NovelToon NovelToon
Dinikahi Duda Mandul!!

Dinikahi Duda Mandul!!

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Romantis / Janda / Duda / Romansa / Chicklit
Popularitas:7.3k
Nilai: 5
Nama Author: Hanela cantik

Kirana menatap kedua anaknya dengan sedih. Arka, yang baru berusia delapan tahun, dan Tiara, yang berusia lima tahun. Setelah kematian suaminya, Arya, tiga tahun yang lalu, Kirana memilih untuk tidak menikah lagi. Ia bertekad, apa pun yang terjadi, ia akan menjadi pelindung tunggal bagi dua harta yang ditinggalkan suaminya.

Meskipun hidup mereka pas-pasan, di mana Kirana bekerja sebagai karyawan di sebuah toko sembako dengan gaji yang hanya cukup untuk membayar kontrakan bulanan dan menyambung makan harian, ia berusaha menutupi kepahitan hidupnya dengan senyum.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanela cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 11

Pagi itu Yuda sudah berada di pabriknya. Udara masih terasa sejuk, bercampur dengan aroma tipis gabah kering. Yuda mengawasi beberapa karung beras premium yang sedang dimuat ke dalam truk.

Ia menghampiri Asman, kepala regu pengiriman, yang sedang memeriksa surat jalan.

“Bagaimana pengiriman ke kota X?” tanya Yuda pada Asman, suaranya sedikit meninggi agar terdengar jelas di tengah kebisingan aktivitas bongkar muat.

Asman segera membalik badannya menghadap Yuda, memberi hormat singkat.

“Semuanya lancar, Pak Yuda,” jawab Asman dengan nada lega. “Truk sudah loading penuh sejak subuh tadi, dan semua sudah diikat rapi. Kami sudah memastikan kualitas barang yang dimuat sesuai dengan pesanan dari distributor.”

Asman mengambil napas sebentar sebelum melanjutkan laporannya dengan argumen yang lebih rinci.

“Kami juga sudah antisipasi, Pak. Berhubung cuaca akhir-akhir ini tidak menentu, kami sudah melapisi karung-karung tersebut dengan terpal di bagian dalam truk, meski truknya sudah tertutup. Ini untuk jaga-jaga agar tidak ada risiko rembesan air sedikit pun yang bisa merusak kualitas beras saat perjalanan jauh.”

Yuda mengangguk puas, mengapresiasi inisiatif Asman. “Bagus, Man. Keamanan barang adalah prioritas utama. Bagaimana dengan surat jalannya? Semua sudah lengkap dan ditandatangani?”

“Sudah, Pak. Surat jalan, faktur, dan segel pengaman gudang sudah terlampir lengkap di tangan sopir,” jelas Asman sambil menunjuk ke arah sopir yang sedang memanaskan mesin truk. “Sopir sudah kami ingatkan juga, untuk tidak berhenti sembarangan dan segera konfirmasi begitu tiba di tujuan. Diperkirakan sore nanti sudah sampai di sana, Pak.”

“Kerja bagus, Man. Pastikan proses pengiriman selalu zero defect,” kata Yuda, menepuk bahu Asman.

Setelah itu Yuda masuk untuk mengecek semua sisi bagian gudang. Untuk memastikan tidak ada masalah. disana.

Yuda menyelesaikan pekerjaannya di gudang. Beberapa kali ia melirik jam dinding. Waktu terasa berjalan sangat lambat. Ia sebenarnya sudah bisa meninggalkan pabrik sejak pukul tiga sore, karena semua urusan harian sudah selesai ia bereskan. Namun, Yuda sengaja menunda kepulangannya.

Tepat pukul 16:15, Yuda akhirnya meraih kunci motornya. Ia segera mengenakan helm dan jaketnya, lalu bergegas keluar.

Setibanya di jalan raya dekat gang toko, Yuda memelankan laju motornya. Ia tidak langsung memacu gas. Ia mencari sosok Kirana di antara keramaian pejalan kaki sore itu.

Benar saja. Tidak jauh di depan, Yuda melihat Kirana. Wanita itu sedang berjalan kaki, membawa tas belanjaan di tangan, tampak lelah.

Yuda sengaja menjaga jarak. Ia menjalankan motornya dengan pelan, membiarkan Kirana berjalan agak jauh dari pintu toko.

“Gila, Yud. Lo ngapain sih? Kenapa harus repot-repot nungguin Kirana pulang kerja?" batin Yuda, merasa aneh dengan dirinya sendiri.

"Mungkin, ini yang namanya niat baik", pikir Yuda, mencoba membenarkan perbuatannya.

Akhirnya, ketika jarak mereka sudah cukup aman, Yuda menambah sedikit kecepatan motornya. Begitu ia sejajar dengan Kirana, Yuda memelankan motornya lagi.

“Mbak Kirana!” sapa Yuda dengan senyum

Kirana menoleh, wajahnya menunjukkan sedikit keterkejutan.

“Iya, Mbak. Ini baru keluar dari pabrik,” jawab Yuda. Sebenarnya ia ingin mengatakan, 'iya mbak, sengaja nunggu mbak pulang biar bisa bareng' namun ia menahan diri.

" mbak mau pulang juga" tanya Yuda. " bareng aja mbak sekalian"

Kirana tersenyum tipis. “Nggak usah, Mas Yuda. Saya masih mau mampir dulu ke warung sebelah. Lagian rumah saya deket kok. Jalan kaki juga nggak apa-apa.”

Yuda menggeleng pelan, masih berusaha. “Ya nggak apa-apa juga kalau deket, Mbak. Tapi saya lewat arah sana juga, sekalian nganter nggak ada ruginya. Mbak kan keliatan capek banget.”

Kirana menunduk sedikit, mempererat pegangan pada tas belanjaannya. “Beneran nggak usah, Mas. Saya juga nggak enak. Mas Yuda pasti capek habis kerja di pabrik.”

Jawaban itu membuat Yuda terdiam sesaat. Ia sudah menduga Kirana akan menolak, tapi tetap saja ia merasa… sedikit kecewa. Namun ia sadar, memaksa hanya akan membuat Kirana makin tidak nyaman.

Akhirnya Yuda mengangguk, menuruti.

“Ya sudah kalau gitu, Mbak.”

Ia menghela napas pelan, berusaha menutup rasa kikuk dalam dirinya. Kirana tersenyum kecil, seolah berusaha membuat suasana tidak terasa canggung.

"kalo gitu saya permisi mas"

Tepat ketika Kirana hendak melanjutkan langkahnya, Yuda kembali bersuara.

“Mbak… boleh minta nomor WA-nya nggak?”

Kirana spontan berhenti. “Hah? Nomor WA?”

Yuda cepat-cepat mengangkat tangan, memberi isyarat bahwa ia tidak punya maksud aneh. “Bukan buat apa-apa, Mbak. Saya cuma… biar gampang hubungin Mbak nanti kalau saya mau jemput Arka sama Tiara. Soalnya kemarin pas ngambil Tiara, saya sempet bingung banget. Takutnya kalau ada apa-apa, saya bisa langsung kabarin.”

Kirana terlihat berpikir. Sebentar saja—dan jelas ia menimbang apakah permintaan ini aman. Akhirnya ia menghembuskan napas perlahan.

“Oh… iya. Kalau buat itu, boleh, Mas.”

Yuda segera merogoh ponselnya, membuka kontak. “Nomornya berapa, Mbak?”

Kirana menyebutkan nomornya dengan suara pelan namun jelas. Yuda mengetiknya hati-hati, seolah nomor itu barang berharga yang tidak boleh salah satu digit pun.

“Sudah, Mbak?” tanya Yuda memastikan.

Kirana mengangguk. “Iya.”

“Terima kasih, Mbak. Saya chat nanti biar nomornya kesimpen.”

“Baik, Mas.”

Mereka berdua terdiam sesaat. Angin sore berembus, membawa aroma tanah yang lembap.

Akhirnya Yuda tersenyum senyum kecil.

“Kalau gitu, hati-hati ya Mbak Kirana.”

Kirana membalas senyum tipis. “Iya, Mas. Terimakasih"

Yuda lalu memacu motornya perlahan, tapi sebelum benar-benar pergi, ia sempat melirik lewat kaca spion. Kirana masih berjalan, menunduk sedikit karena lelah dengan jilbabnya yang tertata rapi, sederhana, namun selalu terlihat bersih dan sopan.

Walaupun ditolak Yuda tidak merasa marah justru sebaliknya dia malah merasa bahagia.

.....

Yuda sudah selesai mandi dan berganti pakaian. Ia merebahkan diri di kasur, punggungnya bersandar pada sandaran ranjang yang empuk. Ia meraih ponselnya yang tergeletak di samping bantal.

Layar ponsel menyala terang di kegelapan, menampilkan satu nama yang sejak sore tadi terus ingin ia hubungi.

Kirana.

Nomor yang baru saja ia dapatkan itu seolah menatap balik ke arahnya, menantang, membuat

Dada Yuda berdebar tanpa alasan jelas.

“Kenapa ribet banget sih, Yud… cuma mau chat doang,” gumamnya sambil mengusap wajah kesal pada dirinya sendiri.

Ia mengetik sesuatu.

Assalamualaikum mbak Kirana, ini Yuda…

Kemudian ia hapus.

Ia mengetik lagi.

Mbak Kirana, ini nomor saya. Biar kalau butuh apa-apa…

Hapus lagi.

Ia mengetik ulang.

Mbak, saya cuma mau bilang hati-hati besok berangkat kerja…

Hapus lagi.

Yuda mendesah keras, memukul pelan keningnya dengan ponsel.

“Astaga, Yuda… masa ngetik WA segini susahnya? Kayak mau lamaran aja.”

Ia menggulingkan tubuhnya ke sisi lain, menatap langit-langit, kemudian kembali menatap layar ponsel. Jari-jarinya gemetar ringan, bukan takut… tapi gugup — sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan.

Akhirnya ia memutuskan mengetik sesuatu yang paling sederhana, paling aman, dan paling masuk akal.

Perlahan ia mengetik:

Assalamualaikum mbak… ini Yuda.

Sesudahnya, ia sempat terdiam lama. Tombol send terasa seperti tombol paling menegangkan di dunia. Namun akhirnya, dengan satu hembusan napas panjang, Yuda menekannya.

Pesan itu terkirim.

Ada jeda beberapa detik di mana Yuda hanya menatap layar, menunggu tanda “dibaca”. Belum muncul.

Ia mematikan layar ponsel, meletakkannya di dada, lalu menutup mata.

“Terserah lah… yang penting udah ngirim,” gumamnya dengan suara pelan.

Namun beberapa detik kemudian, ia cepat-cepat menyalakan layar lagi. Belum ada balasan. Dia mematikan layar. Menyalakan lagi. Begitu terus.

1
Ds Phone
marah betul tak ada ampun
Ds Phone
orang kalau buat baik balas nya juga baik
Ds Phone
baru bunga bunga yang keluar
Ds Phone
mula mula cakap biasa aja
Ds Phone
terima aja lah
Ds Phone
orang tu dah terpikat dekat awak
Ds Phone
orang berbudi kitaberbads
Ds Phone
dia kan malu kalau di tolong selalu
Ds Phone
tinggal nikah lagi
Ds Phone
terlampau susah hati
Ds Phone
dia tak mintak tolong juga tu
Ds Phone
orang tak biasa macam tu
Ds Phone
senang hati lah tu
Ds Phone
dah mula nak rapat
Ds Phone
emak kata anak kata emak sama aja
Ds Phone
dah mula berkenan lah tu
Ds Phone
itu lah jodoh kau
Ds Phone
kenapa kau tak bagi dia balik
Ds Phone
anak yang kau pinjam wang nya
Ds Phone
makan nasi dengan mee insten campur telur
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!