Cerita ini berlatar 10 tahun setelah kejadian di Desa Soca (Diharapkan untuk membaca season sebelumnya agar lebih paham atas apa yang sedang terjadi. Tetapi jika ingin membaca versi ini terlebih dahulu dipersilahkan dan temukan sendiri seluruh kejanggalan yang ada disetiap cerita).
Sebuah kereta malam mengalami kerusakan hingga membuatnya harus terhenti di tengah hutan pada dini hari. Pemberangkatan pun menjadi sedikit tertunda dan membuat seluruh penumpang kesal dan menyalahkan sang masinis karena tidak mengecek seluruh mesin kereta terlebih dahulu. Hanya itu? Tidak. Sayangnya, mereka berhenti di sebuah hutan yang masih satu daerah dengan Desa Soca yang membuat seluruh "Cahaya Mata" lebih banyak tersedia hingga membuat seluruh zombie menjadi lebih brutal dari sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Foerza17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kericuhan
Seluruh pasien yang ada di ruangan ini seketika merasa terusik oleh tingkahnya. Mereka serentak langsung menekan tombol emergency secara berulang-ulang. Jeritan pasien yang terikat itu terasa sangat mengerikan dan suaranya bergaung ke penjuru ruangan.
"Apa yang terjadi dengan orang itu?" tanyaku dengan isyarat tangan yang sedikit gemetar
"Aku juga tidak tahu, Pak. Tapi seingatku, orang itu sedang menunggu pendonor bola mata untuk mendonorkan matanya yang rusak. Atau tuna netra gitu? Aku juga belum tahu pasti," sahut Shima seakan dia tidak merasa terusik. Walaupun aku tahu dia baru saja menjalani operasi koklea. Aku kembali memandangi pria itu yang lambat laun semakin menggila hingga ranjangnya berderit keras.
Tak berselang lama, datanglah beberapa petugas dengan tergopoh-gopoh dan langsung mengatasi pasien yang sedang meronta itu. Mereka nampak langsung menyuntikkan sebuah obat penenang pada selang infus yang masuk ke dalam pembuluh darahnya melalui punggung tangannya. Beberapa saat kemudian, pasien yang meronta itu perlahan gerakannya mulai lemas dan kembali tenang. Petugas yang ada di sekelilingnya pun mulai bernapas lega. Mereka kemudian mengemasi barang bawaannya dan beranjak pergi. Tiba-tiba seorang petugas menghampiriku.
"Permisi! Apakah Anda salah satu keluarga dari Nona Shima?" ucapnya sopan.
"Benar. Aku hanya ingin menjenguknya untuk melihat kondisinya saat ini," jawabku bersikap tenang walau kakiku masih menggigil sebab kejadian sebelumnya.
"Mohon maaf sebelumnya, Pak. Nona Shima untuk saat ini masih belum bisa untuk dikunjungi. Apakah Anda masih belum diberi tahu?" sambungnya dengan alis sedikit terangkat. Seketika mataku tak sanggup untuk memandang wajah petugas itu. Senyumku mungkin terasa aneh jika aku harus bercermin sekarang.
"Maaf, Pak Petugas. Pamanku ini hanya menuruti permintaanku saja untuk mengambilkan barangku. Tolong dimaklumi ya?" sahut Shima dengan senyum yang seakan dipaksakan.
"Aku terselamatkan," batinku lega. Petugas itu nampak hanya menghela napas berat.
"Baiklah, Pak. Kalau begitu saya minta maaf. Jika tujuan Anda disini sudah selesai, saya minta untuk menunggu diluar saja," sambung petugas itu. Aku hanya mengangguk mengiyakan.
"Hei, Pak Dokter! Segera pindahkan orang itu dari sini! Aku sudah tidak kuat mendengar teriakannya yang menyebalkan setiap biusnya habis. Kau tahu?! Aku baru saja menjalani operasi lambung dan harus sebisa mungkin beristirahat dengan nyenyak dalam beberapa jam. Dan aku selalu tersentak dan terbangun kembali sambil merasakan sakitnya perutku sebab teriakannya yang seperti keledai yang disembelih!" umpat seorang pria di seberang bangsal Shima.
"Maaf, Pak. Untuk saat ini, pasien tersebut masih belum bisa untuk dipindahkan ke ruangan lain. Mohon bersabarlah lagi," ucap petugas itu menenangkan.
"Kalau dia tidak bisa dipindahkan, maka pindahkan saja aku! Aku sudah muak satu tempat dengan orang itu," sambung pria itu dengan nada yang lebih keras dari sebelumnya. Petugas kesehatan itu hanya kembali menghela napas berat.
Tiba-tiba pasien yang sebelumnya meronta kembali berteriak dengan nada yang sangat memilukan. Ranjangnya kembali bergetar hebat. Urat-urat lehernya menegang. Suaranya begitu keras hingga membuatnya hampir mencapai puncaknya. Selang infus yang menembus kulitnya berguncang tak karuan.
Pria yang ada di seberang bangsal Shima kembali mengumpat ke arah orang itu. Suaranya tampak beradu dengan sengit dan seakan ingin mengalahkan suara pasien yang sedang meraung itu. Perlahan terlihat sebuah noda merah yang merembes keluar menembus selimut yang membungkus ujung kaki hingga ke dadanya. Dia sendiri masih belum tersadar bahwa dirinya berada dalam bahaya.
Petugas pun mulai berdatangan. Para petugas nampak tergopoh-gopoh dan segera bergegas untuk menangani pasien yang kembali meraung dan juga pasien yang berada di seberang bangsal Shima. Dia Lalu tersadar bahwa luka jahitan bekas operasinya terbuka hingga membuat darahnya merembes keluar dari perutnya. Dia lantas histeris melihat selimutnya mulai dipenuhi oleh noda darah.
Kegaduhan di ruangan ini semakin menjadi. Teriakan yang berawal hanya dari sikap arogan dari seseorang mengakibatkan kegaduhan yang tidak terbendung. Semua pasien yang dirawat di ruangan ini mulai bersahut-sahutan saling mengumpat dan saling menyalahkan satu sama lain. Tombol emergency juga berbunyi semakin sering.
Aku menatap Shima. Dia nampak menutup kedua telinganya yang masih tertutup perban mulai merasa tak nyaman. Aku berinisiatif untuk mengajaknya keluar terlebih dahulu hingga keadaan menjadi lebih kondusif. Walau mungkin tindakanku ini melanggar peraturan, aku tak ingin dia merasa stress melihat kegaduhan ini.
Aku langsung melepas infus yang masih tergantung pada tiang penyangganya. Shima terlihat terkejut akan tindakanku. Aku memberikan isyarat bawa aku ingin mengajaknya keluar terlebih dahulu. Dia menatapku dengan mata berbinar lalu mengangguk pelan. Di sela kesibukan para petugas yang masih berusaha untuk menenangkan seluruh pasien, aku dengan hati-hati membantu Shima untuk menuruni ranjangnya yang cukup tinggi.
"Ah tidak usah di bopong juga tidak apa-apa kok, Pak," ucap Shima sembari melepaskan genggaman tanganku di sikunya dengan lembut. Aku pun hanya menurutinya.
Kami pun berjalan beriringan dengan aku yang memegang infus yang aku tinggikan melebihi posisi tangannya. Shima terlihat masih berjalan dengan gontai di sampingku. Aku berusaha untuk tetap mengimbangi setiap langkahnya yang terasa sangat lambat. Setelah kami berada di luar ruangan tiba-tiba seorang perempuan yang kira-kira seumuranku langsung bergegas menghampiriku. Dia terlihat kebingungan melihatku membawa Shima keluar ruangan.
"Ada apa? Apa yang terjadi? Terus bapak ini siapa? Kok boleh masuk ke situ? Aku aja gak boleh masuk?" ucapnya dengan nada yang memburu.
"Ah tidak kok, Kak. Di dalam cuma berisik aja. Makanya aku keluar hehe," sahut Shima sembari terkekeh.
"Oh iya, ngomong-ngomong Bapak ini bernama Pak Willie. Dia yang nyelamatin aku semalam loh, Kak. Makanya dia bisa kenal aku," sambungnya. Perempuan itu hanya memandangiku dengan tatapan yang seperti menganalisa latar belakang ku. Aku hanya bisa memasang senyum canggung sebab tatapannya yang tak biasa dan terlihat mengintimidasi.
"Udah ih. Apa sih ngeliatin dia sampe kek gitunya, Kak? Gak sopan banget," ledek Shima. Perempuan itu tiba-tiba langsung merebut infus yang aku pegang dengan kasar. Cairan yang ada di dalamnya nampak bergelombang dan berdecak. Aku hanya mengelap dadaku sembari menghela napas berat.
Perempuan yang dipanggil "Kakak" oleh Shima itu langsung menarik tangannya dan pergi tanpa menoleh lagi. Shima hanya bisa berpamitan singkat dan nampak tersaruk-saruk mengikuti langkah panjang kakaknya. Aku hanya menatap mereka berdua dengan heran. Sebenarnya, mengapa mereka berdua bisa sangat bertolakbelakang? Aku pun tak habis pikir.
Ketika aku akan beranjak pergi dari sini, kericuhan yang terjadi di belakangku tiba-tiba terdengar semakin heboh. Jeritan terdengar semakin memilukan. Bulu kudukku meremang. Aku perlahan menoleh dan melihat melalui jendela kecil yang menempel di pintu. Mataku membelalak.
Salah seorang petugas terlihat lengan kanannya bercucuran darah. Dia nampak mundur dengan terhuyung-huyung dan menabrak ranjang yang ada di belakangnya. Pasien yang sebelumnya meronta terlihat menggigit-gigit udara. Ranjangnya semakin bergetar. Hingga pada akhirnya ketika seorang petugas akan kembali menyuntiknya dengan obat bius, ranjangnya pun terguling.
Segala sesuatu yang ada di sekitarnya pun ambruk menimpa mereka berdua. Terlihat di bawah sana petugas nampak menggeliat sebab ranjang beserta pasiennya yang menimpa tubuhnya.