Melihat Kematian Dari Cermin
Genap 16 tahun usianya, saat Nafisa Putri Celine mengikuti kedua orang tuanya pindah rumah. Tazkia dan Husin—orang tuanya itu memutuskan menjual rumah lamanya dan pindah ke kota ini dengan tujuan bisa dekat dengan sang sahabat, Shella dan Evan.
Putra putri mereka berteman sejak kecil, harapan mereka Fisa bisa kembali ceria di tempat baru, terlebih ada Arjuna yang akan menemaninya. Selama ini Kia sangat mengkhawatirkan pertumbuhan putrinya, karena semakin lama gadis itu berubah menjadi pribadi yang suram dan menarik diri dari dunia. Sebenarnya sudah sejak tiga tahun yang lalu, tepatnya sejak kematian akungnya.
Hari pertama di kota baru, Fisa sengaja berjalan-jalan sendiri. Seperti biasa gadis itu akan membiarkan rambut pendek nya berantakan dan hampir menutupi mata. Langkah kakinya tergesa menyusuri trotoar jalan saat ia harus melewati toko khusus menjual cermin.
Kalau Fisa tahu di tempat ini ada penjual cermin ia pasti tak akan sudi melewati jalan ini, tapi kepalang tanggung ia tak mungkin putar balik karena tujuan utamanya adalah toko buku yang berada di deretan sama, hanya berjarak sekitar 5 toko saja dari toko cermin itu.
BRUK….
“Aw.”
Fisa terkejut, rupanya ia tak sengaja menabrak seorang gadis kecil. Gadis itu terjatuh dan sikunya tergores aspal, timbul perasaan bersalah di hatinya.
“Aduh, maaf ya adik kecil kakak nggak sengaja, tanganmu jadi terluka, tunggu sebentar ya biar kakak belikan plester obat,” kata Fisa menyisir jalanan di depannya, berharap menemukan apotik di sekitar mereka.
“Tidak perlu Kak, ini cuma luka ringan kok. Lagian aku sudah kelas 5 SD lo, bukan anak kecil lagi, kata ibu aku nggak boleh cengeng karena aku anak yang hebat,” jawab gadis berusia 11 tahun itu.
Fisa tersenyum mendengar jawaban gadis ini, ia membantunya berdiri dan membersihkan celananya yang kotor. Fisa sedikit berjongkok untuk menjangkau celana bagian bawah gadis kecil itu, senyum kecil tersungging di bibirnya. Jujur saja itulah senyum pertamanya sejak datang ke kota ini, senyum tulus yang ia berikan pada gadis kecil yang begitu cantik dan pintar.
“Terima kasih ya Kak,” tutur gadis kecil itu lagi.
“Kok terima kasih, justru kakak yang harus berterima kasih karena kamu memaafkanku, oh iya nama kamu siapa?”
“Namaku Celine,” jawabnya.
“Wah, nama kita sama loh. Itu nama belakang Kakak, sayangnya kakak dipanggil Fisa bukan celine. Memangnya Celine mau ke mana?” tanya Fisa lagi.
Celine menunjuk ke arah toko cermin, tapi kemudian beralih tepat di sampingnya. Sebuah warung makan padang ada di sana, menurut Celine itu usaha orang tuanya. Fisa sudah tak bisa berpikir jernih, saat Celine salah menunjuk ke toko cermin ia tak sengaja melihat bayangan mereka dari pantulan cermin yang berjajar di depan toko, cermin-cermin besar itu menampilkan bayangan Celine yang sedang berdiri dan Fisa berjongkok di depannya.
Hanya saja, pada bayangan Celine ia melihat cahaya putih di separuh badannya, dari kaki menuju pusar. Cahaya yang selama ini ia hindari mati-matian, cahaya yang mengakibatkan akungnya pergi untuk selama-lamanya. Nafas Fisa mulai tak beraturan, dadanya sesak, matanya memerah menahan rintik yang siap menderas kapan saja.
Tangannya sedikit bergetar, tapi Fisa berusaha keras menyembunyikan semua dan tetap menyuguhkan senyuman termanis untuk gadis kecil di depannya itu. Gadis itu tersenyum polos, setelah itu berpamitan pergi. Nafisa melihatnya berlalu saat sebuah suara memanggil Celine dari seberang jalan.
“Celine…”
“Kakek!”
Celine bergerak cepat, langkah langkah kecilnya hendak menyeberang jalan untuk menjemput sang kakek yang baru turun dari bus kota, sepertinya kakek gadis itu datang berkunjung. Di saat yang sama Fisa melihat sebuah truk melaju cepat dari arah berlawanan, Celine kecil tak menyadari hal itu.
“Celine… awas!” jerit Fisa, gadis itu justru berhenti di tengah jalan dan menatapnya sambil melambai, Fisa tak ingin kejadian sama terulang kembali, menyaksikan kematian seseorang dengan cahaya putih di kakinya. Mungkin dulu ia tak bisa menyelamatkan sang kakek, saat kakek nya itu meninggal karena penyakit. Tapi kali ini mungkin saja berbeda, ada kemungkinan Fisa bisa menyelamatkan gadis kecil itu. Ia berlari cepat menarik tubuh Celine.
Ckiiiiit……
Fisa berguling di jalanan dengan tubuh Celine berada dalam pelukannya, matanya terpejam saat suara decitan roda truk mendengung di telinga. Sejurus kemudian sumpah serapah ia dengar dari mulut supir truk itu, sang kakek mewakili mereka meminta maaf. Ayah Celine meninggalkan warungnya, datang menjemput putrinya yang hampir saja menjadi korban kecelakaan. Lalu mereka bersama-sama menepi di seberang jalan, tepat di samping sebuah mall yang sedang di renovasi.
“Terima kasih, Tuhan. Masih melindungi putriku, terima kasih Dek kamu sudah menolong anakku, terima kasih banyak.” Ayah Celine menangis saat mengucapkan rasa syukurnya itu. Fisa hanya tersenyum melihat mereka, ia sendiri benar-benar lega. Ini kali pertama Fisa bisa membuktikan bahwa tanda kematian berupa cahaya putih yang ia lihat lewat pantulan cermin masih bisa dicegah.
Kakek Celine juga mengucapkan terima kasih, beliau bahkan memberikan beberapa oleh-oleh dari kampungnya untuk Fisa. Fisa menolak tapi Celine memintanya untuk menerima.
"Terima saja Kak, ini hadiah dari kami karena Kakak orang baik," kata gadis itu. Fisa terharu mendengar ucapannya, ia lantas menyambut pemberian sang kakek dengan suka cita dan rasa syukur yang tak henti diucapkannya.
"Baiklah, kalau begitu kami pergi dulu ya Dik, hati-hati di jalan." Ayah Celine menggandeng tangan putrinya, mereka tidak menyeberang jalan melainkan berjalan lurus ke depan, Fisa mengira mungkin saja mereka masih ada keperluan yang tak diketahuinya. Sesekali gadis kecil itu masih menoleh, tersenyum manis dan melambaikan tangan lagi.
Sang kakek berjalan lambat, lelaki yang mungkin sepantaran akungnya itu juga masih melambai, setelah itu barulah beliau menyusul langkah putra dan cucunya yang berada jauh di depan.
Baru saja Fisa berhenti membalas lambaian tangan mereka, saat sebuah material bangunan tiba-tiba terjatuh dari atas gedung yang sedang direnovasi, sepertinya ada kerusakan pada alat yang digunakan para pekerja, hingga material berbobot berat itu terjun bebas menghantam kepala gadis kecil tak berdosa itu.
BRAK….
“Aaaah!” Nafisa jatuh di atas trotoar, oleh-oleh pemberian Celine terlempar dari tangannya. Beberapa detik lalu tepat di depan matanya Celine melambai dengan senyum manisnya, tapi kini kepala gadis itu pecah tertimpa material pembangunan gedung besar itu. Kakek tua yang berjalan beberapa langkah di belakang selamat, tapi ayah Celine terluka parah. Hanya Celine yang sepertinya tak tertolong, perlahan Fisa melirik toko cermin di seberang sana, ia bisa melihat cahaya putih di kaki Celine perlahan-lahan berubah warna menjadi hitam.
“Hah… hah… hah…” Nafas Fisa tercekat, Celine telah tiada. Gadis kecil itu meninggal tepat di depan matanya, saat ia menyangka berhasil menyelamatkannya dari kematian, tapi rupanya ia salah menduga. Penyebab kematian Celine bukanlah kecelakaan truk, melainkan tertimpa material pembangunan.
Semua warga berkumpul, suara mereka terdengar bagai kawanan lebah yang berdengung di telinga Fisa, ia melihat seorang lelaki menelpon ambulance, dan yang lain menghubungi polisi. Beberapa wanita membantu menenangkan kakek, dan darah Celine menggenang di trotoar.
Kemudian Fisa melihat asap hitam muncul dari dalam lubang selokan, berputar-putar di sekeliling jasad Celine. Asap hitam itu menjelma sebagai sosok mengerikan, berwajah rusak dan mata merah, tubuh kurus kering dan kaki panjang yang jari jarinya berbentuk pipih dan lebar, terdengar bunyi plak plak plak saat kaki gepeng itu menapak aspal.
Ada sekitar 5 makhluk yang kini sedang berebut menjilati darah bekas kecelakaan Celine, mereka terlihat begitu rakus seolah darah itu adalah makanan terlezat di dunia.
“Huek…huek…” Fisa tak tahan melihat ini, meski bukan pemandangan asing, tapi tetap saja ia jijik dan mual. Fisa melupakan pemberian kakek Celine, fokusnya kini adalah pergi dari tempat itu. Jatuh bangun ia berusaha bangkit, terkadang merangkak demi bisa sedikit menjauh dari tempat kejadian.
Kakinya lemas seketika, bayangan material beton menghantam kepala sekecil itu membuatnya tak berdaya, tangisnya begitu menyesakkan hati. Ia baru saja mengenal Celine, tapi melihat kejadian seperti ini di depan mata mengguncang mentalnya.
Fisa berusaha keras untuk berdiri, perlahan tapi pasti kakinya melangkah pergi, di pertigaan jalan ia menyempatkan diri menengok ke belakang, melihat sebuah ambulans yang baru saja tiba. Jasad Celine dimasukkan ke dalam ambulance, mungkin keluarganya masih berharap gadis itu dapat tertolong, mereka tak tahu Celine telah tiada, gadis kecil itu berdiri di samping ayahnya dengan wajah pucat, menatap tubuhnya sendiri.
Fisa tak ingin terlalu lama di tempat itu, ia menyeret langkahnya kembali pulang. Inilah salah satu alasan ia enggan keluar rumah, kejadian yang tak bisa diprediksi dan hanya bisa dilihat olehnya, Fisa membenci hal ini. Kakinya melangkah tergesa, beberapa kali menengok ke belakang, ada perasaan cemas jika makhluk-makhluk menyeramkan tadi mungkin saja mengikutinya, ia bisa merasakan aura makhluk jahat dari para jin itu, ia enggan terlibat dengan mereka.
“Ahh..” Fisa menabrak seseorang, mata keduanya bertemu. Saat itulah ia yakin semuanya telah aman, semuanya telah berakhir. Fisa menangis hebat dalam pelukan seorang lelaki yang menangkap tubuhnya tadi, lelaki itu mengusap rambutnya pelan, berusaha memberikan ketenangan.
...
Bismillah, semoga suka ya dengan cerita baru author... 😌🤭
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
Heri Wibowo
Assalamualaikum jumpa lagi kakak, sekarang kisahnya anak Tazkia ya.
2025-01-23
1
Werewolf hayho
Sepertinya menarik....next thooooor!!
2025-01-23
1