Nafisa, gadis istimewa yang terlahir dari seorang ibu yang memiliki kemampuan istimewa. Tumbuh menjadi gadis suram karena kemampuan aneh yang dimiliki.
Melihat tanda kematian lewat pantulan cermin, membuatnya enggan bercermin seumur hidupnya. Suatu ketika ia terpaksa harus berdamai dengan keadaannya sendiri, perlahan ia mulai berubah. Dengan bantuan sang sahabat, ia menolong orang-orang yang memiliki tanda kematian itu sendiri.
Simak kisah menarik Nafisa, kisah persahabatan dan cinta, juga perjuangan seorang gadis menerima takdirnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cermin 31
Suara bising para siswa siswi SMA Lentera bangsa berebut keluar kelas sesaat setelah bel istirahat berbunyi, hari ini mereka ujian. Nuria mengeluh betapa kepalanya terasa panas akibat memikirkan soal-soal matematika tadi.
“Beh, lihat-lihat muncul asapnya nggak?” katanya menunjuk atas kepala.
“Lebay lu Burung,” jawab Haikal. Nuria cemberut kesal.
Fisa dan yang lain menertawakan keduanya yang tak pernah akur dimanapun berada, layaknya tom and jerry.
“Hei, gimana Alena? hari ini dia datang kan?” tanya Fisa.
“Datang kok, tapi ya gitu masih tetap sama.” Pandu turut prihatin, pasalnya setelah kejadian beberapa bulan lalu, ayah gadis itu belum juga sadar. Selain itu Alena tak punya teman di kelas, setiap kali Alena datang mendekati temannya, atau hendak meminta maaf pada teman yang pernah disakitinya, satu persatu dari mereka pergi.
“Kamu tau nggak kenapa dia juga nggak pernah mau main sama kita?” tanya Fisa lagi.
“Mungkin malu kali Naf, biarlah… dia bilang pada kami kelak pasti datang jika sudah siap, ya kan teman-teman?” Arjuna melempar pertanyaan pada yang lain. Lantas mulai menikmati jajanan yang baru dibelinya, mereka berlima kini tengah berada di kantin, sekedar melepas penat dengan mengisi perut.
“Hei Burung, rajin sekali ke kantin sampai bawa buku?” ledek Haikal lagi.
“Diamlah, tadi malam aku nggak belajar, ketiduran karena capek,” jawabnya. Fisa memberinya semangat, sementara Haikal justru menertawakannya.
“Woy Kal, jangan suka ngegoda Nuria, ntar malah suka loh,” ujar Pandu.
“Idih, seorang Haikal suka anak macam ni, mending ngosek WC sebulan lah,” katanya yang langsung disambut pukulan keras di pundak oleh Nuria, setelah itu mereka berdua berkejaran, Fisa dan yang lain hanya tertawa menyaksikan keduanya.
“Oh iya apa rencana kalian setelah ujian hari ini?” tanya Pandu pada Fisa dan Arjuna. Kedua temannya itu saling pandang, sama-sama tak bisa menjawab karena memang belum memikirkan rencana apapun.
Hari ini adalah hari terakhir ujian mereka, setelah itu mereka akan libur panjang. Mungkin nanti masuk kembali saat pengambilan raport menjelang kenaikan kelas. Dan untuk Arjuna dkk berarti kelulusan, sebenarnya Fisa merasa sedih jika harus berpisah dengan tiga temannya itu, tapi gadis itu berusaha menenangkan diri.
“Gimana kalau kita pergi main, terus nonton dan yang lain, pokoknya kita seneng-seneng. Kapan lagi coba, entar kalau kita lulus kita nggak bakal main sama mereka berdua lagi,” seloroh Arjuna.
Mendengar hal ini Haikal dan Nuria segera mendekat, keduanya lantas saling merangkul, memasang wajah sedih sebab tak lama lagi pasti berpisah.
“Ide bagus itu Bro, nanti kita berangkat bersama naik mobilku,” usul Pandu.
“Kami setuju, ya kan Burung?” Haikal mengurai rangkulan dan meninju pelan pundak Nuria, membuat gadis itu meringis karena sikapnya.
“Woylah, kira-kira dong, aku cewek ya,” keluhnya kesal.
“Iya kah? wah aku kira kamu jantan Burung,” jawab Haikal lagi. Setelah mengatakan kalimat itu, ia lantas berdiri dan berlari meninggalkan yang lain, kebetulan bel tanda istirahat telah usai berdenting nyaring, Fisa dan yang lain serempak mengikuti Nuria dan Haikal untuk kembali ke kelas masing-masing.
***
“Gimana ujiannya? bisa?” tanya Husin melihat putrinya meletakkan sepatu di rak, gadis itu baru saja pulang.
“Alhamdulillah Ayah, semuanya diberi kelancaran berkat doa ayah dan Ibu. Oh iya Ibu mana?”
“Yah biasa, pergi belanja sama mama Arjun.”
Fisa manggut-manggut, berjalan ke dapur setelah meletakkan tas di ruang tengah. Gadis itu mencuci tangan lalu mengambil piring bersih, mengisinya dengan nasi dan beberapa lauk pauk. Menjawab soal ujian membuatnya cepat lapar, dan melihat masakan sang ibu cacing di perutnya seolah melakukan aksi demo, menuntut untuk segera diisi.
“Oh iya, katanya setelah lulus nanti Arjuna mau ke pesantren sembari kuliah, dia sudah bilang padamu?”
Fisa mengangguk kecil, Arjuna memang sudah berpamitan padanya. Meski rasanya berat tapi Fisa sadar tak bisa mencegah seseorang meraih cita-cita. Dari dulu Arjuna memang sangat ingin mondok, dia merelakan impiannya karena ingin menemani Fisa yang penakut, tapi dia sekarang sudah berubah, jauh lebih berani dan mandiri, dan itu saatnya bagi Arjuna untuk meninggalkannya.
“Kamu nggak apa-apa? kalian kan besti banget.”
Lagi-lagi Fisa tersenyum, membawa piring nasinya ke ruang tengah dan makan disana sembari menonton televisi. “Tidak ayah, Arjuna berhak meraih cita-citanya. Lagi pula Fisa kan udah nggak kayak dulu, sekarang sudah jadi pemberani,” jawabnya tersenyum senang.
Sang ayah mengangguk lega, Husin bersyukur putrinya tak keberatan ditinggal Arjuna. Meskipun dia dan sang istri, juga Shella dan Evan sudah sepakat menjodohkan putra putri mereka, tapi untuk saat ini masih terlalu dini, setidaknya Arjuna harus mendalami ilmu agama, agar bisa mendidik Fisa kelak jika mereka memang berjodoh.
“Baiklah, makan yang banyak. Ayah mau ke kamar dulu, ada pekerjaan yang belum selesai,” pamit Husin. Fisa mengangguk setuju.
Hari berganti hari, tak terasa liburan sekolah sudah hampir usai. Kelima sahabat itu benar-benar menghabiskan masa liburan mereka dengan senang, jalan-jalan bareng, nonton bahkan kemah. Semua mereka lakukan dengan penuh semangat, sebab sadar setelah ini mereka tak akan lagi bisa berkumpul bersama.
Sesuai rencana, Arjuna akan berangkat ke pesantren sekaligus kuliah di sana, sedangkan Haikal dan Pandu berencana melanjutkan ke kampus yang sama.
“Hyung, jangan lupain kami kalau udah dapat teman banyak di pesantren ya? entar takutnya nggak mau lagi temenan ama kita orang yang belangsakan ini setelah dapat teman-teman alim,” celoteh Haikal sesaat sebelum pengambilan raport.
Arjuna mendorong pundaknya, tak ada jawaban dari bibir lelaki itu kecuali sebuah senyuman tipis. Sebenarnya ia juga berat berpisah, tapi semua dilakukannya untuk belajar agama selain juga merupakan syarat yang diberikan Husin padanya, yah ini memang diam-diam, Fisa tak tahu apa-apa. Gadis itu masih menganggapnya teman, berbeda dengan Arjuna selama ini. Toh dimana ada pertemanan murni di antara pria dan wanita.
“Hei, kamu kira Arjuna orang seperti itu? aku yakin dia nggak akan pernah berubah meskipun sudah mondok, dia tetap sahabat kita,” jawab Pandu. Arjuna memberinya dua jempol sambil manggut-manggut.
“Baguslah, kalau kita mah masih bisa main bareng saat weekend, ya kan Burung?”
“Idih, siapa yang mau main sama kamu,” jawab Nuria diikuti gelak tawa teman-teman lainnya. Saat itulah Fisa melihat Alena datang mendekat, gadis itu tampak ragu-ragu.
“Alena, apa yang kamu lakukan disitu? kemarilah.”
“Ehm, maaf Fisa, teman-teman… apakah aku boleh bergabung dengan kalian?” tanyanya.
“Tentu saja boleh, kenapa tidak boleh.” Fisa menjemput gadis itu, mengajaknya duduk bersama di sebuah bangku.
“Lain kali nggak perlu malu-malu Al, gabung aja, kami mah suka kalau di kelompok ini ada yang cantik, udah sepet mataku lihat burung tiap hari,” seloroh Haikal yang membuat Nuria langsung memukulnya.
“Eh, jangan sembarangan, emangnya Nafisa nggak cantik apa?” kata Arjuna.
“Cie… cie, Hyung….” Haikal menjadi yang paling heboh, disusul Nuria yang menari-nari bahagia.
“Udah udah, kalian ini apaan sih? oh iya Al, kamu mau lanjut kemana nanti setelah lulus?” tanya Fisa.
“Ehm, mungkin aku akan ke Unma nanti,” jawabnya.
“Loh, universitas mitra pratama? sama dong kayak kita, ya kan Bro?” Haikal menyiku lengan Pandu, lelaki yang sedari tadi memilih diam itu mengangguk canggung.
“Benarkah?” tanya Alena dengan mata berbinar, “kukira aku sendirian kesana, syukurlah kalau ada teman. Dan kamu Arjun?”
“Hyung mau jadi ustadz Al, biar nanti bisa jadi imam yang baik untuk neng Nafisa,” katanya menggoda. Kali ini Fisa langsung yang memukulnya, lantaran kesal dengan candaan anak itu.
“Kamu tuh ya, dari tadi juga,” keluh Fisa terkekeh. Nuria terbahak-bahak, dia yang paling puas melihat Haikal akhirnya mendapat balasan. Alena tersenyum tipis, diam-diam hatinya terasa perih, bagaimanapun ia masih menyukai Arjuna. Tapi sadar, tak ada yang bisa dilakukannya.
Baginya kini cukup diterima sebagai teman saja, hidupnya sudah cukup menyedihkan, dia akan fokus pada kesehatan sang ayah dan kuliah nanti.
Keenam siswa siswi ini masih terus bergurau, sembari menanti para guru bersiap membagi raport, para orang tua juga sudah datang, termasuk orang tua Fisa dan Arjuna.
“Naf, kayaknya orang tua kita aja yang datangnya bawa pasangan, mana pake couple lagi, dikira kondangan kali ya,” bisik Arjuna di samping telinga Fisa, Fisa tak bisa menyembunyikan tawanya, ia memang melihat ibu dan ayahnya, juga ayah dan mama Arjuna berdiri di barisan para orang tua yang hendak menuju kelas putra putri masing-masing, mereka melambai-lambaikan tangan dan Fisa juga Arjun membalas lambaian itu.
Begitu juga Haikal, Nuria dan Pandu, mereka melihat perwakilan orang tua masing-masing di antara para wali murid. Hanya Alena yang tampak sedih, ayahnya jelas tak mungkin datang, sedangkan paman-pamannya tidak tinggal di negara sama.
“Al, siapa yang datang ambil raport kamu?” tanya Fisa, teman-teman lain pun serempak menoleh padanya. Alena hanya menunduk, tapi di saat yang sama datanglah seorang wanita paruh baya bertumbuh gempal, Fisa dan yang lain masih ingat siapa wanita ini.
“Aduh Nona, maafkan bibik, apa bibik terlambat?” tanyanya.
Aluna tersenyum senang, menggeleng dan berkata, “tidak Bik, oh iya teman-teman perkenalkan ini ini Bik Murti, beliau yang mengasuhku sejak bayi, sejak mamaku masih ada,” jawabnya terlihat bangga. Bik Murni tersenyum canggung, wanita itu tak menyangka Alena mengenalkan dirinya di depan teman-teman gadis itu.
“Hallo, salam kenal Bik,” kata yang lain. Setelah itu bel masuk kelas berbunyi, mereka sepakat berpisah dan kembali berkumpul nanti sepulang sekolah. Haikal dan Pandu mengajak Alena pergi, begitupun Bik Murti yang mengekor di belakang majikannya itu.
Sementara Arjuna menarik tangan Fisa, “doakan aku lulus ya,” katanya. Fisa tersenyum mengangguk, lalu keduanya pun kembali ke kelas masing-masing.
....
END.
Ceritanya berakhir disini, maaf kalau kurang memuaskan. Semoga nanti bisa kembali berjumpa author di cerita selanjutnya, terima kasih yang sudah setia membaca. Salam sayang semuanya 🙏😘