meta, ia pun bertanya. "Ta, lo kenapa?"
Tak ada suara, Meta benar-benar bungkam. Sedangkan kini, perhatian Vina dan Aksel hanya tertuju padanya. Seolah menanti jawaban atas pertanyaan, kenapa?
Sedari tadi, lengan Aksel sudah menyenggol gadis yang terdiam seperti patung di sebelahnya itu. Meta tampak memandangi wanita yang tingginya satu jengkal diatasnya. Entah karena merasa kagum atau apa, namun Aksel melihat kedua mata itu memerah dengan setumpuk air di pelupuknya. Wajahnya memperlihatkan perasaan yang tak menentu, sedih namun marah, entahlah. Aksel bingung mendeskripsikannya.
Saat Vina menatap dalam putrinya, air mukanya yang tadi cerah kini mulai mendung. Kedua matanya ikut memerah dengan tangan yang perlahan terbuka dan terulur. Seolah hendak memeluk putrinya yang telah jauh darinya sejak lama. Tetapi saat menyadari pergerakan Vina, Meta memundurkan tubuhnya. Membuat Vina terkejut dengan perasaan kecewa.
"Meta, kamu marah banget, ya, sama Mama?"
Air mata yang sejak tadi Meta tahan luruh, berguguran seperti hujan deras. Isaknya terdengar sekali, ikut menyesakkan Aksel yang tak tahu apa-apa di sini.
"Aku nggak perlu menjawab pertanyaan yang udah Mama tau jawabannya."
"Maafin Mama, Ta. Mama ngelakuin ini karena-"
"Jangan menyalahkan aku atas keinginan Mama! Aku sakit ngeliat Mama kayak gini, sakit banget ketika Mama harus kayak gini gara-gara aku."
Sebelum sempat menjelaskan semuanya, ucapan Vina dipotong oleh Meta dengan nada yang tinggi. Sampai membuat Aksel terkejut dengan kening yang berkerut. Yang bisa ia simpulkan saat ini hanyalah satu, hubungan Meta dan ibu kandungnya tidak baik. Aksel kembali menyaksikan kesedihan di kedua netra perempuan itu, ikut menenggelamkannya di sana.
Saat Vina mendekat, Meta mundur lagi. Tapi kali ini, Vina menyambar lengan Meta dengan mata yang basah. "Bukan itu maksud Mama, Ta. Semua ini bukan karena kamu, tapi pilihan Mama. Semua salah Mama, karena itu kamu harus bersama keluarga yang tepat."
Dalam pergerakan yang kasar untuk menolak sentuhan ibunya, Meta terhenti. "Keluarga yang tepat? Mama tau apa soal itu? Kita sama-sama punya keluarga yang hancur, Ma!" teriak Meta habis kesabaran. "Mama bahkan nggak pernah mastiin keadaan aku di sini. Aku sama siapa, keadaan aku kayak gimana. Aku nggak yakin Mama mikirin itu semua."
"Ta ... pikiran buruk kamu tentang Mama terlalu jauh. Mama punya alasan dibalik itu semua, kamu harus paham posisi Mama."
"Siapa yang akan paham posisi aku, Ma? Padahal aku punya ibu kandung. Tapi kenapa harus orang lain yang mengerti tentang kondisi aku?"
Tak ada jawaban ataupun perdebatan lagi, Vina benar-benar dilanda rasa bersalah terhadap putrinya. Ia hanya bisa melepas cekalannya di lengan Meta, menangis sambil menyembunyikan wajahnya.
Pandangan Meta tak lepas dari ibunya. "Aku lebih rela Mama menikah lagi daripada harus kayak gini. Aku ikut ngerasa kotor, Ma," lirih Meta.
Vina juga bingung, saat itu kondisinya benar-benar mendesak, ia tak punya pilihan lain. "Mama cuma bisa minta maaf sekarang, Ta. Mama belum bisa berhenti," jawabnya bergetar.
"Aku nggak mau diperjuangkan dengan cara kayak gini, Ma!"
"Meskipun kamu nggak mau, Mama harus lakukan."
"Mama egois!" bentak Meta semakin tinggi, membuat Aksel semakin panik. Tak mau hanya diam berpangku tangan lagi melihat situasi yang mulai mengkhawatirkan.
Tangan Aksel bergerak mendekap Meta, menenggelamkan kepala cewek itu di dadanya. Aksel merasa, Meta sudah cukup keterlaluan pada Vina, terlepas dari apapun kesalahan yang ibunya itu lakukan. Walau Aksel juga tidak tahu apa kesalahan Vina hingga membuat Meta semarah sekarang. Tapi yang pasti, fatal sekali.
Aksel merasakan isakan Meta mereda, tangannya terus mengelus puncak kepala gadis itu. "Emosi lo nyakitin Tante Vina dan diri lo sendiri. Nggak ada gunanya ngikutin kemarahan itu, Ta."
Tak ada tanggapan, Meta hanya terisak dan mencoba menenangkan dirinya. Sementara Vina, wanita itu telah membalikkan badannya untuk menghapus jejak air mata di wajahnya. Kemudian tanpa suara, ia berjalan memasuki mobil yang dipunggungi Aksel.
"Hari baik lo rusak karena kemarahan lo sendiri. Seharusnya lo menikmati pertemuan ini, Ta."
Meta menangis lagi mendengar penuturan Aksel. Sebuah tepukan pelan mendarat di dadanya. "Lo diem, lo nggak tau apa-apa!" bentaknya. "Gue nggak mau punya mama kayak dia!"
Kening Aksel berkerut. Dalam hati ia bertanya, Emang mama lo orang seperti apa?