Lana, seorang gadis yang tumbuh dalam pengabaian orangtua dan terluka oleh cinta, harus berjuang bangkit dari kepedihan, belajar memaafkan dan menemukan kembali kepercayaan pada cinta sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lidya Riani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 26 Tentang Kuliah dan Masa Depan
"Kamu ada les hari ini?" tanya Sakha sambil menyampirkan ranselnya di bahu, matanya menatap Lana dengan penuh harap.
Lana menggeleng, mengemasi alat tulisnya dan memasukkannya ke dalam tas selempang cokelat miliknya.
"Aku antar pulang," ajak Sakha dengan senyum lebar.
"Aku mau ke perpustakaan umum," tolak Lana dengan nada menyesal, "Maaf ya, Sakha."
"Kamu belum kelar belajar? Memangnya kamu nggak pusing ya belajar seharian?" tanya Sakha dengan wajah malas, heran dengan semangat belajar Lana yang tak pernah padam.
Sakha memang cuek dengan urusan belajar. Baginya, hidupnya sudah baik-baik saja walau tanpa prestasi gemilang. Nenek dan ibunya pun tidak pernah memaksanya untuk belajar.
"Belajar itu seru, Sakha. Kalau nggak belajar, aku malah bingung cari aktivitas lain," jawab Lana dengan senyum tulus.
Sakha berdecak, "Aku boleh ikut ke perpus?" tanyanya, penasaran dengan dunia Lana yang berbeda dengannya.
"Tentu saja!" sambut Lana dengan antusias.
"Tapi kita makan siang dulu ya, aku lapar," ajak Sakha sambil mengelus perutnya yang keroncongan.
"Oke, makan di kantin aja ya?" Lana melihat jam tangannya, "Sepertinya kantin sudah sepi sekarang."
Sakha mengangguk setuju. Mereka berdua berjalan keluar kelas, menuruni tangga menuju kantin di lantai bawah.
Suara riuh murid-murid yang pulang atau mengikuti ekstrakurikuler memenuhi koridor. Sakha mengurungkan niatnya untuk mengajak Lana mengobrol, menunggu suasana lebih tenang.
Sesampainya di kantin, beberapa murid masih duduk berkelompok, ada yang makan, ada pula yang bercanda. Lana tersenyum dan melambaikan tangan pada beberapa teman kelasnya, sementara Sakha hanya diam, tidak tertarik untuk berinteraksi.
Sakha memang sulit membuka diri pada orang baru. Ia sendiri heran mengapa ia bisa langsung tertarik pada Lana dan selalu ingin berada di dekatnya.
"Kita duduk di sana saja ya," Lana menunjuk kursi kosong di pojok ruangan, tempat yang sepi dan nyaman. Sakha mengangguk setuju.
Lana seolah mengerti bahwa Sakha tidak suka keramaian, jadi ia sengaja memilih tempat yang jauh dari kerumunan.
"Aku mau beli bakso, kamu mau makan apa?" tawar Lana.
"Biar aku yang pesan," sahut Sakha cepat, beranjak menuju kedai bakso dan memesan dua mangkok bakso serta jus alpukat kesukaan Lana.
Selesai memesan, Sakha kembali ke meja mereka, melihat Lana yang sedang asyik menatap layar ponselnya. Bukan bermain game atau media sosial, melainkan sedang membaca contoh esai beasiswa.
Sakha menghela napas panjang, merasa seperti berada di dunia yang berbeda dengan Lana. Ambisi gadis itu terlalu tinggi baginya. Ia berpikir, mengapa Lana tidak kuliah di universitas dalam negeri saja, yang tidak kalah bagus? Apalagi, keluarga Lana terlihat berkecukupan.
Bahkan ketika bakso pesanan mereka datang, Lana masih terpaku pada esai di ponselnya, membuat Sakha menggerutu dalam hati.
Tuk... tuk…
Sakha mengetuk meja, menyadarkan Lana dari lamunannya.
"Oh, sudah datang baksonya," kata Lana, menggeser mangkok bakso ke hadapannya.
Ia mulai meracik baksonya dengan sambal, sesekali melirik ponselnya, belum selesai membaca esai itu.
Sakha, yang kesal karena diabaikan, mengambil ponsel Lana dan menjauhkannya dari jangkauan gadis itu.
"Sakha, HP aku!" protes Lana, mengerutkan keningnya.
"Makan dulu, jangan lihat HP terus," tegur Sakha kesal.
Lana merengut, tapi menurut dan melanjutkan makan baksonya.
"Kamu yakin mau kuliah di luar negeri?" tanya Sakha tiba-tiba, nadanya datar.
Lana mengangguk, menatap Sakha dengan heran.
"Memangnya kenapa?"
"Kenapa nggak kuliah di Indonesia aja? Banyak juga kampus bagus di sini," jelas Sakha.
"Karena aku ingin melarikan diri," jawab Lana, membuat mata Sakha membelalak.
"Hah?"
"Aku bercanda," Lana tertawa melihat ekspresi Sakha.
"Serius, kenapa kamu harus kuliah di luar negeri, La?" tanya Sakha, tidak mengerti.
"Kenapa enggak?" balas Lana, mengangkat bahunya.
"Kamu sendiri mau kuliah di mana nanti?" Lana balik bertanya, matanya menatap Sakha dengan rasa ingin tahu.
Sakha hanya mengangkat bahunya, ekspresinya acuh tak acuh.
"Kamu nggak tertarik untuk kuliah?" tanya Lana lagi, suaranya lembut.
"Mungkin," jawab Sakha asal, pikirannya melayang entah ke mana.
"Lalu, mimpi kamu apa?" tanya Lana, mencoba menggali lebih dalam.
"Aku tidak tahu," jawab Sakha, tiba-tiba menghela napas panjang. "Apakah sangat aneh jika aku tidak tahu tujuan hidupku?" tanyanya, suaranya terdengar frustrasi.
Sakha memainkan sedotan dalam minumannya, sorot matanya kosong, sesekali menunduk atau mengedarkan pandangannya ke sekeliling kantin.
"Jika kamu masih belum tahu tujuan hidupmu, mungkin tidak ada salahnya kalau kamu berkuliah," ungkap Lana, nadanya penuh keyakinan.
"Apakah kuliah sepenting itu?" tanya Sakha, masih belum mengerti.
Lana menggeleng.
"Kuliah bukanlah yang terpenting, tapi dengan berkuliah, kita bisa belajar dan berkembang. Menurutku, kuliah juga bisa sebagai proses pendewasaan. Aku ingin menjadi orang yang lebih baik, secara personal dan kemampuan," jelas Lana dengan mata berbinar dan penuh semangat.
"Aku merasa kuliah hanya membuang waktu," potong Sakha, nadanya sinis.
"Sakha... kuliah bukan hanya untuk mendapatkan gelar," kata Lana dengan sabar. "Bisa jadi pendapatku salah, tapi bagiku, kuliah adalah proses untuk mengembangkan diri, menambah pengetahuan, dan membuka wawasan. Aku ingin menjadi sosok yang mandiri, yang bisa menjaga diriku sendiri dan tidak tergantung pada orang lain. Jadi, aku memilih jalan ini," jelas Lana berharap pemuda itu mengerti.
Penjelasan Lana masih belum sepenuhnya masuk ke dalam logika Sakha.
"Bagaimana jika aku salah jurusan dan menyesal nantinya?" tanya Sakha, keraguan terpancar di wajahnya.
"Penyesalan... akan selalu ada. Lebih baik mencoba daripada tidak sama sekali, bukan?" Lana mencoba mencairkan suasana, senyumnya menenangkan. "Tapi, kalau kamu memang tidak mau berkuliah, itu bukanlah aib. Kamu bisa magang di perusahaan nenek, nenek Yasmin pasti sangat senang jika kamu bersemangat untuk meneruskan usahanya," saran Lana dengan tulus.
"Menurutmu begitu?" tanya Sakha, matanya menatap Lana dengan penuh harap.
Lana mengangguk-anggukkan kepalanya seperti anak kecil, ekspresinya polos namun penuh keyakinan.
"Setiap orang punya jalan hidupnya masing-masing, Kha. Jadi, kamu jangan terlalu terpaku dengan apa yang orang lain katakan. Yang penting adalah kamu yakin dengan apa yang kamu lakukan," kata Lana dengan bijak, senyumnya mengembang.
...----------------...
tak bapak tak ibu sama aja dua duanya jahat sama anak sendiri