Arsyi seorang wanita sederhana, menjalani pernikahan penuh hinaan dari suami dan keluarga suaminya. Puncak penderitaannya terjadi ketika anaknya meninggal dunia, dan ia disalahkan sepenuhnya. Kehilangan itu memicu keberaniannya untuk meninggalkan rumah, meski statusnya masih sebagai istri sah.
Hidup di tengah kesulitan membuatnya tak sengaja menjadi ibu susu bagi Aidan, bayi seorang miliarder dingin bernama Rendra. Hubungan mereka perlahan terjalin lewat kasih sayang untuk Aidan, namun status pernikahan masing-masing menjadi tembok besar di antara mereka. Saat rahasia pernikahan Rendra terungkap, semuanya berubah... membuka peluang untuk cinta yang sebelumnya mustahil.
Apakah akhirnya Arsyi bisa bercerai dan membalas perbuatan suami serta kejahatan keluarga suaminya, lalu hidup bahagia dengan lelaki baru?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 31.
Hari itu menjadi hari yang berat bagi Arsyi. Sidang pertama atas kejahatan Bu Ratna dan adik Fajar resmi digelar. Rendra menggenggam erat tangan istrinya, menemaninya duduk di kursi penonton. Jari-jari pria itu hangat, seakan ingin menyalurkan kekuatan pada Arsyi yang matanya tak henti bergetar menahan perih.
Tak jauh dari sana Fajar duduk bersama istrinya, Venita. Wajahnya pucat, sorot matanya kosong seakan dunia yang ia pijak runtuh perlahan.
Ketika pintu sidang dibuka, Bu Ratna dan Linda digiring masuk dengan borgol yang berkilat di bawah cahaya lampu ruang sidang. Tatapan mereka tajam, penuh kebencian langsung menusuk ke arah Arsyi. Mata mereka merah, wajah mereka kaku menahan amarah.
Arsyi berbalik menatap mereka dengan dipenuhi amarah, dadanya sesak.
Bagaimana mungkin… mereka tega melakukan ini pada anakku?
Sebulan lalu saat keluarga Fajar baru pulang dari pesta pernikahan Arsyi dengan Rendra, pihak berwajib sudah menunggu. Malam kebahagiaan Arsyi, justru menjadi awal dari kejatuhan keluarga yang pernah menginjak-injak harga dirinya.
Hasil otopsi anaknya terngiang kembali di kepala Arsyi... racun. Anak sekecil itu, malaikat kecil yang tak pernah menyakiti siapapun, direnggut dengan cara sehina itu.
Bibir Arsyi bergetar, Rendra segera meraih bahu istrinya lalu menepuk lembut, “Aku di sini, Sayang.”
Arsyi hanya mengangguk pelan.
Sidang berjalan alott, Jaksa membacakan bukti-bukti. Racun yang dibeli Linda dari seorang teman kampusnya, hingga kesaksian Bibi Fajar yang melihat langsung gelagat mencurigakan di hari kejadian. Bahkan teman kampus Linda ikut di penjara karena terlibat.
Ruang sidang penuh ketegangan.
Linda hanya menunduk, sementara Bu Ratna berteriak histeris menolak mengaku. “Fitnah! Semua fitnah! Perempuan itu ingin menghancurkan hidupku!” Suaranya menggema, membuat suasana semakin ricuh.
Hakim mengetukkan palu dengan keras. “Sidang akan dilanjutkan! Namun dengan bukti dan kesaksian yang ada, pengadilan menilai terdakwa telah melakukan tindak pidana berat. Putusan final akan dibacakan pada sidang berikutnya!"
Ucapan itu cukup menjadi kepastian bahwa jalan bagi Bu Ratna dan Linda menuju jeruji besi hampir tak terbantahkan.
Begitu sidang usai, Arsyi berdiri lemas. Tubuhnya goyah, dan Rendra langsung merengkuhnya ke dalam dekapannya. Ia menyandarkan wajah Arsyi ke dadanya, memberi ruang bagi istrinya untuk menangis tanpa suara.
Dari kejauhan, Fajar menatap pemandangan itu. Lesu dan hampa. Ada sesal, ada marah serta getir bercampur menjadi satu. Ia tak pernah menyangka kelurganya sendiri, ibu dan adiknya sanggup melakukan kekejian yang bahkan ia tak bisa bayangkan. Melenyapkaann... a n a k kandungnya.
Venita, yang berdiri di samping Fajar menelan ludah. Wajahnya penuh keterkejutan. Ia memang tahu ibu mertuanya keras kepala dan bermulut kotor, namun tak pernah terpikir olehnya bahwa perempuan tua itu akan tega menghabisi seorang anak, cucunya sendiri.
Dengan langkah gugup, Venita mendekati ke arah Arsyi. Suaranya lirih, penuh ketakutan, “Nyonya, saya ikut berduka. Saya… saya bersumpah, saya tidak tahu apa-apa.”
Ia bahkan tak berani menatap Rendra, karena tahu lelaki itu bersikap dingin pada wanita manapun selain istrinya. Venita menggenggam erat jemarinya sendiri, ia gemetar.
Arsyi hanya menatap wanita itu dengan mata sembab, tanpa kata. Di matanya ada luka, ada kemarahan tapi juga kelelahan yang terlalu dalam untuk dilampiaskan.
Di lorong pengadilan yang sepi, langkah Arsyi terdengar pelan dan berat saat berjalan keluar. Seakan setiap hentakan tumitnya membawa kembali kenangan buruk yang tak pernah hilang. Begitu mereka sampai di parkiran, tubuhnya tiba-tiba lunglai.
Rendra cepat tanggap, memeluk istrinya erat-erat. “Sayang… tabahlah."
Arsyi menyembunyikan wajahnya di dada Rendra. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya pecah juga. “Bang… aku masih bisa melihatnya. Senyum Alif, tawanya. Aku masih mendengarnya, setiap malam.”
Suara Arsyi pecah, membuat dada Rendra ikut sesak. Ia mengusap lembut punggung istrinya, menyalurkan kekuatan. “Aku tahu, Sayang. Aku tahu. Luka itu mungkin tidak akan pernah hilang… tapi aku berjanji, aku akan selalu ada di sampingmu. Menemanimu melewati hari-hari ini.”
Arsyi menggenggam jas Rendra erat-erat, seolah takut pria itu akan hilang. “Kenapa mereka begitu tega, Bang? Kenapa…?”
Rendra mengecup keningnya lama. “Karena hati mereka sudah buta oleh kebencian. Tapi kau… harus tetap semangat untuk hidup, Sayang. Kau masih punya aku, Aidan serta calon anak kita. Jangan biarkan mereka merampas kebahagiaan mu. Ayo pergi ke makam anak pertama kita, ya."
Rendra menganggap anak Arsyi yang telah meninggal adalah anaknya juga, seperti baby Aidan yang bukan darah dagingnya.
Arsyi terisak, tubuhnya bergetar hebat. Tapi dalam dekapan suaminya ia menemukan sedikit rasa aman. Seakan dunia yang runtuh bisa ia hadapi selama pria itu ada di sisinya.
Di sisi lain, Fajar duduk sendirian di bangku kayu pengadilan yang sudah kosong. Venita memanggilnya beberapa kali namun pria itu hanya terdiam, matanya kosong menatap lantai.
Bayangan ibunya yang berteriak-teriak tadi masih menghantui kepalanya. Suara hakim, bukti-bukti yang dibacakan, bahkan tatapan benci Arsyi… semua menghuujamnya tanpa ampun.
“Mas…” Venita menyentuh lengan suaminya dengan hati-hati. “Ayo pulang.”
Namun pria itu tak bergeming. Bibirnya akhirnya bergerak pelan, suaranya parau. “Kenapa, Ven? Kenapa mereka begitu kejam? Itu… itu anakku juga, darahku mengalir pada tubuh Alif. Bagaimana mungkin mereka begitu tega?”
Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh. Untuk pertama kalinya Fajar tidak lagi terlihat arogan, tidak lagi sombong seperti dulu. Kini ia hanya seorang lelaki yang hancur, dikhianati oleh keluarganya sendiri.
Venita menggenggam tangan suaminya erat. “Aku tidak tahu, Mas. Aku juga kaget, tapi… jangan ikut tenggelam. Kau masih punya aku, kau masih bisa memperbaiki hidupmu. Aku berjanji, aku akan berubah menjadi istri yang baik untukmu dan kamu... mulailah bertobat."
Fajar menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Aku bahkan tidak tahu apakah aku pantas hidup setelah semua ini. Aku terlalu buta dulu, Ven. Aku juga ikut menyakiti Arsyi, aku membiarkan semua ini terjadi.”
Venita menahan napas. Ia tahu suaminya memang pernah salah, tapi melihatnya hancur seperti ini membuat hatinya ikut sakit. Sepertinya dia mulai mencintai Fajar, bukan hanya uangnya. Ia merangkul Fajar dengan hati-hati.
“Kalau Mas benar-benar menyesal, buktikan. Jangan biarkan dosamu bertambah dengan menyerah begitu saja. Hidup bukan hanya tentang masa lalu, tapi bagaimana Mas bisa memperbaikinya. Ayo ke makam anakmu, mintalah maaf padanya... aku akan menemanimu Mas."
Fajar terdiam lama. Air matanya jatuh satu persatu, membasahi jemari Venita yang menggenggamnya. Dalam hati kecilnya, ia tahu… ia telah kehilangan segalanya. Tapi mungkin, ada jalan kecil untuk menebus dosanya.
____
Malam itu, Daniel datang ke rumah Rendra. Ia ingin mengabari Rendra tentang Raisa, ia juga sudah menyiapkan banyak hal yang ingin disampaikan. Tentang pertemuan Raisa dengan seseorang di gudang, tentang bahaya yang mungkin mengintai wanita itu.
Namun begitu pintu ruang kerja terbuka, pandangannya langsung membeku saat melihat seseorang duduk di ruangan itu.
Dia? Apa yang dia lakukan di sini? Jangan-jangan… Tuan Rendra sudah tahu tentang keberadaan Raisa sejak lama? Kalau memang begitu, kenapa dia memilih diam? Kenapa tidak memberitahuku? Padahal dia tahu betul aku hampir kehilangan akal... mencari Raisa ke segala penjuru, dengan rasa cemas yang tak pernah reda.
harusss lebih kuatttt
semangat
lanjuuut