6 tahun mendapat perhatian lebih dari orang yang disukai membuat Kaila Mahya Kharisma menganggap jika Devan Aryana memiliki rasa yang sama dengannya. Namun, kenyataannya berbeda. Lelaki itu malah mencintai adiknya, yakni Lea.
Tak ingin mengulang kejadian ibu juga tantenya, Lala memilih untuk mundur dengan rasa sakit juga sedih yang dia simpan sendirian. Ketika kejujurannya ditolak, Lala tak bisa memaksa juga tak ingin egois. Melepaskan adalah jalan paling benar.
Akankah di masa transisi hati Lala akan menemukan orang baru? Atau malah orang lama yang tetap menjadi pemenangnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fieThaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6. Menghindar Perlahan
Lala sudah keluar dari apartment. Menyusuri jalan menuju tempat yang bisa membuatnya tenang. Dia merasa ada yang mengikutinya dari belakang. Bersikap biasa saja hingga sudah jauh dia berjalan suara langkah kaki terus mengikutinya. Dihentikannya langkah kaki. Memutar tubuhnya dan siapa yang dia lihat?
"K-kamu ngikutin aku?"
Telunjuknya sudah mengarah pada wajah dingin tersebut. Decihan terdengar samar. Pria itu malah melanjutkan langkahnya meninggalkan Lala. Senyum tipis pun terukir di wajah Lala.
Sekarang gantian Lala yang sedikit berlari mengejar pria itu. Belakang jaket pria itu mampu Lala raih hingga membuat langkahnya terhenti.
"Jawab pertanyaan aku? Atau aku lapo--"
Pria itu menunjuk ke arah minimarket yang berada tak jauh dari mereka berdiri sekarang. Wajah Lala mulai berubah dan tangannya segera dia turunkan. Pria itu kembali melanjutkan langkahnya dan terdengar gerutuan yang dia keluarkan.
"Percaya diri sekali."
.
Pertemuan mereka yang tanpa disengaja terus berlanjut. Baik di lift atau di sekitaran apartment. Namun, keduanya seperti orang asing. Tak saling sapa. Terlebih sikap pria itu begitu dingin.
Hingga di hari keenam Lala berada di Singapura, dia tak melihat pria itu lagu. Biasanya minimal satu kali mereka bertemu.
"Ke mana dia?"
Setelah lima hari berturut-turut bertemu dengan pria itu, rasa penasaran mulai bersarang. Lala meyakini jika pria berwajah datar dan dingin tersebut berusia sedikit jauh darinya. Wajahnya terlihat seperti pria matang. Feeling Lala juga mengatakan jika dia bukan orang sembarangan.
"Berasa ada di rumah Daddy kalau liat tuh orang." Senyum pun hadir di wajahnya. Seketika bayang wajah Devan hilang dan berganti dengan wajah pria bak papan bangunan.
.
Begitu malas untuk bangkit dari tempat tidur. Tapi, hari ini Lala harus kembali ke Jakarta. Masa cutinya telah habis. Mengambil ransel yang sudah ada di sofa dan pergi meninggalkan negara yang sudah memberikan sedikit ketenangan.
Pikirannya sudah tenang walaupun hatinya masih perih. Sekarang ini yang Lala pikirkan bagaimana menghadapi Devan. Dia ingin melupakan Devan dan sudah menyerah dengan perasaannya.
Baru saja mengaktifkan ponsel karena sudah tiba di Jakarta, notifikasi pesan mulai ramai masuk ke ponselnya. Pesan terbanyak dari Devan. Lala masuk ke kedai kopi yang ada di bandara. Mulai membuka pesan yang Devan kirimkan. Belum lagi panggilan darinya yang lebih dari lima puluh kali.
La, lu di mana?
Kenapa gak aktif?
La, gua khawatir.
Senyum kecil terukir ketika membaca tiga pesan teratas. Tapi, semakin ke bawah pesannya membuat hati Lala begitu sakit.
La, gua seneng banget bisa jalan berdua sama Lea.
Lu tahu enggak, gua sempet overthinking sama cowok yang nelpon Lea. Gua kira cowoknya ternyata hanya tetangga kosan.
Senangnya gua bertambah berkali-kali lipat ketika dia bilang kalau dia belum punya cowok. Berasa pengen salto dan pengen cepet-cepet confess perasaan gua ke dia.
"Definisi bahagia di atas penderitaan orang lain," gumamnya dengan suara yang begitu lirih.
Lala menundukkan kepala. Mengatur napasnya agar bulir bening tak keluar lagi. Sudah dia akhiri kesedihannya. Getaran ponsel membuat kesedihan itu mulai teralihkan. Nama sang adik yang ada di sana.
Alfa sudah menjemput Lala dengan menggunakan mobil. Tak ada pembicaraan apapun. Bukannya menuju rumahnya, Alfa malah mengajak Lala ke sebuah kafe. King kafe, namanya.
"Gua gak lapar."
"Kopi di sini enak. Lu mesti coba."
Lala mengikuti saja. Desain kafenya sangat menarik dan sangat nyaman. Alfa terlihat begitu akrab dengan pegawai kafe tersebut.
"Nih!"
Alfa sudah memberikan es kopi latte yang Lala suka. Kursi di samping Lala sudah Alfa tarik dan dia duduki.
"Gimana? Enak kan?"
Lala mengangguk dengan mata yang berbinar. Senyumnya seketika mengembang.
"Ini tempat gua biasa nongkrong."
"Kok lu gak bilang ke gua kalau ada tempat sebagus ini?" Lala mulai menghardik sang adik.
"Ngapain? Yang ada lu malah ganggu gua."
"Siyalan!"
Alfa pun tertawa. Sengaja dia mengajak Lala ke king kafe karena di rumah ada seseorang yang sedang menunggu kakaknya. Tanpa Lala bercerita, Alfa sudah tahu semuanya.
Lala mengerutkan dahi ketika makanan sudah diantarkan pelayan. Menatap tajam ke arah Alfa.
"Sekenyang-kenyangnya perut lu, pasti gak akan nolak sama makanan ini."
Alfa menyuapi sang kakak dan tubuh Lala seketika mematung. Sang adik menanti kalimat dari Lala.
"Kok bisa seenak ini?"
"Gua bilang apa kan."
Cara sederhana yang bisa Alfa lakukan untuk Lala membawanya ke tempat nyaman yang dipenuhi makanan enak. Mengalihkan hati sang kakak yang terluka dengan makanan yang sangat Lala suka. Kafe itu seperti memanjakan lidah Lala. Sampai semua makanan dia pesan dan tidak ada yang gagal.
"Kayaknya akan jadi tempat nongkrong gua juga nih," ujar Lala masih sambil mengunyah.
"Asal jangan ganggu gua aja."
"Idih! Pede gila!"
.
"Devan baru aja pulang."
Suara sang mama menyambut kedatangan Lala. Hanya kata oh yang menjadi jawaban.
"Lala ke kamar ya, Ma. Udah kenyang mah larinya ke mata."
Menghindari cerita sang mama perihal Devan itulah yang Lala lakukan. Dia segera merebahkan tubuh di kasur yang sangat dia rindukan. Matanya kini tertuju pada langit-langit kamar.
"Pelan-pelan kali ya menghindarinya biar enggak terlalu kentara."
Sesuai dengan gumaman Lala semalam, dia mulai menghindari Devan yang dia tahu sudah ada di kampus. Motor lelaki itu sudah ada di barisan parkiran.
Biasanya Lala akan menuju kantin sebelum masuk kelas, tapi mulai hari ini dia tidak akan melakukan itu. Belajar menghapus kebiasannya dengan Devan.
"Lala!"
Mata Lala terpejam untuk sesaat. Sedang menghindari, malah dipanggil oleh orangnya. Suara langkah orang berlari terdengar jelas.
"La, lu ke mana aja?"
Mata Lala kini tertuju pada tangan Devan yang mulai meraih tangannya. Perlahan, Lala melepaskan tangannya dari genggaman tangan lelaki yang ada di hadapannya. Mimik wajah Devan seketika berubah.
"Gua liburan sebentar buat ngerefresh pikiran," jawab Lala dengan senyum yang tak seindah sebelumnya.
Devan merasakan keanehan dari sikap Lala. Perempuan itu tak seperi biasanya. Baru saja hendak membalas ucapan Lala, teman sekelas Lala sudah memanggil.
"Sorry ya, Van. Kelas gua udah mau mulai."
Memutar tubuh menjauhi Devan. Matanya tiba-tiba perih dan tangannya mengusap kasar bulir bening yang sudah terjatuh.
"Cengeng banget sih," gumamnya dengan senyum yang coba dia lengkungan.
Tibanya di dalam kelas hanya kursi paling depan tepat di depan meja dosen yang kosong. Mau tidak mau Lala harus duduk di sana.
"Selamat pagi!"
Suara yang lain dari biasanya membuat Lala mengarahkan pandang ke arah pintu kelas. Seketika matanya melebar ketika seorang yang dia kenal sudah berjalan ke arah meja dosen meletakkan tasnya di sana. Manik mata mereka bertemu untuk sesaat.
"Perkenalkan saya Brian King Atlanta, dosen pengganti di kelas ini selama dua semester ke depan."
...*** BERSAMBUNG ***...
Setelah baca jangan lupa dikomen ya sebagai dukungan untuk karya ini
mkasih Thor Uda double up.....
semoga up lagi
semangat
ayok susul kebandung la sekalian ketemu dewa sama lea
lanjut lgi ya Thor penasaran SMA crita Lala SMA PK dosen
semangat thor
kena mental kagak tuch si Devan 😃😃😃