Di usianya yang beranjak remaja, pengkhiatan menjadi cobaan dalam terjalnya kehidupan. Luka masa lalu, mempertemukan mereka di perjalanan waktu. Kembali membangun rasa percaya, memupuk rasa cinta, hingga berakhir saling menjadi pengobat lara yang pernah tertera
"Pantaskah disebut cinta pertama, saat menjadi awal dari semua goresan luka?"
-Rissaliana Erlangga-
"Gue emang bukan cowo baik, tapi gue bakal berusaha jadi yang terbaik buat lo."
-Raka Pratama-
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caramels_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 21
Siang ini suasana di luar begitu cerah, secerah kebahagiaan yang menyelimuti keluarga Erlangga. Rissa telah siuman sejak beberapa jam lalu. Kondisinya juga semakin membaik saat tau bahwa orang tuanya telah kembali rukun seperti dahulu. Namun, cahaya kebahagiaan itu belum sepenuhnya menyentuh hatinya. Ia belum mau berbicara dengan Raka. Hatinya masih terasa sakit jika teringat kejadian hingga membuatnya seperti ini, ia selalu menghindar saat Raka ingin menjelaskan tentang semuanya. Bayangan kejadian beberapa waktu lalu masih menghantuinya, setiap detailnya terukir jelas dalam ingatannya, menorehkan rasa sakit yang mendalam.
“Sayang maafin aku,” rengek Raka memohon maaf padanya.
“Mendingan kamu pulang deh, kamu harus belajar dan aku harus istirahat,” ujarnya lalu menutup wajahnya dengan selimut. Gerakannya menunjukkan betapa ia masih terluka dan enggan untuk berhadapan dengan Raka.
“Aku nggak akan pulang sebelum kamu maafin aku,” ucapan Raka tak mendapat respon dari gadis di hadapannya, hingga beberapa saat kemudian terdengar suara dengkuran halus.
Raka duduk di kursi samping tempat tidur, menatap Rissa dengan tatapan penuh penyesalan. Ia tahu, meminta maaf saja tidak cukup. Ia harus melakukan lebih dari itu untuk mendapatkan kembali kepercayaan Rissa.
“Kakak nggak lapar? Ayo ke kantin dulu, Papa juga ada di sana,” ujar Daeren yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan. Daeren, dengan kepekaannya, mengerti bahwa Raka membutuhkan waktu dan ruang untuk menjelaskan, dan ia juga tahu bahwa Rissa membutuhkan waktu untuk menyembuhkan lukanya.
Setelah itu, Raka pun beranjak mengikuti calon adik iparnya itu untuk mengisi perut kosongnya. Langkahnya terasa berat, hatinya dipenuhi rasa bersalah dan kekhawatiran. Ia berharap makan siang ini bisa sedikit meredakan ketegangan dan memberinya kekuatan untuk menghadapi Rissa.
Sesampainya di kantin, terlihat sosok pria paruh baya dengan secangkir kopi di hadapannya sedang tersenyum hangat ke arah Raka.
“Jadinya, kamu mau nerusin kuliah dimana?”
“Rencananya saya mau lanjut di perguruan tinggi dalam negeri saja Om,”
“Mau ngambil jurusan apa?” tanya Pak Ryand lagi, sambil menyesap kopinya perlahan.
“Saya mau masuk ke fakultas kedokteran. Kebetulan saya dipercaya Papa saya untuk menjadi penerus pemilik Rumah Sakit Om,” Raka menjelaskan, suaranya sedikit lebih bersemangat saat membicarakan cita-citanya. Ia berharap dengan tekadnya ini, ia bisa menunjukkan kesungguhannya untuk memperbaiki semuanya.
Pak Ryand yang mendengar ucapan Raka hanya mengangguk-angguk seperti memikirkan sesuatu. Ia terkesan dengan tekad Raka, namun ia juga menyadari betapa beratnya beban yang dipikul pemuda itu, baik beban tanggung jawab sebagai penerus rumah sakit, maupun beban rasa bersalahnya kepada Rissa.
Lalu, mereka pun memulai perbincangan ringan dan terkadang diselingi candaan dari Daeren.Raka berusaha untuk fokus pada percakapan, namun pikirannya tetap tertuju pada Rissa.
Tak terasa seduhan kopi terakhir milik Pak Ryand sudah tak tersisa. Mentari pun mulai meninggalkan jejak jingganya. Mereka kembali ke ruangan tempat di mana Rissa berada sembari membawa beberapa makanan untuk ibu Emil yang kali ini sedang berjaga.
Di kamar Rissa, suasana masih hening. Raka duduk di samping tempat tidur, memperhatikan Rissa yang tertidur pulas. Ia ingin sekali menceritakan semuanya, menjelaskan kesalahpahaman dan penyesalannya, namun ia ragu. Ia takut Rissa belum siap untuk mendengarnya. Ia tahu Rissa membutuhkan waktu untuk menyembuhkan lukanya, dan ia bertekad untuk menunggu, untuk memberikan Rissa ruang dan waktu yang dibutuhkannya.
Ia menghela napas panjang, merasa tak berdaya. Ia hanya bisa berharap, suatu saat nanti, Rissa mau mendengarkan penjelasannya. Namun, untuk saat ini, ia hanya bisa menunggu, menunggu hingga Rissa siap untuk memaafkannya. Ia mencium lembut punggung tangan Rissa, sebuah ungkapan kasih sayang dan penyesalan yang tulus.
Di luar, hari semakin gelap, namun hati Raka masih diliputi oleh kegelapan yang sama, kegelapan yang hanya bisa sirna jika Rissa mau mendengar penjelasannya. Namun, untuk saat ini, Rissa masih belum mau mendengar penjelasan Raka.
...****************...
Mata Rissa mengerjap lalu melihat ke sampingnya yang ternyata seorang cowok sedang tertidur sembari menggenggam tangannya, ia terharu dengan perjuangan cowok itu hingga terlelap saat menunggunya. Rasa rindu menjalar di hatinya. Perlahan, ia mengarahkan tangannya ke puncak kepala si cowok dan mulai mengelusnya. Perbuatan Rissa membuat sang empunya terbangun dari tidurnya, refleks Rissa langsung menarik tangannya kembali lalu memalingkan wajahnya.
“Kamu udah bangun? mau makan?”
“Kok kamu masih di sini? pulang aja sana!” bentaknya.
“Aku mau nungguin kamu di sini,”
“Masih ada Daeren dan orang tuaku yang bisa jagain aku, aku tahu besok kamu ujian jadi lebih baik kalau kamu pulang dan belajar aja, jangan ngurusin aku yang nggak penting ini,” Rissa memalingkan wajahnya berusaha menahan air mata yang hendak jatuh sekuat tenaga.
“Udah ih cepetan pergi,” ia menyingkirkan tangan Raka dan berusaha mendorongnya agar keluar dari ruangan.
“Oke aku bakal pergi, tapi aku akan kembali lagi,” Raka pun memutuskan untuk keluar dari ruang rawat Rissa.
Setelah sosoknya hilang di balik tembok-tembok putih itu, tetes demi tetes air membasahi pipi Rissa. Sejujurnya, ia sangat rindu dengan kekasihnya, namun egonya yang terlalu tinggi dan kedatangan Raka selalu mengingatkannya tentang kejadian kala itu.
“Kak Raka udah pulang?” tanya Daeren menghampirinya.
“Udah,”
“Kakak masih marah sama Kak Raka?” pertanyaan dari Daeren hanya dijawab anggukan olehnya.
“Aku cuma ngasih tahu kakak aja ya, waktu kakak belum sadar beberapa minggu Kak Raka khawatir banget, apalagi waktu aku ngabarin kalau kakak kecelakaan Kak Raka langsung datang ke rumah sakit dengan wajah frustasi. Jadi lebih baik kakak maafin dia aja deh, mungkin dia ingin ngejelasin sesuatu,” saran dari adiknya membuatnya berpikir untuk beberapa saat.
Mungkin ada benarnya, jika dia memberi kesempatan Raka untuk menjelaskan sesuatu yang penting. Karena selama ini, ia selalu menolak untuk mendengarkan saat Raka akan mengatakan sesuatu padanya
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...