Tak kunjung garis dua, Inara terpaksa merelakan sang Suami untuk menikah lagi. Selain usia pernikahan yang sudah lima tahun, ibu mertuanya juga tak henti mendesak. Beliau menginginkan seorang pewaris.
Bahtera pun berlayar dengan dua ratu di dalamnya. Entah mengapa, Inara tak ingin keluar dari kapal terlepas dari segala kesakitan yang dirasakan. Hanya sebuah keyakinan yang menjadi penopang dan balasan akhirat yang mungkin bisa menjadi harapan.
Inara percaya, semua akan indah pada waktunya, entah di dunia atau di akhirat kelak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Oktafiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17. Keyakinan Nara
Sesaat setelah membaca pesan yang dikirim Nara, jantung Arjuna bagai berdetak tak karuan. Entah mengapa tiba-tiba begitu. Atau mungkin karena Nadya sedang ada di ruangan yang sama bersamanya.
Pesan itu dikirim dua jam yang lalu dan sekarang, waktu sudah menunjukkan pukul delapan waktu setempat. Baru sehari takkan berjumpa, Arjuna sudah sangat merindukan Nara.
Namun, yang menjadi buah pikiran di kepalanya adalah, telepon sang Mama yang berakhir baru saja. Beliau mengatakan jika Nara pergi dari rumah tanpa berpamitan pada Mama. Benarkah? Rasanya, Arjuna tidak bisa percaya begitu saja dengan ibunya. Arjuna kenal Nara dengan baik dan istrinya itu tidak akan melakukan hal tersebut.
Arjuna:
Waalaikumsalam, Ra. Iya. Semoga hari-hari di sana menyenangkan ya. Mas sudah tidak sabar ingin menemui kamu.
Pada akhirnya, ungkapan rindu itu keluar. Entah Nara akan percaya atau tidak karena saat ini Arjuna sedang bersama istri yang lainnya. Namun, Arjuna tidak peduli sekalipun Nara menganggap ungkapan rindunya hanya bualan semata.
"Mas? Kenapa sejak tadi melamun sih?" tanya Nadya yang sudah beranjak setelah semula duduk di kursi rias untuk mempercantik diri. Ketika Arjuna melihat ke arahnya, istrinya itu sudah mengenakan pakaian dinas yang minim bahan.
Tidak ada yang salah dari hal tersebut. Tetapi, rasanya sangat canggung dan Arjuna belum terbiasa melihat Nadya seperti itu. Jika Nara yang melakukannya, mungkin akan dengan senang hati Arjuna menggauli.
Astaghfirullah! Arjuna menyebut dalam hati ketika yang ada dalam pikirannya justru Nara. Padahal, Nadya lah yang kini sedang berada di hadapan.
"Tidak. Aku hanya masih merasa lelah," jawab Arjuna berbohong.
"Kamu... Kenapa pakai pakaian seperti itu? Kita belum sholat isya loh," ucap Arjuna berusaha tidak menyinggung perasaan Nadya.
Nadya pun menunduk menatap tubuhnya sendiri kemudian mendongak lagi. "Mas tidak suka ya?" tanya Nadya dengan wajah murungnya.
Arjuna menggeleng. "Suka. Hanya saja, ini kan kita belum sholat. Sebaiknya kita sholat dulu baru bisa melakukannya," jawab Arjuna lagi lalu menghela napasnya pelan.
Beruntung, raut kecewa yang ditunjukkan Nadya tidak berlangsung lama. Dia segera melapisi pakaian kurang bahan itu dengan celana panjang training dan kaos. "Aku wudhu dulu ya, Mas," pamit Nadya yang segera menghilang di balik pintu.
Ya. Selama menjadi istrinya, Arjuna selalu memaksa Nadya untuk melakukan sholat. Walau saat ini dia belum bisa membuat istrinya itu berhijab, setidaknya Nadya sudah melaksanakan sholat lima waktunya.
Tidak berapa lama, Nadya kembali dengan wajah yang basah. "Pakai mukenah kamu," titah Arjuna yang segera dilakukan oleh Nadya. Karena Arjuna masih memiliki wudhu, sholat pun segera didirikan secara berjamaah.
...----------------...
Sang Surya kembali menampakkan diri. Membangunkan para penduduk bumi untuk segera meraih mimpi.
Nara menghembuskan napasnya lega setelah menyelesaikan acara memasaknya. Dia tersenyum menatap deretan makanan yang telah tertata di atas meja.
Melihat ayahnya yang masih sibuk mengobrol bersama salah satu orang kepercayaan ayahnya, Nara berniat mengajak orang tersebut untuk sekalian ikut sarapan.
Ya. Ayahnya memiliki usaha perkebunan teh yang jaraknya tidak jauh dari rumah tempat tinggal. Mungkin sekitar dua puluh hektare lahan yang dimiliki ayahnya. Oleh karena itu, beliau tak bisa mengurusnya sendirian.
"Yah? Sarapannya sudah jadi," ucap Nara memberitahu dengan masih berdiri di ambang pintu.
Dua pria yang kini sedang terlibat pembicaraan serius, serempak menoleh ke arahnya. Nara sempat terkejut ketika melihat jika sosok pria yang saat ini bersama ayahnya adalah pria sama yang pernah melamarnya.
"Assalamu'alaikum, Nara. Kamu sedang berada di sini? Datang kapan?" tanya Mas Pras terkejut. Namun, binar bahagia di matanya tak mampu berbohong.
"Waalaikumsalam, Mas. Iya, aku datang kemarin," jawab Nara seperlunya dengan mata yang enggan menatap lawan bicaranya. Tidak seharusnya Nara menatap dengan bebas seseorang yang bukan mahramnya.
"Ayo! Kamu ikut sarapan bersama kami saja," ajak Pak Bahar yang kini telah beranjak dari kursi rotan yang semula menjadi tempat duduknya.
"Loh, tidak apa-apa jika saya ikut sarapan, Pak?" tanya Pras heran.
"Tidak apa-apa. Kebetulan juga Nara masak banyak pagi ini. Ayo masuk," pinta Pak Bahar dan Nara memberikan jalan agar dua pria beda generasi itu masuk lebih dulu.
Setelah masuk, Nara tidak menutup pintu rumah dan justru Membukanya lebar-lebar. Dia hanya takut orang-orang akan membuat asumsinya sendiri hingga menimbulkan fitnah.
"Yah? Nara sarapan sebentar lagi ya? Ada yang harus Nara kerjakan dulu," izin Nara yang sebenarnya hanya alasan. Dia tidak nyaman bila dalam meja makan ada seorang pria yang bukan mahram. Apalagi, Nara mengetahui jika dulu Mas Pras pernah ingin meminangnya. Nara hanya ingin menjaga dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Seakan paham dengan isi kepala sang Putri, Pak Bahar mengangguk menyetujui. "Iya. Kerjakanlah dulu," ucap beliau mempersilahkan.
Nara pun berlalu dari sana. Pras yang berada di meja makan, hanya bisa memandangi punggung Nara yang berjalan menjauhinya. Dia cukup merasa jika Nara sedang menghindari dirinya.
Namun, Pras sudah tidak lagi heran. Memang sejak dulu Nara selalu menjaga jarak pada lawan jenis. Itulah mengapa dulu Pras pernah menaruh rasa dan bermimpi jika Nara menjadi isterinya.
Ehem.
Deheman itu membuat Pras terlonjak karena kedapatan sedang menatap Nara. "Jaga pandangan dengan baik. Nara sudah bersuami dan tidak seharusnya kamu menatap Nara dengan pandangan seperti itu." Pak Bahar memperingati tingkah laku Pras.
Pras menundukkan kepala dalam. "Maafkan saya, Pak. Saya memang salah," sesal Pras lalu menghela napas pelan.
Sedangkan Nara yang kini berada dalam kamar, memilih untuk melaksanakan sholat dhuha. Jam tujuh sudah masuk waktu dhuha dan Nara tidak ingin melewatkan kesempatan tersebut.
Nara beribadah siang malam bukan karena agar masuk surga. Melainkan untuk mengetuk hidayah Tuhan agar dia dimatikan dalam keadaan khusnul khatimah juga dalam keadaan beriman.
Karena sebenarnya, Nara merasa gagal hidup di dunia setelah apa yang menimpa dirinya. Yaitu, tak kunjung memiliki anak hingga di poligami.
Setidaknya ketika Nara mati, dia akan mendapat tempat yang layak di akhirat kelak. Jangan sampai Nara gagal di dunia juga di akhirat. Sungguh, Nara akan menjadi manusia yang rugi.
"Ya Allah. Aku percaya jika saat di dunia aku tak memiliki anak, semoga di surga-Mu kelak, aku bisa menimang sosok malaikat kecil itu." Nara berucap ketika sholatnya telah selesai. Dia tidak akan berhenti berdoa dan memasrahkan hidup kepada Sang Pemilik alam semesta.
Selagi Nara masih hidup, dia akan terus berusaha.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...mampir juga kesini yuk 👇👇👇...