Gendhis harus merelakan pernikahan mereka berakhir karena menganggap Raka tidak pernah mencintainya. Wanita itu menggugat cerai Raka diam-diam dan pergi begitu saja. Raka yang ditinggalkan oleh Gendhis baru menyadari perasaannya ketika istrinya itu pergi. Dengan berbagai cara dia berusaha agar tidak ada perceraian.
"Cinta kita belum usai, Gendhis. Aku akan mencarimu, ke ujung dunia sekali pun," gumam Raka.
Akankah mereka bersatu kembali?
NB : Baca dengan lompat bab dan memberikan rating di bawah 5 saya block ya. Jangan baca karya saya kalau cuma mau rating kecil. Tulis novel sendiri!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Yune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Aku diam terpaku dan tidak merespon semua perlakuan Raka. Hatiku bagai sudah mati membiarkan Raka melakukannya. Namun, dia berhenti dan memandangiku.
"Maaf, jangan menangis," ucapnya menghapus air mata yang ternyata sudah membasahi pipiku.
Aku teringat Raka yang menggumamkan nama Silvia. Hal itu membuatku sangat trauma hingga saat ini. Raka menyelimuti tubuhku dengan selimut. Dia memeluk dan terus meminta maaf.
"Maafkan aku, Dhis. Aku tidak akan melakukannya kalau kamu tidak menginginkannya. Tapi, tolong berikan aku kesempatan. Jangan lanjutan gugatan ceraimu. Aku menyadari kalau kamu telah menempati hatiku. Maafkan aku," ucap Raka memelukku.
Tidak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulutku. Aku memilih untuk diam dan hanya diam. Hingga aku terlelap, aku masih mendengar ucapan maaf yang dari mulut Raka.
Pagi harinya, Raka meminta maaf kembali hingga membuatku merasa muak. Aku tidak bisa terus bersama dengannya. Rasanya sangat muak melihat dirinya terus menerus. Entah mengapa aku sangat membenci Raka.
"Maafkan aku, Sayang," ucap Raka mencium bahuku.
Dia memang kembali memakaikan pakaian dalam dan tanktop dan celana pendekku. Akan tetapi, dia membiarkan tubuhnya yang tidak memakai kaos itu memelukku sepanjang malam. Aku bergeming kemudian bangkit dan menuju kamar mandi.
"Jangan masuk!" tukasku ketika dia ingin ikut masuk.
Aku menolak untuk berhubungan dengannya. Aku tahu kalau itu semua merupakan sebuah dosa. Akan tetapi, mengingat hal itu membuatku semakin sakit. Hatiku serasa sangat kosong. Ingin kembali ke masa awal sebelum menikah, rasanya tidak mungkin.
Selesai mandi, dia menggiringku menuju ruang makan. Kontrakanku memang memiliki ruang layaknya sebuah rumah. Kulihat Raka membuatkan sarapan untukku. Dia memasak nasi goreng dan telur kesukaanku.
"Aku suapi, ya," ujar Raka sambil menyodorkan sendok berisi nasi dan lauk yang lengkap.
"Pulanglah, pasti perusahaanmu juga menanti kehadiranmu. Kamu orang penting di perusahaan jadi jangan melakukan sesuatu yang dapat menghancurkan kariermu," ucapku ketika dia menata piring untuk sarapan.
Raka menggeleng, "Tidak sebelum kamu mau ikut bersamaku. Kita mulai kembali semuanya dari awal,ya," tukas Raka.
“Raka, aku serius,” aku memotong ucapannya dengan nada dingin. “Kamu harus pulang. Aku butuh waktu untuk diriku sendiri.”
Dia berhenti sejenak, menatapku dengan sorot mata penuh penyesalan. Namun, aku tidak bisa lagi mempercayai tatapan itu. Terlalu banyak luka yang belum sembuh.
Raka memang tidak menyelingkuhiku, dia tidak mengatakan apa pun. Akan tetapi, dia belum bisa mencintaiku. Ucapan cinta yang diucapkan olehnya tidak berarti apa pun untukku karena semua itu sudah terlambat.
“Aku tidak akan pergi, Gendhis,” jawabnya dengan tegas. “Aku tidak peduli perusahaan, aku tidak peduli karierku. Yang aku pedulikan hanya kamu.”
Aku menahan napas. Kata-katanya seharusnya menyentuh hatiku, tapi alih-alih, itu justru membuat dadaku sesak. Dia benar-benar tidak mengerti kalau aku membutuhkan waktu untuk memutuskan semuanya.
“Raka, tolonglah,” ucapku dengan nada memohon. “Jangan buat ini lebih sulit untukku.”
“Aku tahu aku salah, Gendhis,” katanya, melangkah mendekatiku. “Tapi aku tidak bisa membiarkanmu pergi begitu saja. Aku sudah kehilangan terlalu banyak waktu bersamamu. Aku tidak akan menyerah sekarang.”
Aku memalingkan wajah, mencoba menghindari tatapan matanya yang seolah memohon pengampunan. Tapi luka di hatiku terlalu dalam.
“Raka, kamu pikir permintaan maafmu bisa menghapus semua yang sudah terjadi? Kamu pikir hanya dengan memohon aku akan kembali seperti dulu?”
Dia terdiam, tidak mampu menjawab.
Sarapan pagi itu berlangsung dalam keheningan. Aku hampir tidak menyentuh makanan di hadapanku, sementara Raka duduk diam di depanku, seperti seseorang yang takut kehilangan segalanya.
“Gendhis, aku—”
“Aku tidak ingin mendengar apapun lagi, Raka,” potongku, mencoba menjaga ketenangan suaraku. “Pulanglah. Aku tidak mau ada orang yang berpikir kamu meninggalkan pekerjaan penting hanya karena aku.”
“Tapi kamu jauh lebih penting daripada pekerjaanku,” sahutnya dengan suara rendah.
Aku mendesah frustrasi. “Kamu tidak mengerti. Aku butuh ruang. Aku butuh waktu untuk berpikir. Kamu ada di sini hanya membuatku semakin bingung.”
Namun, Raka tetap bergeming. Dia tidak mengatakan apa-apa, tetapi juga tidak menunjukkan tanda-tanda akan pergi.
Menjelang siang, aku mulai kehilangan kesabaran. Kehadirannya di sini terasa seperti beban yang menghimpitku. Saat aku berpikir untuk pergi keluar, ponsel Raka tiba-tiba berdering.
Dia mengangkatnya dengan tenang, tetapi saat mendengar suara di ujung telepon, ekspresinya berubah. Raka memilih untuk meloadspeakrer panggilan tersebut.
“Raka, kamu di mana? Aku sudah menunggu kehadiranmu. Mengapa kamu tidak segera masuk kerja?" Suara perempuan yang terdengar manja itu membuatku mendongak.
Aku memperhatikan Raka yang tiba-tiba terlihat canggung. “Aku... aku sedang ada urusan keluarga. Bukankah aku mengajukan cuti,"” jawabnya singkat.
“Urusan apa sih? Kamu seharusnya mementingkan urusan pekerjaan. Kalau memang istrimu tidak mau pulang biarkan saja!"
Raka terdiam sesaat, jelas sekali dia merasa kesal dengan semua ucapan rekan kerjanya. Aku tahu dia berusaha mencari jawaban yang tidak akan membuat situasi ini semakin buruk, tetapi aku sudah mendengar cukup.
“Aku lagi sibuk, lagi pula itu semua bukan urusanmu, Clara. Aku masih memiliki waktu cuti. Jadi, jangan menghubungiku lagi!" katanya akhirnya.
“Raka...” nada suara perempuan itu berubah menjadi lebih lembut, hampir seperti menggoda. “Aku butuh kamu sekarang. Aku siap menjadi pengganti istrimu, bila memang dia tidak ingin kembali."
Aku mengepalkan tangan di bawah meja, mencoba menahan emosi yang perlahan mendidih. Siapa perempuan itu? Kenapa dia berbicara pada Raka seperti itu?
Setelah menutup telepon, Raka menatapku dengan wajah penuh kecanggungan. “Itu cuma asistennya,” katanya cepat, seperti mencoba meredakan suasana.
“Cuma asisten?” tanyaku sinis. “Asisten yang butuh kamu sekarang? Yang suaranya seperti itu?”
“Gendhis, kamu salah paham,” katanya, mendekatiku.
“Aku tidak salah paham, Raka. Aku cuma tidak peduli lagi,” sahutku dengan nada dingin. “Kalau dia butuh kamu, kenapa kamu tidak pergi saja?”
Raka menatapku dengan sorot mata yang sulit dijelaskan. Aku tahu dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi aku tidak memberinya kesempatan.
“Pergilah, Raka,” ucapku lagi, kali ini dengan nada yang lebih tegas. “Aku tidak ingin melihatmu di sini lagi.”
***
Bersambung...
Terima kasih telah membaca...
Perjuangkan lg Cintamu pd Raka demi si Baby,
Cukup kesempatan biar Raka yg berjuang mati2an sampai bnr2 Bucin sm kamu