Perasaan mereka seolah terlarang, padahal untuk apa mereka bersama jika tidak bersatu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Flaseona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Can We? Episode 29.
...« Mami sayang Adek »...
“Mas, kalau aku punya pacar. Apa pacarku juga bakal tinggalin aku?”
Pertanyaan tiba-tiba yang diajukan oleh Arasya membuat Devan termenung sesaat. “Tergantung. Kalau pacar Adek cinta banget, gak mungkin dia tinggalin Adek.” Jawab Devan santai.
Keduanya sedang menunggu Senaza berbelanja pakaian, dua manusia yang sudah lebih dulu kehabisan tenaga memilih untuk beristirahat mencari tempat duduk.
Arasya mengangguk-anggukkan kepalanya. Menghisap es krim yang dibeli setelah memaksa Devan agar mengizinkannya. “Kalau bukan pacar? Terus aku ditinggalin?”
Devan yang melamun sejak tadi segera menoleh pada Arasya. “Kenapa deh, Dek? Lagi mikir apa sih ini kok kayaknya berisik banget? Mas dimarahin sama Mami nih kalau tahu Adek gini.” Ujarnya sambil memijat pelan pelipis Arasya.
“Semua manusia itu, pasti selalu ada masa di mana mereka datang dan pergi, Dek. Semisal ada bayi lahir di sebuah keluarga, tetapi di keluarga lain, salah satu anggota keluarga mereka pergi dari dunia. Setiap hari kayak gitu, Adek, cuma kita gak tahu aja karena waktu dan tempatnya berbeda-beda.” Jelas Devan.
“Jadi aku ditinggalin?”
Devan mengangguk ragu. “Bisa dibilang begitu. Hal wajar manusia tinggalin kita, apapun alasannya, kita cuma perlu merelakan. Yang pergi, ya biar pergi. Kita bisa alihkan dengan menyambut yang baru datang. Ngerti, Dek?”
“Ngerti.” Kata Arasya singkat.
Setelah penyakit yang diderita Arasya kambuh lagi seperti terakhir kali, Arasya lagi-lagi tidak mengingat apapun. Mami mengajak Arasya memeriksakan diri ke rumah sakit. Kemudian dokter menganjurkan supaya Arasya tidak terlalu stress dan memberikan beberapa tablet obat yang menggunung. Yang tentunya tidak diminum oleh Arasya.
Hari ini adalah hari ke tujuh setelah kejadian itu. Arasya tidak dibiarkan sendirian, selalu ada sosok yang menemaninya. Kecuali Gavan.
Arasya entah kenapa merasakan sakit di dadanya setelah melihat Gavan. Sehingga ia memberitahukan hal tersebut pada sang Mami. Takutnya ada penyakit yang belum terobati.
Dan Mami, sebagai yang tertua memberi usul agar Gavan tidak mendekat pada Arasya sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Awalnya Arasya merasa bersalah, tetapi lama-kelamaan, ia merasa tentram. Tak ada lagi yang membuat dadanya sakit secara tiba-tiba. Ia merasa aman.
Saat keduanya memutuskan untuk berhenti bicara, ponsel Devan berbunyi yang menandakan ada telepon masuk. Devan buru-buru mengangkat telepon itu.
Arasya memandang raut wajah Devan yang berubah-ubah, dari ramah, terkejut, lalu panik.
“Dek, ayo.” Devan menggandeng Arasya dan menariknya untuk segera berjalan menuju tempat Senaza.
“Kenapa, Mas?” tanya Arasya.
“Mas...” Devan menghentikan ucapannya. “Yang, pulang dulu, yuk? Nanti lagi aku anterin ke sini. Mas--- Mas Gavan...”
...•••...
“Kok bisa sampai pingsan, Kay? Tapi Mas gapapa, ‘kan?” tanya Devan khawatir.
Fikaya adalah orang yang menelepon Devan menggunakan ponsel kakaknya. Memberi kabar bahwa Gavan dilarikan ke rumah sakit karena tidak sadarkan diri.
“Kata dokter kurang tidur sama dehidrasi, Dev. Makanya pingsan. Yang lain semuanya aman kok.” Jelas Fikaya sambil menggenggam tangan Gavan yang terdapat infus.
Pria tersebut masih belum bangun, bahkan sampai dipindahkan ke ruang VVIP pun, Gavan masih tidak membuka matanya.
“Aku kabarin Mami dulu deh.” Kata Devan sebelum dihentikan oleh Fikaya.
“Udah, Dev. Tadi udah aku kabarin kok. Tenang aja. Semuanya udah beres. Mungkin sebentar lagi Mami bakal dateng.”
Devan menghela nafas sejenak. Rasanya seperti ia belum bernafas sejak tadi. Ini pengalaman pertamanya mendengar Gavan tidak sadarkan diri. Seumur hidup, kakak laki-lakinya itu terbilang sangat kuat meski diterjang badai sakit sekali pun.
“Dek, sini, duduk.”
Arasya yang sejak tadi mematung di depan pintu, menggeleng menjawab ajakan Devan. “Aku ke luar boleh?”
Devan dan Senaza saling berpandangan, lalu mengangguk bersamaan. Dan Senaza memutuskan untuk ke luar juga sembari menemani Arasya.
“Adek gimana perasaannya?” tanya Senaza setelah keduanya duduk di kursi tunggu depan ruangan.
Entah. Arasya tidak merasakan apapun. Tidak ada yang ia rasakan selain hampa. Kekosongan yang semakin membuat rongga di dalam hatinya melebar. Apakah ini adalah hal wajar?
Awalnya mungkin tubuhnya bergetar tanpa perintah, tetapi setelah melihat Gavan tidak sendirian. Kondisi tubuhnya berangsur normal.
“Aku ngantuk, Kakak.” Jawab Arasya yang sepenuhnya tidak berbohong.
Senaza menarik Arasya untuk tidur dalam dekapannya. Lalu bercerita apapun yang membuat suasana antara keduanya tidak terlalu sunyi.
Arasya memeluk perempuan itu dengan erat, ia memejamkan matanya perlahan. Merasakan detak jantung Senaza sebagai melodinya.
Beberapa hari ini suasana hati Arasya naik turun tidak karuan. Membuatnya kelelahan walaupun Arasya tidak sedang melakukan apapun.
Menjadi prioritas utama dalam keluarga Janala ada sisi positif dan negatifnya. Sisi negatif inilah yang selalu dihindari Arasya tetapi tetap saja masih terjebak.
Arasya tidak ingin terlalu manja dan bergantung pada salah satu anggota keluarga tersebut. Ketakutan karena ditinggalkan menjadi salah satu momok terbesar dalam hidup Arasya.
Bagaimana jika kejadian orang tuanya terulang kembali? Bukan dalam konteks meninggalkan seperti orang tuanya, tetapi pergi karena menjalani kehidupan masing-masing. Akankah hidup Arasya sepenuhnya sendiri? Membayangkannya saja sudah membuat hatinya teriris.
Mami tak lagi mengurusnya, Devan dan Senaza tak lagi memberinya perhatian. Serta Gavan... Air mata Arasya menetes tanpa permisi, ia semakin mengeratkan pelukannya terhadap Senaza. Menyembunyikan tangisnya.
“Ya ampun, Kakak?! Adek kenapa?! Gapapa, ‘kan?!”
Teriakan Mami serta tangan beliau yang meraba kening Arasya, harusnya membangunkannya. Hanya saja Arasya tetap menutup matanya berpura-pura tertidur lelap.
“Gapapa, Mami. Adek lagi tidur. Yang kenapa-napa Mas Gavan, tuh di dalem sama Devan. Ada Fikaya juga.”
Mami menghela nafas panjang sekali. “Ya ampun, kenapa anak Mami semuanya suka banget bikin Mami jantungan. Biarin aja Mas, dia mah kuat. Sini biar Adek tidur sama Mami. Kamu ke dalem tanyain suamimu sama Fikaya udah makan belum.”
“Kita belum sempat makan tadi, Mi. Kalau Fikaya gak tahu. Aku tanyain deh. Mami udah makan belum? Sekalian beli aja, ya?”
Arasya berpindah tempat bersandar, berusaha untuk pelan kedua wanita itu saling berbisik.
“Iya beli aja, di kantin bawah. Gak usah dari luar.”
Senaza pun mengangguk patuh, lalu berpamitan dan Arasya mendengar suara pintu terbuka.
“Mami sayang banget sama Adek tahu. Gak ada yang boleh bikin Adek sakit sekali pun itu anak Mami. Adek jangan sakit lagi. Mami juga ikut sakit kalau Adek sakit. Mami janji akan selalu ada buat Adek. Jangan raguin sayang Mami ke Adek, ya? Kalau Adek nyuruh Mami pilih antara anak Mami atau Adek. Pasti Mami jawab Adek, Mami gak ragu pilih Adek. Jadi Adek jangan ngerasa sendirian, ya? Mami sayang, sayang, sayang banget sama Adek.”
Tangis Arasya pecah detik itu juga. Ketakutannya terjawab tanpa harus mengajukan pertanyaan.
“Lho, hee... Adek kok bangun? Mami berisik, ya?”
Benar. Ada Mami. Arasya tidak apa-apa ditinggalkan siapapun kecuali Mami.
...« Terima kasih sudah membaca »...