Alisha Alfatunnisa, putri dari pemilik pondok pesantren yang populer di kotanya. Belum menikah meski menginjak umur 29 tahun. Hati yang belum bisa move on karena Azam sang pujaan hati, salah melamar kembaran nya yaitu Aisha.
Peperangan batin dilalui Alisha. Satu tahun dia mengasingkan diri di tempat kakeknya. Satu tahun belum juga bisa menyembuhkan luka hati Alisha. Hingga datang sosok Adam, senior di kampusnya sekaligus menjadi rekan duet dalam menulis.
Apakah kehadiran Adam bisa menyembuhkan luka hati Alisha? Atau masih ada luka yang akan diterima Alisha? Cerita yang menguras air mata untuk kebahagiaan sang kembaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erni Handayani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Draft
Masih pantaskah aku berdoa seperti itu padamu? Bukan dia dunia-Mu yang aku pinta tapi dia surga-Mu. Dia akan tetap jadi pemilik hatiku, meski raga ini tak bersatu. Aku ingin kehidupan abadi ketika bersanding dengannya nanti.
Pagi menyapa, aku bersiap menuju kelas untuk memulai mengajar. Setelah memastikan diri ini rapi, aku keluar kamar. Matahari telah bersinar dengan terang, memamerkan senyumannya.
"Kak Alisha.." aku terkejut tiba-tiba dari belakang ada yang memelukku erat. Inayah, dia kapan datang? Dia bukannya di tegal tempat mertuanya.
"Aduh sesak kakak, Yah! Kapan datang?" tanyaku. Inayah melepaskan pelukannya di belakang. Dia kini memelukku dari samping.
"Semalam sampai, kata Ibu kakak udah tidur jadi tidak jadi nemuin kakak!" jelas Inayah.
"Kamu hamil lagi, Yah?" tanyaku ketika menyadari perut Inayah sedikit membuncit. Dia hanya mengangguk pasti. Senyumku mengembang seketika.
"Selamat, sayang! Semoga nanti cewek!" ucapku sambil mengusap perut Inayah. Indra, putra pertamanya baru genap satu tahun bulan ini. Aku merasa semakin tua karena sudah mempunyai dua ponakan.
"Kak Alisha belum ada calon?" pertanyaan Inayah menghentikan senyumanku dalam sekejap. Akupun tergagap untuk menjawab.
"Maaf, bukan maksud Inayah menyinggung perasaan Kakak," ujar Inayah. Mungkin dia menyadari perubahan mimik wajahku.
"Nggak apa, Yah! Doakan kakak dapat imam yang saleh,"jawabku. Aku tidak ingin membuat Inayah merasa tidak enak padaku. Dia sedang hamil akan sangat sensitif emosinya.
"Kakak mau kemana? Udah rapi pagi begini!"
"Mau ngajar, Yah! Bantu Ayah," jawabku.
"Sarapan dulu yuk, Kak! Kangen sarapan bareng kakak." Inayah menarik paksa tanganku menuju meja makan.
"Kakak, nggak lapar, Yah! Kamu aja yang sarapan kakak mau ngajar!" tolakku.
Aku bukannya tidak lapar tapi menghindari Azam. Bukankah kita perlu senjata untuk berperang? Dan menghindari momen yang melibatkan Azam untuk saat ini merupakan senjataku. Aku tak tahu entah sampai berapa lama. Yang pasti sampai aku merasa tidak sesak lagi jika melihat dia juga Aisha.
"Mas langsung ya, Dik! Nanti keburu macet!"
"Nggak sarapan dulu, Mas?"
"Nanti cari di luar saja, Mas jalan sekarang!"
Terdengar Aisha juga Azam berbincang keluar dari kamar, yang tak jauh dari meja makan. Mataku terpejam kala Azam mencium kening Aisha untuk pamitan.
Alisha anggap saja kamu buta tidak pernah melihat itu. Aroma parfum Azam menguasai indra penciumanku saat dia melintas di depanku. Aroma yang sama, yang selalu memabukan aku. Namun, sekarang berubah menjadi gas beracun yang membuatku lemas tak berdaya dalam sebuah rasa.
"Kak, ayo duduk. Jangan diet lagi kakak kurus banget sekarang!" perkataan Inayah menyadarkan aku dari lamunan.
"Aku panggil Ayah dan Ibu dulu, kak!" ucap Aisha yang berjalan ke teras memanggil Ayah juga Ibu.
Setelah satu tahun berlalu, pagi ini baru terulang kembali momen makan bersama. Ayah, Ibu dan ketiga putrinya.
Ali suami Inayah tengah menemani Indra anaknya bermain di kolam ikan belakang rumah.
Ayah tidak mengizinkah anaknya di bawa suaminya. Jadilah Aisha-Azam, Inayah-Ali. Tetap tinggal di sini, tidak tahu aku nanti. Sepertinya aku yang menjadi anak Ayah yang tinggal di sini. Lebih memilih tingg di Al-Irsyad tempat Kakek.
"Jadi, penulis itu Tuhan bagi tokoh yang di ciptakannya, Bu?" tanya salah satu santriwati yang antusias dalam pelajaran sastra saat pertama kali aku mengajar kembali.
"Iya, kita sebagai penulis yang menentukannya. Hal utama sebelum menulis, tentukan dulu tokoh, konflik juga ending. Jika sudah tinggal masuk ke tahap selanjutnya,"jawabku.
Andai aku bisa menulis kisahku sendiri. Tidak akan pernah aku ingin bertemu dengan Azam mengenalnya secara dekat. Sayangnya Allah yang menentukan segalanya. Seluruh makhluk ciptaan-Nya telah tertulis takdirnya jauh sebelum kita lahir.
"Bagaimana biar bisa menjadi penulis seperti Bu Alisha? Yang karyanya bestseller?" tanyanya lagi. Sepertinya dia memiliki minat yang besar untuk menulis.
"Siapa nama kamu, Dik?" tanyaku pada gadis itu.
"Sania, Bu!" jawabnya cepat.
"Sania, menulis itu ada dasar-dasarnya. Harus banyak belajar agar tulisan kita semakin bagus. Dan menulislah dari hati, biar apa yang kita sampaikan tepat sasaran!" jawabku.
Jam menunjukkan pukul 10:00, aku mengakhiri proses pembelajaran. Kepala terasa sedikit pening, mungkin karena terjaga dari mimpi tentang Azam. Keluar dari kelas menuju ruang guru memakan waktu sekitar sepuluh menit. Kelas yang aku masuki berada di sudut pesantren.
"Neng.."
Aku menghentikan langkah kaki saat namaku dipanggil. Aku berada di lorong batas kelas santriwan juga santriwati, tidak tersadar aku sudah jalan sejauh ini. Yang harusnya belok kanan tapi aku lurus. Menepuk kening yang tak bersalah.
"Saya kelewatan, Gus.. Permisi saya mau balik ke ruang guru," ucapku formal. Azam entah mengapa harus bertemu denganmu di sini. Aku ingin segera memacu langkah kaki untuk menghindar darinya. Tidak biasanya juga dia pulang cepat seperti ini.
"Jika karena aku, makan bersama kamu hindari! Biar aku saja yang tidak ikut makan, Neng!"
Ucapan Azam nyaris tak terdengar jelas karena jarak yang lumayan jauh. Aku terpaku, langkah kaki tiba-tiba saja menjadi berat.
"Biar aku saja yang tidak ikut makan bersama," ucapan itu menggema di telinga.
Tidakah yang aku lakukan itu tanpa menyakiti orang lain? Allah biarkan aku terbiasa dengan semua. Aku ingin lepas dari belenggu ini, tolong bantu agar tidak ada yang baperan juga salah paham dengan sikapku.
"Tidak perlu, Gus. Aku bukan menghindari makan bersama. Kamu sudah paham dengan kebiasaanku!" balasku lirih tak peduli Azam mendengar atau tidak.
Langkah kaki berpacu cepat. Bodoh Alisha mengapa bisa kamu bicara begitu. Azam tahu jika aku tidak terlalu suka makan, terhitung hanya dua kali paling banyak sehari. Aku menarik napas dalam-dalam. Aku tak ingin membuat laki-laki itu semakin merasa bersalah.
Sampai di dekat ruang guru, mataku menangkap penangkapan mobil Avanza seperti punya Kak Adam. Aku menepuk kening, lupa jika Kak Adam ingin bertemu. Tetapi, kenapa sampai datang ke pesantren. Aku merogoh ponsel di saku gamis. Benar saja pesan dari Kak Adam beruntun masuk.
Fokusku teralih pada nomor baru yang mengirim chat.
[Aku tahu kamu sedang belajar terbiasa, Alisha. Aku akan bantu itu dengan mengjindari makan bersama, kamu butuh tenaga untuk belajar terbiasa. Jangan abaikan kesehatan.]
Jantung terasa berpuluh kali di pompa lebih cepat. Dengan jari gemetar aku klik foto profil-nya berharap ini Kak Adam pakai nomor baru lagi.
Nyatanya aku harus menahan perih lagi, foto ini jelas-jelas Aisha juga Azam. Allah, dari mana dia mendapat nomorku. Satu tahun ini aku menggunakan nomor baru. Setelah Aisha dan Azam menikah, nomor lama aku patahkan jadi dua. Dan sejak saat itu Aisha juga. Azam tidak memiliki nomorku.