Malam "panas" antara Danar dan Luna, menjadi awal kisah mereka. Banyak rintangan serta tragedi yang harus mereka lalui. Masa lalu mereka yang kelam akankah menjadi batu sandungan terbesar? atau malah ada hamparan bukit berbatu lainnya yang terbentang sangat panjang hingga membuat mereka harus membuat sebuah keputusan besar dalam hubungan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kata Kunci, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 06.
"Ningning, selamat. Kamu terpilih sebagai petugas khusus yang akan membersihkan ruangan Bapak Danar." ucap Ibu Rahma dengan nada sangat senang, tidak lupa kedua tangannya sedikit bertepuk dan juga mengapit satu sama lain.
Berbanding terbalik dengan Ningning, perempuan muda itu seketika membeku, pikiran dan tatapannya kosong. Luna dengan gerakan kepala kaku menoleh kearah teman cukup akrabnya itu, satu tangannya memegang bahu Ningning dipeluk pelan temannya itu dari samping mencoba memberi semangat. Ningning menoleh terlihat jelas wajah yang mendung dengan pelupuk mata yang tergenang sedikit air.
"Na...," ucapnya lirih dan pelan.
Luna tidak bisa berkata apa - apa selain memberikan ekspresi semangat, sedangkan teman - temannya yang lain bertepuk tangan lega. Ada perasaan sangat lega juga dirasakan oleh Luna, namun tidak mungkin perempuan manis itu memperlihatkannya disaat Ningning baru memulai perjalanan penderitaannya di hari kedua.
Setelah itu, Ningning masih tetap bersama Ibu Rahma dan mereka masuk ke ruangan wanita sintal itu.
xxxxxxxx
Tembok berbentuk melingkar dengan batu paras yang melindungi bagian luar sebuah bangunan, serta dalam bangunan megah itu berdiri kokoh serta tegak dua pilar besar yang menyangganya. Hening, hingga suara deru pelan angin terdengar jelas menggeser posisi nyaman sehelai daun yang masih cukup kuat berpegang pada rantingnya sangat kurus. Pohon - pohon besar beberapa terlihat tertanam di halaman depan dan belakang, tanaman hias juga tanaman bunga di tata dengan apik sehingga kawasan bangunan mewah itu terlihat bak istana di negeri - negeri dongeng.
Layaknya rumah orang kaya, pintu utama rumah itu pastinya tinggi besar dan bergaya elegan. Pagi itu kebetulan ada seorang pelayan keluar sehingga terdengar samar alunan musik klasik dari dalamnya. Melihat bentuk bangunanya, tentu saja terdapat 2 lantai. Lantai satu terdapat ruang tamu, beberapa kamar tidur, ruang kerja, perpustakaan mini, ruang keluarga, bioskop mini serta dapur. Di lantai 2 terdapat 1 kamar dan ruang kerja, dimana tidak lain adalah kamar dari Danar Perkasa. Lelaki muda itu terlihat masih di dalam kamar mandi. Dia berdiri dibawa guyuran air shower yang hangat, lekuk tubuh atletis nya terlihat jelas. Sesekali dia mengusap wajah hingga kepalanya dari air yang terus turun. Disaat yang bersamaan suara - suara erotis mulai terdengar, cukup lama suara it dikeluarkan oleh lelaki lumayan tampan itu. Hingga sebuah teriakan cukup keras dilakukannya sekali, tarikan napas naik - turunnya terdengar cukup jelas diantara suara aliran air. Tembok di depannya juga tidak luput dari hantaman satu kepalan lelaki itu.
"Kamu akan menjadi milikku, Luna Saphira...," ucap Danar dengan senyum miring yang muncul masih dengan napas sedikit tersengalnya.
Kemudian dia melanjutkan sesi membersihkan diri pagi itu, lalu dia memakai pakaian semi formil khasnya untuk ke kantor. Perlahan sambil memakai jam tangan juga membenahi sedikit pakaiannya, Danar menuruni tangga dengan ekspresi datar juga dingin seperti biasa.
Sesampainya di meja makan, ditarik pelan kursi dan dia duduk dengan posisi santai namun tegak, dibuka selembar lap makan yang diletakkan diatas pahanya. Tanpa perlu menyapa Sang Ibu yang jelas - jelas sudah ada lebih dulu di sana, Danar bersikap sangat acuh. Diambil menu sarapannya pagi itu masih dengan diam dan tenang.
"So, kamu pasti ingat dinner hari ini kan?" tanya Ibu Rania sembari memotong telur mata sapinya.
Masih terdiam, Danar meneguk susu putihnya tanpa ekspresi apapun. Sikap Sang Anak pagi itu kali ini benar - benar mengganggunya hingga kedua alat makan yang digunakannya tadi diletakkan agak kasar dan menimbulkan suara hantaman yang cukup bergema.
"Son...," akhirnya Sang Ibu agak berteriak memanggil Danar yang tetap diam sambil menikmati sarapannya.
Tarikan napas dalam dan hembusannya yang panjang terdengar jelas. Kedua mata Ibu Rania yang awalnya biasa kini menjadi menyipit dan terlihat bengis.
"Dan..." ucapnya sekali lagi dengan nada bersungguh - sungguh dan raut wajah agak kesalnya.
Danar meletakkan alat makannya masih dengan sangat santai, lalu diteguknya sekali lagi susu itu dan ditutup dengan mengusap pelan bibirnya, baru setelah itu ditatap wajah Sang Ibu.
"Aku usahakan. I'm gonna go, Ma. Bye...," ucapnya diiringi dengan menepuk pelan satu punggung tangan Sang Ibu. Ekspresi wajah sedikit mengernyitkan saat dia berlalu membuat Ibu Rania semakin jengkel.
Dilihat gerakan Sang Anak hingga menghilang dari pandangannya, perlahan kepala wanita agak tua itu kembali ke arah meja makan dengan jemari tangannya dimainkan.
"Ada apa sama anak itu? Sikap dan tingkahnya tidak biasa, aku harus tau..." gumam wanita dengan tatanan rambut yang selalu dibuat ikal.
xxxxxxxx
Danar yang kini sudah ada di dalam mobil terlihat sudah sibuk dengan komputer tabletnya yang berisikan berkas - berkas pekerjaan. Setelah beberapa menit berlalu, ekspresi wajahnya yang serius berubah menjadi lebih santai dengan membuat gerakan ringan pada mata serta jemarinya. Kemudian ditutup komputer tabletnya yang dilanjutkan dengan memejamkan matanya sesaat, hingga mobil yang ditumpanginya terhenti dan Pak Yusuf memberitahunya bahwa telah sampai di depan pintu masuk perusahaannya.
Lelaki itu menghela napas panjang sekali, lalu dibuka kembali mata yang rasanya baru sedetik ditutup oleh Danar. Seketika dia membenahi pakaiannya, saat pintu mobil dibuka lelaki lumayan tampan itu keluar dan melepas satu kancing jas yang dikenakannya.
Tiit...
Tiit...
Tiit...
Suara kunci otomatis yang sedang memindai kartu khusus yang dimiliki Danar untuk masuk ke ruangan kerjanya. Lelaki itu berjalan kearah mejanya berada, namun langkah kakinya terhenti dan pandangan matanya menuju ke sebuah meja pajangan dekat dengan televisi. Pupilnya membesar dan dahinya agak berkerut, alih - alih berjalan terus kearah mejanya, lelaki itu berjalan mendekat kearah meja pajangan dan helaan napas kasar kini terdengar darinya.
Tidak sampai disana, Danar juga mencium udara di ruangan itu hingga membuatnya hampir bersin, dengan satu tangan yang dibuat menutupi mulut dan hidungnya, lelaki itu dengan cepat berjalan kearah telepon di meja kerjanya dan menghubungi satu nomer.
"Sambungankan ke Ibu Rahma...," Danar dengan nada dinginnya di telepon.
Tidak lama kemudian lelaki itu terhubung kepada salah satu bawahannya itu, hanya percakapan singkat dilakukan oleh Danar. Matanya kembali terpejam dengan gerakan beralih ke salah satu laci, masker mulut pun dipakai lelaki itu hingga akhirnya dia bisa bernapas dengan baik. Danar kemudian duduk di ujung meja alih - alih duduk di kursi kerjanya. Setelah menanti beberapa saat, sebuah ketukan terdengar dari arah luar, Danar kemudian mempersilahkan Si Tamu untuk masuk dengan nada datar juga dinginnya.
"Selamat Pagi, Pak. Sesuai permintaan Bapak, ini Ningning yang mulai hari ini bertanggung jawab atas kebersihan ruangan ini...," ucap Ibu Rahma dengan ekspresi tenang dan ramahnya.
Danar hanya terdiam dengan tatapan mata agak tajam dan kedua tangan yang bersidekap, tatapan itu tertuju kepada kedua bawahannya itu.
"Selamat Pagi, Pak. Perkenalkan saya...," ucapan Ningning seketika dipotong oleh Danar yang juga membuat Ibu Rahma terkejut.
"Coba lihat baik - baik, apakah ada perbedaan ruangan saya dari sebelum kamu bersihkan dengan setelah kamu bersihkan?" tanya Danar masih dengan nada datar dan dingin.
Ibu Rahma melihat kearah Ningning sekali baru kemudian dilanjutkan melihat kearah sekeliling ruangan atasannya. Disaat yang sama, tiba - tiba Ningning langsung bertekuk lutut mengarah bersimpuh dengan kedua tangan yang dibuat tercakup dan agak digesek - gesekan kehadapan Danar.
"Ampun, saya mohon ampun Pak. Saya tidak sengaja, sungguh. Awalnya, awalnya saya hanya mengagumi pajangan itu, tapi, tapi kemudian pajangan itu terpeleset lalu, lalu...," Ningning mencoba menjelaskan dengan mata dan wajah yang sudah oleh air matanya yang bukan lagi jatuh namun bercucuran ditambah suaranya sesegukkan sehingga kalimat yang dikeluarkan terkadang terdengar terbata dan tidak bisa diselesaikannya penjelasan itu. Danar pun tahu nasib dari pajangan nya itu.
Pupil Ibu Rahma tambah membesar, ketika dia mendengar pengakuan dari bawahan barunya itu. Danar lagi - lagi menghela napas panjang dengan mata terpejam sesaatnya. Lelaki muda itu kemudian berubah posisi dari setengah duduk menjadi berdiri dan berjalan kearah kedua bawahannya yang terlihat satu sudah ada di lantai dengan semua gestur tertunduk nya dan satu lagi berdiri dan tertunduk.
"Ibu Rahma...," panggil Danar dari balik masker mulutnya dengan nada pelan namun penuh makna.
Masih dengan tertunduk, ditelan salivanya sekali sebelum akhirnya perlahan kepalanya wanita gemuk itu berani diangkat dan menatap Sang Atasan.
"I - iya Pak...," jawab agak terbata Ibu Rahma.
"Ibu pilih, Ibu Rahma yang pergi dari ABS atau dia?" tanya Danar sangat kasar sambil mendingan jari telunjuknya pada Ningning.
Debaran jantung keduanya terdengar jelas begitu juga dengan ekspresi terkejut yang tidak bisa dipungkiri. Ningning meremas kedua lututnya dengan tangan bergetar sedangkan Ibu Rahma meneguk salivanya terus - menerus. Dilema, itu kata yang tepat menggambarkan situasi dari Ibu Rahma.
********