Aku menikah karena perjodohan. Tanpa dasar cinta, karena suamiku adalah paribanku. Sama seperti diriku, Arbi juga menolak perjodohan ini. Tapi apalah daya, kami tidak bisa menolak perjodohan itu. Mampukah kami menjalani rumah tangga yang menurut pandangan orang kami adalah pasangan yang bahagia?
Terlebih ada Gladys diantara kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31.
Kedua pipiku seolah dirembesi aliran hangat. Terpaku akan perhatian itu. Merasa nyaman dan hangat.
"Masih dingin?" sapanya lagi lembut. Aku menggelengkan kepala. Lidahku tercekat tidak mampu berkata. Tuhan, ada apa ini. Batinku. Diamnya aku membuat Bastian salah paham.
"Ya, Tuhan. Tanganmu benar-benar dingin, Ra." Karena aku diam, Bastian meraih telapak tanganku. Lalu digosokkannya telapak tangan kekar itu ke jemariku. Telapak tangan yang sedikit kasar, namun hangat. Seolah mau memindahkan hawa tubuhnya.
Dia tidak tau rasa dingin yang kurasa karena dirinya. Perhatiannya. Ofs, mudah sekali aku baper. Aku tidak kuasa menampik, tanganku tenggelam dalam genggaman besar itu.
"Tau begini kita mending pulang tadi." Cemasnya menatap kesekeliling.
"Aku tidak apa-apa. Hanya perubahan suhu mungkin." Aku berusaha melepas halus tangannya yang masih menggenggam jemariku. Bersamaan dengan datangnya pesanan kami. Bastian melepas jemariku. Dia menyodorkan segelas air putih hangat padaku.
"Minumlah, Ra, biar tubuhmu terasa hangat." Aku meneguknya. Melegakan tergorokanku yang tadi serasa tercekat.
"Gimana, sudah nyaman?" ucapnya lagi. Sinar mata itu mencemaskanku.
"Lumayan," ucapku dan mencoba menatapnya untuk meyakinkan dirinya. Tapi sial, aku malah terperangkap lagi dalam pandangannya. Buru-buru aku mengalihkan netraku. Mengaduk bihun goreng yang masih mengepulkan asap di depanku.
"Yuk, dinikmati, Ra."
Aku memasukkan sesuap bihun goreng ke mulutku. Mencecapnya, terasa nikmat di mulut.
"Kamu suka gak rasanya?" ucap Bastian. Ternyata dia memerhatikan saat suap demi suap masuk ke dalam mulutku.
"Iya, enak. Gurih." Aku menghabiskan porsi makanku. Karena sejak sore memang perutku belum diisi.
"Lapar ya?" Bastian menatap piringku yang sudah tandas.
"Ho-oh." Aku tersenyum seraya menyeruput kopi dihadapanku. Kulihat piring Bastian juga sudah kosong.
"Aku juga lapar." Tawanya berderai lalu mengusap perutnya yang sudah terisi. Setelah menghabiskan sebatang rokok, dan menyulutnya lagi yang baru, Bastian mengajakku pulang. Dibelakang kemudi juga dia masih asyik menikmati rokoknya.
"Kalau bisa rokoknya dikurangilah, Mas. Berhenti juga malah lebih bagus," ucapku. Bastian melirikku sekilas laku melihat rokok yang masih terselip di jarinya. Dia memang suka merokok, sama seperti Arbian. Dulu awal tinggal seatap dengannya aku suka protes karena tidak tahan asap rokoknya. Perlahan dia mulai jarang merokok didepanku. Kalau mau merokok dia pergi ke kamarnya atau ke teras.
"Susah, tapi demi kamu gak ada salahnya dicoba." Dia langsung membuang rokok di jarinya yang tersisa separuh lagi.
"Lho, kok malah dibuang?" seruku heran. Kupikir dia akan menghabiskan sisa rokoknya saja dan tidak menyulut yang baru lagi, disepanjang perjalanan pulang.
"Kan disuruh berhenti, yah Mas buang."
"Maaf ya, Mas. Aku tidak bermaksud menggurui, Mas. Jangan marah ya." Aku menoleh ke arah Mas Bastian. Mereka-reka raut wajahnya yang biasa saja. Tidak tersimpan emosi atau kesal disana.
"Kenapa marah? Malah senang ada yang merhatikan," guyonnya tersenyum lebar. Aku menghela napas lega. Aku memandang ke arah depan. Tidak ingin mengganggu konsentrasi Bastian yang fokus menyetir.
Beberapa saat kami saling diam. Terlebih karena hujan perlahan turun. Kisaran sepuluh menit lagi kami akan tiba di rumah. Tapi seolah dicurahkan dari langit, mendadak hujan turun semakin deras.
Entah dari mana datangnya seekor anjing tiba-tiba muncul dari arah tikungan. Berlari ke seberang. Hampir saja Bastian menabraknya. Suara decit ban terdengar menyakitkan telinga, kala Bastian berhenti mendadak. Tak ayal lagi tubuhku terdorong ke depan. Keningku menyentuh dashboard. Aku merasakan kepalaku pusing. Pandanganku berkunang-kunang, karena benturan itu lumayan keras.
"Rania, kamu tidak apa-apa?" Masih sempat kudengar teriakan itu sebelum akhirnya aku merasakan sekitarku gelap.
Aku mencium aroma khas dari minyak kayu putih. Membuat kesadaranku pulih. Kubuka kedua belah mataku. Yang pertama kulihat adalah cahaya putih menyilaukan. Ruangan serba putih serta aroma obat-obatan.
Aku merasakan keningku berkedut. Saat kuraba ternyata telah dibalut perban. Aku mencoba mengingat apa yang telah terjadi sebelumnya.
Kucoba untuk duduk, tapi kedutan di kepalaku semakin menjadi. Apakah lukaku benar-benar parah hingga aku harus dirawat di rumah sakit.
"Rania, kamu sudah sadar?" sesosok tubuh menghampiri ranjang tempatku terbaring.
"Mas, kok aku bisa berada disini?" tanyaku penuh heran.
"Maafkan Mas ya. Tadi kamu pingsan karena kepalamu terbentur, saat aku menghindari anjing yang lagi menyeberang."
"Trus, Mas gapapa?" aku melihat lengannya yang dibalut perban.
"Tidak apa-apa, cuma lecet sedikit. Bagaimana kondisi, Ra."
"Masih agak pusing Mas, mungkin pengaruh benturan itu." Aku memegangi kepalaku dan menekannya perlahan-lahan.
"Iya, kamu istirahat saja dulu. Kata dokter kita harus menginap di rumah sakit malam ini." Bastian membetulkan selimutku hingga sebatas leher.
"Mas juga harus istirahat."
"Iya, Mas tidur di sofa."
Aku mencoba memejamkan kedua netraku. Supaya rasa pusing dikepalaku menghilang. Ah, siapa sangka malam ini, aku dan Bastian akan menginap di rumah sakit. Kami nyaris mengalami kecelakaan hanya karena seekor anjing.
***
Aku masih tertidur saat kudengar suara berisik di depan pintu kamar tempat aku dirawat. Rasa pusing dikepalaku sudah jauh berkurang. Mungkin pengaruh obat yang disuntikan lewat infus disepanjang malam.
Pintu terbuka lebar. Ibu mertua dan Mery datang membezuk. Aku heran dari mana mereka tahu aku berada disini? Apakah Bastian menelepon mereka.
"Rania, apa yang terjadi sama kamu?" Inang menatap sekujur tubuhku. Mery juga bertanya hal yang sama. Aku bercerita seperlunya saja.
"Siapa dia Kak?" Mery menatap aneh pada Bastian yang masih terlelap.
"Dia Bastian."
"Bastian? Teman Bang Arbi itu ya? Jadi dia yang menolong Kakak?" Mery menatapku penuh tanda tanya. Ibu mertua juga tidak bisa menyembunyikan kecurigaannya.
"Tau dari mana Kakak masuk rumah sakit?" aku mengalihkan perhatian ibu mertua dan Mery.
"Ada temanku yang kerja disini, Kak. Dia kenal sama Kakak, dan mengabariku untuk memastikan. Ternyata benar. Sebenarnya kami mau datang segera, tapi terhalang hujan. Mana sudah larut. Makanya kami datang sepagi ini Kak. Mama sampai gak bisa tidur."
"Kamu kok bisa bersama teman Arbi, Ra?" celetuk ibu mertua masih penasaran.
"Sebenarnya , Rania tinggal sementara di rumahnya Inang. Tadi sore baru pulang dari luar kota. Rania menemaninya belanja." Ungkapku jujur.
"Jadi selama ini kamu belum pulang ke rumah? Astaga, Ra. Jadi benar ucapan Arbi kalau kamu tinggal seatap dengan pria lain?" delik ibu mertua. Wajah beliau berubah masam.
"Bukan kami berdua saja, Inang. Ada Bibi Sumi asisten rumah tangga Bastian. Lagi pula Bastian sekali seminggu pulang. Rencananya juga, hari ini Rania mau pindah." Aku mencoba menjelaskan hal sebenarnya supaya bu mertua tidak salah paham.
"Iya, Inang percaya sama kamu. Tapi bagaimana pun, status kamu masih istri, Arbian. Inang tidak ingin terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan."
"Karena itu aku ingin segera bercerai dengan, Arbi, Inang."
"Jadi kamu serius mau minta cerai." Ibu mertua menghela napas panjang. Aku mengangguk. Dan tiba-tiba Arbian sudah berdiri diambang pintu. ***
semangat thor secepatnya rania bebas dari arbi ok thor
semangat thor