Marsha Aulia mengira, ia tidak akan pernah bertemu kembali dengan sang mantan kekasih. Namun, takdir berkata lain. Pria yang mengkhianatinya itu, justru kini menjadi atasan di tempatnya bekerja. Gadis berusia 27 tahun itu ingin kembali lari, menjauh seperti yang ia lakukan lima tahun lalu. Namun apa daya, ia terikat dengan kontrak kerja yang tak boleh di langgarnya. Apa yang harus Marsha lakukan? Berpura-pura tidak mengenal pria itu? Atau justru kembali menjalin hubungan saat pria yang telah beristri itu mengatakan jika masih sangat mencintainya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
06. Rafael Haditama.
Sementara itu di sebuah rumah mewah berlantai tiga di kawasan Jakarta Barat.
Seorang pria berusia dua puluh tujuh tahun sedang mematut diri di depan cermin, di dalam ruang ganti kamar tidurnya. Kegiatan pagi yang selalu ia lakukan sebelum berangkat kerja.
Pria itu adalah Rafael Haditama. Seorang pengusaha muda, berstatus menikah dan memiliki seorang putri. Di usia yang masih di katakan muda, ia sudah menjabat sebagai pimpinan perusahaan, menggantikan sang ayah yang telah meninggal dunia setahun silam.
Tidak ada pilihan lain yang bisa di pilih selain menggantikan posisi sang ayah, meski Rafael adalah anak bungsu, namun sang kakak juga sudah meninggal lima tahun yang lalu akibat kecelakaan.
Setelah memastikan penampilannya sempurna, Rafael pun mengambil ponsel dan kunci mobil di atas nakas. Kemudian pergi keluar, menuju ruang makan untuk bersantap pagi bersama anggota keluarganya.
Pria itu nampak gagah dan berwibawa saat menuruni anak tangga kediaman mewahnya.
“Selamat pagi, Raf.” Sapa seorang wanita yang tengah duduk di atas kursi roda, dan menunggu Rafael di ujung tangga.
“Pagi.” Balas Rafael yang kemudian mendorong kursi roda itu menuju ruang makan.
“Dimana Safa?” Tanya Rafael saat mereka sudah berada di meja makan.
Wanita yang duduk di atas kursi roda itu, kemudian mengulurkan tangan, untuk meraih dua lembar roti tawar.
“Dia belum bangun.” Ucap wanita itu sembari mengolesi permukaan roti dengan selai kacang kesukaan Rafael.
“Jangan biasakan dia bangun siang, San. Sebentar lagi Safa akan sekolah. Aku tidak mau ada drama bocah itu menangis, karena tidak terbiasa bangun pagi.”
Wanita bernama Sandra, dan berstatus sebagai istri Rafael itu pun menganggukkan kepalanya. Apa yang bisa ia lakukan selain menuruti ucapan suaminya?
Sandra sadar diri. Ia hanya seorang wanita cacat dengan ruang gerak yang terbatas. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menjadi istri penurut.
“Silahkan, Raf.” Wanita berusia dua puluh tujuh tahun itu meletakan piring berisi dua lembar roti di hadapan Rafael.
Pria itu kemudian menikmati sarapannya dalam diam.
“Kamu juga makan.” Ucapnya saat melihat piring di hadapan sang istri yang masih kosong.
“Aku akan makan nanti bersama Safa.” Jawab Sandra sembari tersenyum tipis.
Ia dan Rafael dulunya adalah sepasang sahabat. Namun, hubungan mereka berubah semenjak lima tahun yang lalu. Ketika keduanya di haruskan menikah.
“Aku berangkat dulu.”
Sandra terlalu larut dalam lamunannya. Tanpa ia sadari, Rafael telah selesai menikmati sarapannya.
“Hati-hati, Raf.”
“Hmm.”
Tak ada kecupan sebagai salam perpisahan. Rafael akan pergi begitu saja, bahkan tak perduli meski Sandra mengikutinya dari belakang.
“Aku tahu, Raf. Sampai saat ini, masih ada dia di hati kamu. Sampai kapanpun, aku tidak akan bisa menggeser apalagi menggantikan posisinya di hati kamu.” Sandra berucap pelan, tangannya pun terulur mengusap air mata yang mengalir di pipi tanpa permisi.
Beginilah rumah tangga yang mereka jalani selama lima tahun ini. Dingin, tak pernah hangat sekalipun.
Sandra merindukan kehangatan Rafael seperti saat mereka masih berstatus sahabat.
Beberapa kali Sandra menyerah dan ingin berpisah mengakhiri rumah tangga mereka, agar hubungannya dengan Rafael kembali seperti dulu. Namun pria itu seolah tuli, dan tak sekalipun menjawab keinginan Sandra.
Seandainya, ia bisa memutar waktu kembali, ingin rasanya Sandra menolak perintah para orang tua untuk menikah dengan Rafael. Namun, lima tahun lalu ia hanyalah seorang gadis yang tak berdaya.
“Bu, nona sudah bangun.” Seorang asisten rumah tangga datang menghampiri Sandra yang sedang berada di ruang tengah menatap ke pergian Rafael.
“Hmm. Tolong bantu mandikan dia, bi.” Wanita berusia dua puluh tujuh tahun itu memutar kursi rodanya sendiri menuju kamar sang putri.
\~\~
Kembali ke hotel.
Pria yang melihat kedatangan Marsha itu pun pergi menuju restoran hotel, sembari merogoh saku jas yang ia gunakan untuk mengambil ponselnya.
“Kemana dia?” Ucapnya setelah menghubungi seseorang, namun tak mendapatkan jawaban.
“Selamat pagi, pak Aldo.” Suara seorang terdengar menyapanya.
“Pagi.” Pria itu pun mengalihkan pandangannya.
“Apa pak Aldo membutuhkan sesuatu?” Tanya orang itu lagi, yang kebetulan menjabat sebagai menejer restoran.
Ya. Pria yang melihat kedatangan Marsha itu adalah Aldo. Teman masa kuliah Marsha bersama Rafael. Pemuda yang dulu berpenampilan culun itu, kini telah berubah menjadi pria dewasa yang tampan dan berwibawa. Dengan setelan formal khas orang kantoran.
“Ada berapa orang pindahan dari cabang Bali?” Tanya Aldo. Ia tidak ingin langsung menanyakan tentang Marsha. Tak ingin membuat kecurigaan atau kegaduhan di tempat itu.
“Di restoran ada dua belas, pak. Enam orang pramusaji, dan enam lainnya pekerja dapur.” Jelas menejer restoran yang merupakan seorang pria berusia tiga puluh tahun itu.
‘Kata resepsionis tadi, mereka Chef dan koki. Itu artinya, Marsha bekerja di dapur restoran ini.’
Aldo menganggukkan kepalanya. “Yang di bagian dapur siapa saja? Maksudku, tugas dan tanggung jawabnya.”
“Di bagian dapur, kita kedatangan Executive Chef, Sous Chef, dan empat orang senior cook. Tetapi, pagi ini hanya dua senior cook yang bertugas.” Jelas menejer itu lagi.
“Ya. Tadi aku melihat seorang wanita muda. Apa dia salah satu senior cook?” Tanya Aldo kemudian.
Kepala menejer restoran itu menggeleng pelan. “Bukan, pak. Dia Chef Marsha. Dia menjabat sebagai Sous Chef.”
Aldo menggangguk paham. “Terimakasih.”
Dalam hati pria itu merasa tenang mengetahui jika Marsha kini telah menjadi seorang asisten Chef. Itu artinya, selama lima tahun belakangan gadis itu hidup dengan baik.
Sampai saat ini, Aldo masih merasa bersalah atas kepergian Marsha lima tahun lalu. Andai ia tak mengatakan jika Rafael akan menikah, mungkin temannya itu tidak akan pergi meninggalkan Jakarta.
Di hari kepergian Marsha, Aldo datang kembali ke tempat gadis itu tinggal. Namun pemilik kost mengatakan jika gadis itu telah pergi pagi-pagi.
Ia yang saat itu masih berpenampilan culun, dan kutu buku, tak punya pemikiran jika Marsha akan pergi ke bandara. Sehingga, Aldo pun tak mendapatkan jejak gadis itu.
Dan hari ini, setelah lima tahun berlalu. Takdir pun menuliskan jalannya. Mereka di pertemukan kembali, di satu atap yang sama.
“Apa itu artinya selama ini kamu bekerja di perusahaan ini?” Gumam Aldo.
“Ya pak? Apa bapak mengatakan sesuatu?” Tanya menejer itu lagi. Meski Aldo tiga tahun lebih muda darinya, ia harus tetap bersikap sopan. Bagaimanapun juga, pria muda di hadapannya ini menjabat sebagai asisten General Manajer. Tangan kanan dari petinggi hotel ini.
“Tidak.” Aldo pun berlalu. Ia hendak pergi ke dapur, namun mengurungkan niatnya. Tidak mau membuat Marsha terkejut, apalagi sampai melarikan diri lagi.
“Biarkan dulu. Ini hari pertamanya di Jakarta. Aku tidak mau dia kabur lagi.” Aldo pun memutar langkah untuk kembali ke bangunan utama hotel.