NovelToon NovelToon
Adharma

Adharma

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Horror Thriller-Horror / Kriminal dan Bidadari
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Saepudin Nurahim

Di Kota Sentral Raya, kejahatan bukan lagi bayangan yang bersembunyi—ia adalah penguasa. Polisi, aparat, hingga pemerintah berlutut pada satu orang: Wali Kota Sentral Raya, dalang di balik bisnis ilegal, korupsi, dan kekacauan yang membelenggu kota ini.

Namun, ada satu sosok yang tidak tunduk. Adharma—pria yang telah kehilangan segalanya. Orang tua, istri, dan anaknya dibantai tanpa belas kasihan oleh rezim korup demi mempertahankan kekuasaan. Dihantui rasa sakit dan dendam, ia kembali bukan sebagai korban, tetapi sebagai algojo.

Dengan dua cerulit berlumuran darah dan shotgun di punggungnya, Adharma tidak mengenal ampun. Setiap luka yang ia terima hanya membuatnya semakin kuat, mengubahnya menjadi monster yang bahkan kriminal pun takut sebut namanya.

Di balik topeng tengkorak yang menyembunyikan wajahnya, ia memiliki satu tujuan: Menumbangkan Damar Kusuma dan membakar sistem busuk yang telah merenggut segalanya darinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sekutu Baru

Darma masih duduk di kursi reyot, tubuhnya bersandar malas, tatapan matanya kosong menatap dinding kayu yang mulai lapuk. Asap rokok mengepul dari bibirnya, memenuhi ruangan kecil yang nyaris tanpa cahaya. Pagi ini terasa lebih sunyi dari biasanya—terlalu sunyi.

Tapi keheningan itu tak bertahan lama.

TOK! TOK! TOK!

Ketukan keras menggema di pintu kayu tua. Suara itu terlalu tegas, bukan seperti pemilik kontrakan atau orang-orang biasa.

Darma segera meraih salah satu cerulitnya yang tersimpan di bawah meja. Tubuhnya menegang, insting bertahan hidupnya langsung aktif. Siapa yang menemukan tempat ini?

Ia berdiri perlahan, lalu berjalan mendekati pintu.

TOK! TOK! TOK!

Ketukan itu terdengar lagi, lebih kuat dari sebelumnya.

“Darma,” suara seorang wanita terdengar dari balik pintu. “Aku tahu kau ada di dalam.”

Langkah Darma terhenti sesaat. Matanya menyipit. Suara ini… bukan polisi biasa.

Ia mengintip dari sela-sela kayu yang retak. Sosok seorang wanita berdiri di luar, mengenakan jaket kulit hitam, celana tactical, dan sepatu boots. Rambutnya dikuncir kuda, dan di pinggangnya terlihat jelas pistol terselip.

Darma tak pernah melihatnya sebelumnya, tapi satu hal yang jelas: orang ini bukan warga biasa.

Dengan hati-hati, Darma membuka pintu sedikit, tetap menggenggam cerulit di tangan kanan.

“Mau apa kau?” suaranya dingin.

Wanita itu menatapnya dengan mata tajam. “Bolehkah aku masuk?”

Darma tidak menjawab. Ia hanya menatap tajam, mencoba membaca niat orang ini.

“Aku bukan musuhmu, Darma,” lanjut wanita itu. “Aku tidak datang untuk menangkapmu.”

Darma diam beberapa saat, lalu membuka pintu lebih lebar. “Masuk.”

Wanita itu melangkah masuk, dan Darma segera menutup pintu di belakangnya.

Suasana di dalam ruangan semakin tegang. Darma tidak melepaskan genggaman dari cerulitnya, sementara wanita itu tetap berdiri dengan sikap waspada, meski tak menunjukkan ketakutan.

“Siapa kau?” tanya Darma, suaranya tetap dingin.

Wanita itu menatap langsung ke matanya. “Feny Cindrawati. Aku dari Intelijen Sentral Raya.”

Darma menyipitkan mata. Polisi?

Tangannya mencengkeram cerulit lebih erat. “Kalau kau polisi, kenapa tidak langsung menangkapku?”

Feny menyilangkan tangan di dadanya. “Kau pikir aku cukup bodoh untuk mencoba menangkap seseorang yang baru saja menghabisi satu kantor polisi seorang diri?”

Darma tetap diam, tapi ekspresinya sedikit berubah. Wanita ini tidak takut padanya—dan itu membuatnya sedikit tertarik.

Feny melanjutkan, “Aku tahu apa yang kau lakukan. Aku tahu alasanmu memburu polisi-polisi korup di kota ini. Aku juga tahu… bahwa kau bukan hanya sekadar buronan biasa.”

Darma menyeringai kecil. “Lalu? Mau jadi pahlawan dan menghentikanku?”

Feny menghela napas. “Aku bukan pahlawan, Darma. Aku juga bukan musuhmu. Aku ada di tengah.”

Darma mengangkat alisnya, tertarik dengan jawabannya. “Jadi kau di pihak siapa?”

Feny menatapnya dalam-dalam sebelum menjawab. “Di pihak kebenaran.”

Darma mendengus. “Kebenaran? Di kota ini? Hukum sudah mati, ingat?”

Feny tersenyum tipis. “Dan kau ingin membunuh semua orang yang bertanggung jawab atas itu?”

Darma tidak menjawab, tapi tatapannya sudah cukup menjelaskan segalanya.

Feny melanjutkan, “Aku tidak akan menghentikanmu. Tapi aku juga tidak bisa membiarkanmu bertindak tanpa arah.”

Darma menyeringai. “Jadi kau ingin mengendalikanku?”

Feny menggeleng. “Aku ingin memberimu informasi. Kau butuh itu, bukan?”

Mata Darma sedikit menyipit. Informasi?

Feny mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. “Aku tahu siapa yang memerintahkan pembunuhan keluargamu.”

Jantung Darma langsung berdegup lebih kencang. Jemarinya mencengkeram cerulitnya lebih erat, tapi rahangnya mengeras menahan emosi.

“Siapa?” tanyanya dengan suara serak.

Feny tetap menatapnya tajam. “Aku akan memberitahumu… tapi kita harus membuat kesepakatan.”

Darma terdiam beberapa detik sebelum akhirnya tertawa kecil. “Kesepakatan, ya?”

Feny mengangguk. “Kau ingin keadilan, aku ingin kebenaran. Jika kita bekerja sama, kita bisa menghancurkan semua dalang di balik kekacauan kota ini.”

Darma masih menatapnya tajam, mencoba membaca kebohongan di matanya. Tapi yang ia temukan hanyalah kesungguhan.

Ruangan itu sunyi selama beberapa saat.

Hingga akhirnya, Darma menghela napas dan berkata, “Bicara.”

Darma tetap diam, menatap Feny dengan sorot mata tajam penuh kewaspadaan. Ia belum bisa sepenuhnya percaya pada wanita ini, tapi informasi tentang pembunuhan keluarganya adalah sesuatu yang tak bisa diabaikan begitu saja.

Feny menyandarkan punggungnya ke dinding gudang yang lembap. "Aku tidak bisa memberitahumu semuanya sekarang," katanya, suaranya tenang tapi tegas. "Tapi yang jelas, ada seseorang di atas Wali Kota Damar Kusuma. Dia bukan orang sembarangan, dan aku curiga dia adalah dalang utama di balik pembunuhan keluargamu."

Darma mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. "Siapa dia?"

Feny menggeleng pelan. "Belum bisa kukatakan. Aku masih butuh bukti lebih banyak."

Darma mendengus. "Jangan bermain-main denganku, Feny. Aku tidak punya waktu untuk permainan ini."

Feny menatapnya dengan dingin. "Dan aku tidak bermain-main, Darma. Aku hanya tidak ingin memberimu informasi setengah matang. Tapi aku tahu satu hal—Rini memiliki daftar lengkapnya."

Darma terkejut sesaat. "Rini?"

Feny mengangguk. "Mantan suaminya bukan polisi biasa, Darma. Dia adalah Kepala Kapolda sebelum dibunuh. Dan sebelum kematiannya, dia sudah mengumpulkan banyak informasi tentang siapa saja yang terlibat dalam jaringan korup di kota ini."

Darma terdiam. Ia tahu bahwa suami Rini dulunya adalah polisi yang jujur, tapi ia tidak menyangka pria itu adalah seorang Kapolda.

Feny melanjutkan, "Malam ini, aku akan ke rumah Rini. Aku yakin dia punya sesuatu yang bisa membantumu. Tapi…"

Darma menatapnya tajam. "Tapi apa?"

Feny menyipitkan mata. "Aku ingin kau ada di sana juga. Kita perlu membahas langkah selanjutnya."

Darma mendecak pelan. "Aku tidak suka bekerja sama dengan polisi."

Feny tersenyum tipis. "Aku bukan polisi biasa."

Darma terdiam beberapa saat, lalu akhirnya mengangguk. "Baik. Tapi kalau kau macam-macam, aku tidak akan ragu menghabisimu."

Feny menatapnya tanpa gentar. "Begitu juga aku."

Suasana di ruangan itu terasa semakin tegang, tapi di balik ketegangan itu, ada satu hal yang jelas—mereka punya musuh yang sama.

Malam itu, suara mesin mobil terdengar pelan di tengah kesunyian daerah kumuh tempat Darma bersembunyi. Feny menepikan mobilnya di dekat gang sempit, menyalakan lampu kabin, dan menunggu.

Tak butuh waktu lama, Darma muncul dari balik bayangan, mengenakan pakaian hitam dan jaketnya yang sudah usang. Matanya dingin, penuh kewaspadaan. Ia melangkah mendekati mobil, lalu membuka pintu penumpang tanpa banyak bicara.

Feny meliriknya sebentar sebelum kembali fokus ke jalan. "Kau tidak membawa topengmu?" tanyanya.

Darma menggeleng pelan. "Aku tidak ingin menakuti Rini dan anaknya."

Feny tersenyum kecil, tapi tanpa kehangatan. "Setidaknya kau masih memikirkan seseorang."

Tanpa membalas, Darma hanya duduk diam, membiarkan mobil melaju ke jalan utama. Kota Sentral Raya terasa lebih sunyi dari biasanya, seolah ada ketakutan yang mengendap di udara. Poster buronannya kini terpampang di setiap sudut kota, menggantikan gambar topeng tengkorak dengan wajah aslinya.

Darma melihat sekilas ke luar jendela, memperhatikan bagaimana beberapa orang di pinggir jalan melirik ke arah poster itu. Beberapa wajah tampak ketakutan, tapi ada juga yang justru tersenyum tipis, seakan setuju dengan apa yang telah ia lakukan.

"Namamu semakin besar," ujar Feny tiba-tiba, matanya masih fokus ke jalan.

Darma mendengus. "Dan itu semakin menyulitkanku."

Feny menarik napas panjang. "Begitulah kalau kau mulai menyentuh orang-orang besar. Mereka tidak akan tinggal diam."

Darma meliriknya sekilas. "Dan kau? Kau benar-benar ingin membantu, atau hanya ingin menggunakan aku?"

Feny tidak langsung menjawab. Ia mengetuk-ngetukkan jarinya di kemudi sebelum akhirnya berkata, "Aku punya alasan sendiri untuk membongkar ini semua. Sama sepertimu."

Darma menatapnya tajam, tapi tidak bertanya lebih lanjut. Ia tahu orang seperti Feny tidak akan memberikan jawaban sebelum waktunya.

Setelah beberapa menit berkendara dalam keheningan, mereka akhirnya tiba di depan rumah Rini. Lampu teras masih menyala, menandakan bahwa perempuan itu sudah menunggu.

Darma menghela napas sebelum keluar dari mobil. Ia tahu, malam ini bukan sekadar membahas nama-nama di daftar itu—ini juga tentang mengungkap kebenaran yang lebih besar.

1
NBU NOVEL
jadi baper ya wkwkwkk
Xratala
keluarga Cemara ini mah /Smirk/
NBU NOVEL: wkwkwkwk versi dark ny
NBU NOVEL: wkwkwkwk versi dark ny
total 3 replies
Xratala
waduh ngena banget /Chuckle/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!