Perasaan mereka seolah terlarang, padahal untuk apa mereka bersama jika tidak bersatu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Flaseona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Can We? Episode 25.
...« Villa impian »...
“Ya ampun, ternyata dunia sempit banget, ya. Arasya pas masih sekolah kelihatan kayak gimana? Pasti ngeselin, ya? Dia di rumah tuh sukanya bikin emosi terus.” Cerocos Devan sok akrab.
Arasya, Dayon, Devan, Gavan, dan Senaza, kelima orang itu berakhir di ruang tamu kediaman Janala. Definisi dunia sempit telah mereka alami hari ini.
Devan sampai dibuat kaget saat tadi memutuskan keluar mobil untuk menghampiri Gavan yang mematung di taman. Devan tahu sebenarnya Gavan tidak menyukai kehadiran Dayon, yang menurut kakaknya adalah orang asing, tetapi apa boleh buat.
Dayon adalah arsitek dari perusahaan kontraktor yang menyediakan jasa kontruksi. Direkomendasikan oleh Devan, yang mana, lelaki tersebut sudah menyelam informasi tentang jasa itu karena permintaan Gavan.
Devan adalah orang pertama yang tahu bahwa Gavan akan membangun sebuah villa di salah satu daerah puncak terkenal. Bukan untuk sang kakak sendiri, melainkan untuk bocah yang sedang merengut menatap Devan.
“Apa?” tantang Devan mengejek Arasya.
Bibir gadis itu semakin mengerucut, ia dengan berani mengadu pada Gavan sehingga Devan mendapat teguran singkat dari sang kakak. Arasya tidak lagi merasa canggung dengan Gavan setelah keduanya pulang dari luar kota.
Arasya berani bersikap manja kepada Gavan karena lelaki tersebut selalu menjadikan Arasya nomor satu meski lawannya adalah pekerjaan Gavan sendiri.
“Kamu lihatkan, Dayon. Sukanya ngadu tuh. Jadi gimana? Eh, bentar.” Devan berbisik ke arah sang istri. “Yang, kayaknya si bocil haus. Sekalian tamunya.”
Kembali dituduh meskipun ia sedang diam di dalam dekapan Gavan, Arasya mengerang kesal. “Apasih! Aku enggak!” elaknya penuh emosi.
Dayon yang melihat pemandangan di depannya merasa terhibur, ia tertawa lirih. “Gak perlu repot-repot, Mas. Air putih aja gapapa.” Katanya yang langsung diangguki oleh Devan dan istrinya.
“Adek mau apa? Jus mau?” tawar Senaza.
“Emm, es krim boleh?” tanya Arasya, menatap Senaza dan Gavan secara bergantian.
“Dikit aja, Sen.” Jawab Gavan singkat. Kemudian ia mengangguk saat ditawari jus juga oleh Senaza.
“Oke deh. Yuk kembali ke laptop.” Kata Devan santai.
Dayon buru-buru membuka tasnya, lalu mengambil sebuah berkas yang berisi berlembar-lembar kertas.
“Ini desain lantai dua, kalau yang ini lantai satu, Mas. Boleh dipilih dulu, siapa tahu berubah pikiran, hehehe.” Dayon sudah tahu bahwa kliennya ingin rumah berlantai satu. Tetapi mana tahu jika melihat hasil desainnya mereka akan berubah pilihan, ‘kan?
Gavan dengan ekpresi datarnya mengambil selembar kertas yang menampilkan gambar sepetak tanah. “Mau yang mana, Dek?”
“Hah?” Arasya yang ditanyai kebingungan sendiri. “Kenapa tanya aku? Itu rumah Mas, ‘kan?”
“Mas minta pendapat kamu, siapa tahu Mas cocok juga.”
Devan menahan tawanya, ia akhirnya tahu kenapa Gavan tidak memberitahukan Arasya bahwa rumah yang akan dibangun kali ini adalah atas nama Arasya sendiri. Hanya ditanyai saja, Arasya sudah memberikan reaksi tidak mau. Apalagi diberitahu, pasti gadis tersebut akan langsung menolaknya.
“Kalau aku sih lantai satu aja.” Jawab Arasya lirih.
Gavan mengangguk, “lantai satu saja. Sesuai permintaan awal.” Ujarnya menatap Dayon.
Dayon tersenyum formal, “siap, Mas. Perihal desain rumah untuk lantai satu, hanya ada lima contoh. Ini, Mas. Dilihat dulu.” Ia kembali menyerahkan lima kertas ke tangan Gavan.
Arasya yang sepenuhnya bersandar ke tubuh Gavan, mencuri lirik ke arah kertas tersebut. Mulutnya terbuka sedikit, merasa kagum dengan desain rumahnya. “Keren.” Monolognya.
“Mas bingung, Dek. Enaknya yang mana, ya?” Gavan mulai memancing.
Tawa Devan pecah begitu saja, tak kuat menahannya karena melihat sang kakak sedang berjuang mati-matian.
“Apasih, Mas!” seru Arasya terkejut. Tidak ada hujan dan angin, kenapa tiba-tiba Devan tertawa? Aneh, batinnya mencibir.
“Dev.” Gavan kembali menegur adiknya. Membuat Devan mengangkat tangan sambil tertawa.
“Iya-iya.” Kata Devan mencoba damai. Tidak ingin ada ketiganya kalinya, Devan memutuskan untuk menyusul sang istri di dapur.
Sedangkan Gavan dan Arasya, sudah fokus lagi memilih desain. “Mas suka warna apa?” tanya Arasya.
“Suka semuanya.” Gavan menjawab dengan enteng. Tidak ada warna spesial untuk hal-hal yang berbau dekorasi, Gavan akan memilih acak sesuai fungsinya.
“Warna biru? Kata Mami, Mas suka warna yang adem.” Ucap Arasya sambil menunjuk satu kertas yang menampilkan desain rumah bagian depan.
“Kalau Adek? Suka warna apa?”
“Suka warna coklat muda? Kayak ini. Tapi bentuknya bagus yang ini tahu, Mas.” Arasya membandingkan dua desain.
Desain awal sesuai tipe Arasya dengan warna kesukaan Gavan. Yang kedua, hanya contoh warna kesukaan Arasya.
Gavan mengangguk mengiyakan. Melirik Dayon dan memberi sinyal agar mencatat semua yang dikatakan Arasya.
Dayon gelagapan, gugup karena masih ditatap bak seorang penjahat oleh kliennya. Ia segera mencatat semua ucapan Arasya tanpa bertanya lagi, karena sudah dijelaskan oleh Devan bahwa adik perempuan lelaki tersebut tidak tahu menahu tentang rumah ini.
“Emang villa kamu nanti beneran mau empat kamar, Dek?”
“Iya. Satu aku, satu Mami, satu Mas, satu Kakak. Mas Devan gak usah diajak.” Arasya menjawab dengan usil sebab Devan sudah kembali dari dapur. Membantu Senaza membawa sebuah nampan berisi beberapa minuman dan es krim pesanan si kecil.
“Oh gitu. Cukup tahu. Yang, es krimnya aku makan aja deh, ya. Katanya sih bocil tadi gak mau.” Devan seketika membalas kejahilan Arasya. Gadis tersebut langsung mengambil semangkuk es krim dengan cekatan. “Eh, itu punya Mas. Mohon dikembalikan.” Ucapnya tidak terlalu serius.
“Kakak, ini punya aku, ‘kan?” Senaza hanya mengangguk, tidak ingin membuat suasana semakin runyam. “Wle, Kakak aja iyain kok! Dasar jahat.”
“Dayon, diminum airnya. Kalau mau refill, bilang aja ya. Nanti Devan yang ambil. Saya tinggal beres-beres dulu.” Pamit Senaza setelah Dayon mengucapkan terima kasih.
“Kenapa gak tiga aja deh kamarnya? Empat tuh kebanyakan, Dek.” Devan langsung merubah topik. “Mami sendiri, kamu sama Mas Gavan, Mas sama Kakak. Biar luas nanti ruang tamunya. Cuma satu lantai aja jadinya, ‘kan?” lanjutnya memberi penjelasan.
“Ih, ya itu buat rumahku sendiri nanti. Kalau yang ini punya Mas Gavan, jadi ya terserah Mas Gavan, bukan aku.” Balas Arasya sembari mengambil jus jeruk milik Gavan untuk diserahkan ke pemiliknya.
Tetapi bukannya fokus kembali pada es krim di pangkuannya, Arasya justru menunggu Gavan meminum jusnya. Lalu spontan membuka mulut, sehingga Gavan yang peka segera mengalihkan gelasnya dan membantu Arasya meminum jusnya.
“Kamar tiga boleh, masing-masing ada kamar mandinya. Terus buat ruang keluarganya luas aja.” Putus Gavan sesuai pendapat Devan.
Dayon mengangguk, lalu mengajukan dua pilihan. “Oh iya, Mas. Tanah bagian belakang ini bisa dibuat kolam renang. Saya tinjau kemarin, aman banget lokasinya. Mau dijadiin taman aja atau ganti kolam renang, Mas?”
Gavan tersenyum, “tadi pendapat Mas Devan udah dipakai nih. Sekarang giliran Adek, mau ada taman atau kolam renang?” tanyanya dengan nada selembut sutra.
“Kolam renang!”
...« Terima kasih sudah membaca »...