NovelToon NovelToon
R²

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Selingkuh / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Idola sekolah
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Caramels_

Di usianya yang beranjak remaja, pengkhiatan menjadi cobaan dalam terjalnya kehidupan. Luka masa lalu, mempertemukan mereka di perjalanan waktu. Kembali membangun rasa percaya, memupuk rasa cinta, hingga berakhir saling menjadi pengobat lara yang pernah tertera

"Pantaskah disebut cinta pertama, saat menjadi awal dari semua goresan luka?"
-Rissaliana Erlangga-

"Gue emang bukan cowo baik, tapi gue bakal berusaha jadi yang terbaik buat lo."
-Raka Pratama-

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caramels_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 29

Cahaya matahari pagi yang masuk melalui jendela asramanya membuatnya merasa segar. Ia menatap jam di ponselnya—masih pukul 06.30. Hari ini, ia akan menghadiri kelas Pengantar Psikologi, mata kuliah yang sudah lama ia nantikan.

Dengan semangat, Rissa segera mandi dan mengenakan pakaian yang nyaman. Zahra juga baru saja bangun dan bersiap-siap.

"Siap buat kelas hari ini?" tanya Zahra sambil mengikat rambutnya.

"Banget!" Rissa tersenyum. "Aku penasaran gimana nanti dosennya dan materi yang bakal kita pelajari."

Mereka berdua bergegas ke kafetaria untuk sarapan sebelum kelas dimulai. Bara sudah duduk di salah satu meja dengan secangkir kopi di tangannya.

"Hei, kalian cepat juga hari ini," sapa Bara sambil tersenyum.

"Kita nggak mau telat di kelas pertama Pengantar Psikologi," kata Zahra.

Bara mengangguk. "Betul juga. Katanya dosennya cukup tegas dan suka mahasiswa yang aktif di kelas."

Setelah sarapan, mereka bertiga berjalan menuju ruang kuliah. Kelas sudah mulai terisi oleh mahasiswa lain yang tampak antusias.

Tak lama kemudian, seorang dosen laki-laki memasuki ruangan.Cara berjalannya penuh percaya diri dan wibawa.

"Selamat pagi, mahasiswa sekalian," sapa dosen itu dengan suara tegas namun hangat. "Perkenalkan saya Profesor Ikhsan, dan saya akan mengajar mata kuliah Pengantar Psikologi untuk kalian semester ini."

Rissa langsung merasa tertarik. Profesor Ikhsan tampak seperti seseorang yang berwibawa dan berpengetahuan luas.

"Psikologi bukan hanya tentang membaca pikiran orang atau sekadar teori yang kaku," lanjut Prof. Ikhsan

"Ilmu ini adalah tentang memahami manusia—bagaimana mereka berpikir, merasa, dan bertindak dalam berbagai situasi."

Ia memperlihatkan beberapa poin di layar proyektor:

Apa Itu Psikologi?

1. Definisi Psikologi

2. Cabang-Cabang Psikologi

3. Sejarah Perkembangan Psikologi

"Pertama-tama, kita harus memahami apa itu psikologi. Siapa yang bisa memberi definisi psikologi?"

Seorang mahasiswa di barisan depan mengangkat tangan. "Psikologi adalah ilmu yang mempelajari perilaku dan proses mental manusia."

Prof. Ikhsan tersenyum. "Bagus. Itu definisi dasar. Namun, psikologi lebih dari sekadar itu. Psikologi juga berusaha memahami mengapa manusia bertindak seperti yang mereka lakukan, dan bagaimana faktor biologis, sosial, serta lingkungan memengaruhi pikiran dan perilaku mereka."

Rissa mencatat dengan teliti. Ia merasa semakin tertarik dengan mata kuliah ini.

"Lalu, psikologi terbagi menjadi beberapa cabang. Ada yang bisa menyebutkan salah satunya?" tanya Prof. Ikhsan.

Bara mengangkat tangan. "Psikologi klinis?"

"Benar! Psikologi klinis berfokus pada diagnosis dan penanganan gangguan mental serta emosional. Ada cabang lain?"

Zahra menambahkan, "Psikologi perkembangan?"

"Bagus. Psikologi perkembangan mempelajari bagaimana manusia berubah sepanjang hidup mereka, dari bayi hingga usia tua."

Prof. Ikhsan kemudian menjelaskan beberapa cabang lainnya

Saat kuliah berlangsung, Prof. Ikhsan juga membahas bagaimana psikologi berkembang dari zaman Yunani Kuno hingga era modern. Ia menjelaskan peran filsuf seperti Plato dan Aristoteles, hingga tokoh-tokoh besar dalam psikologi seperti Wilhelm Wundt, Sigmund Freud, dan B.F. Skinner.

"Salah satu perdebatan terbesar dalam psikologi adalah nature vs. nurture," kata Prof. Ikhsan. "Seberapa besar pengaruh genetika dibandingkan lingkungan dalam membentuk kepribadian dan perilaku seseorang? Apa pendapat kalian?"

Rissa merenung sejenak sebelum mengangkat tangan. "Saya rasa keduanya berperan. Genetika mungkin memberi kita potensi, tetapi lingkungan yang menentukan apakah potensi itu berkembang atau tidak."

Prof. Ikhsan tersenyum puas. "Jawaban yang baik. Psikologi modern memang mengakui bahwa genetika dan lingkungan saling berinteraksi dalam membentuk diri kita."

Waktu berlalu begitu cepat. Rissa tak menyangka bahwa satu setengah jam sudah berlalu saat Prof. Ikhsan menutup kelas dengan sebuah pesan:

"Psikologi bukan hanya tentang teori. Ini adalah ilmu yang bisa membantu kalian memahami diri sendiri dan orang lain lebih baik. Saya harap kalian belajar tidak hanya untuk nilai, tetapi juga untuk kehidupan."

Saat keluar dari kelas, Rissa, Zahra, dan Bara merasa semakin bersemangat dengan dunia psikologi. Tidak perlu heran mengapa mahasiswa di kelas tersebut sudah bisa menjawab beberapa pertanyaan, karena kebanyakan dari mereka akan belajar terlebih dahulu mengenai materi yang akan disampaikan di kelas nantinya.

"Gila, aku makin suka psikologi!" seru Rissa dengan antusias.

"Aku juga," kata Zahra. "Dosen kita luar biasa, materinya juga menarik."

Bara mengangguk. "Sepertinya semester ini bakal seru."

Mereka bertiga pun berjalan menuju kafetaria, melanjutkan diskusi mereka tentang pelajaran hari ini. Rissa merasa semakin yakin bahwa ia telah memilih jalan yang tepat.

...****************...

Setelah seharian menjalani perkuliahan dan orientasi di kampus barunya, Rissa merasa lelah namun puas. Ia merebahkan diri di tempat tidur asramanya, menatap langit-langit sembari mengingat semua yang terjadi hari ini. Meski ia mulai merasa nyaman di lingkungan barunya, ada satu hal yang membuatnya merasa hampa—ia merindukan Raka.

Tanpa ragu, ia meraih ponselnya dan segera menelepon Raka.

"Halo?" suara berat dan hangat itu menyapanya dari seberang telepon.

"Hai!" Rissa berseru riang. "Aku baru selesai kuliah pertama loh. Luar biasa banget deh!"

Raka terkekeh. "Aku udah menduga kalo kamu bakal suka. Jadi, gimana? Ceritain semuanya dari awal dong," Rissa tersenyum dan mulai bercerita.

"Okey! Jadi kemarin pagi aku dan Zahra dijemput kakak tingkat kami, namanya Kak Tata dan Kak Putra. Terus, kami juga ketemu orang asal Indonesia juga loh, namanya Bara. Kami ikut orientasi kampus, tour keliling universitas, terus dikenalin sama berbagai fasilitas disini. Kampusnya keren banget. Perpustakaannya luas dan koleksi bukunya lengkap banget! Aku juga sempat lihat laboratorium psikologi yang super modern."

"Wah, kedengarannya seru!" sahut Raka antusias. "Terus gimana kelas pertamamu?"

"Dosen pertamaku namanya Profesor Ikhsan. Orangnya tegas tapi asik. Dia ngajarin tentang perkembangan psikologi dari zaman Yunani Kuno sampai sekarang. Jujur, aku jadi makin jatuh cinta sama psikologi!"

"Aku yakin kamu bakal menikmati setiap mata kuliahnya," kata Raka dengan nada bangga.

Rissa menghela napas pelan. "Aku senang, tapi jujur aja, rasanya aneh jauh dari rumah. Aku kangen Mama, Papa, Daeren... dan tentu aja, kamu."

Raka terdiam sejenak sebelum menjawab dengan suara lembut. "Aku juga kangen kamu, Sayang. Rasanya beda banget nggak ada kamu di sini. Tiap kali aku lewat tempat-tempat yang biasa kita kunjungi, aku jadi ingat kamu."

"Aku harap waktu bisa cepat berlalu biar kita bisa ketemu lagi," ujar Rissa dengan nada rindu.

"Iya, tapi jangan terburu-buru juga. Nikmati waktumu di sana. Aku nggak mau kamu sibuk mikirin jarak sampai lupa menikmati pengalaman baru ini," kata Raka bijak.

"Dan jangan khawatir, aku bakal selalu ada buat kamu. Kalau kamu butuh cerita atau sekadar ngobrol, atau bahkan cuma panggilan telepon aja, aku selalu disini."

Rissa tersenyum haru, "Makasih, Raka. Aku bersyukur punya kamu."

"Aku juga bersyukur punya kamu," jawab Raka lembut.

Tiba-tiba Rissa teringat sesuatu. "Eh, kamu belum cerita! Gimana kuliah kedokteranmu? Ada pengalaman seru?"

Raka tertawa kecil. "Oh iya! Hari ini aku ada praktikum anatomi manusia untuk pertama kalinya. Aku kira bakal biasa aja, tapi ternyata pas lihat langsung organ tubuh asli di ruang praktikum, aku agak kaget juga."

Rissa terbelalak. "Serius?! Kamu lihat organ manusia asli?"

"Iya, di laboratorium anatomi. Kami belajar soal sistem peredaran darah dan jantung. Awalnya agak ngeri, tapi lama-lama aku mulai terbiasa," kata Raka dengan nada penuh semangat.

"Aku juga mulai memahami kenapa dokter harus punya mental kuat. Soalnya kalau nggak, bisa pingsan di tempat."

Rissa tergelak. "Untung kamu nggak pingsan, Dokter Raka!"

"Ya iyalah! Masa calon dokter pingsan," Raka ikut tertawa.

Setelah itu, mereka mengobrol tentang pengalaman masing-masing, berbagi cerita dan saling memberi semangat.

"Raka, makasih ya udah selalu dengerin aku," kata Rissa lembut.

"Tentu aja, Sayang. Aku bakal selalu di sini buat kamu," jawab Raka.

Meski terpisah ribuan kilometer, percakapan itu membuat mereka merasa lebih dekat. Mereka tahu bahwa meskipun berjauhan, hati mereka tetap saling terhubung.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

1
author
mampir back ya kak
author
keren ih alur nya
Caramels_: terimakasiihh
total 1 replies
tasha angin
Membuat terkesan
Caramels_: terimakasiihhh
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!