" Kamu adalah alasan kenapa aku mengubah diriku, Gus. Dan sekarang, kamu malah mau meninggalkan aku sendirian?" ujar Raya, matanya penuh dengan rasa kecewa dan emosi yang sulit disembunyikan.
Gus Bilal menatapnya dengan lembut, tapi tegas. "Raya, hijrah itu bukan soal aku atau orang lain," ucapnya dengan suara dalam. "Jangan hijrah karena ciptaan-Nya, tetapi hijrahlah karena Pencipta-Nya."
Raya terdiam, tetapi air matanya mulai mengalir. "Tapi kamu yang memotivasi aku, Gus. Tanpa kamu..."
"Ingatlah, Raya," Bilal memotong ucapannya dengan lembut, "Jika hijrahmu hanya karena ciptaan-Nya, suatu saat kau akan goyah. Ketika alasan itu lenyap, kau pun bisa kehilangan arah."
Raya mengusap air matanya, berusaha memahami. "Jadi, aku harus kuat... walau tanpa kamu?"
Gus Bilal tersenyum tipis. "Hijrah itu perjalanan pribadi, Raya. Aku hanya perantara. Tapi tujuanmu harus lebih besar dari sekadar manusia. Tujuanmu harus selalu kembali kepada-Nya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sha whimsy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu Ayah?
Pukul 12:00 Raya baru saja pulang dari sekolah. Hari ini adalah hari kedua ujian, dia berjalan santai dengan kedua temannya yaitu Aqila dan Laras.
"Bay ketemu lagi besok, " Kata Laras dan Aqila saat dipersimpangan karena mereka akan berbelok ke kanan sedangkan Raya ke kiri.
Raya jalan sendirian, saat sedang berjalan tiba-tiba ada motor yang tak sengaja menyerempet nya. " Woi gimana si lo?! " Kata Raya dengan marah.
"Sorry mbak, makanya kalo jalan jangan di tengah tengah, " Kata seorang pria itu malah menyalahkan Raya.
"Heh kok lo malah nyalahin gue, " Sentak Raya.
Raya menatap pria itu tajam, merasa kesal dan tak terima disalahkan. Pria tersebut, yang tampak goyah di atas motornya, balas menatap dengan pandangan kosong dan mata agak merah. Jelas terlihat kalau ia tidak sepenuhnya sadar.
"Sudah, ya! Daripada ribut di sini, mending lo jalan yang bener, biar nggak ada yang kena sial kayak gue!" Raya berkata tegas, mencoba menjaga jarak.
Pria berambut gondrong dan berantakan itu menatap Raya dari atas sampai bawah.
"Cantik, " Gumannya. Raya sendiri menjadi risih dengan tatapan itu. Dengan sempoyongan pria itu turun dari motor nya dan berjalan mendekati Raya.
"Mau apa lo? " Kata Raya berjaga-jaga.
" Menarik, " Katanya dengan senyum devil.
Raya merasa jantungnya berdetak lebih cepat, rasa tidak nyaman semakin menjalar ketika pria itu semakin mendekat dengan langkah yang tidak stabil namun jelas berniat menghampirinya. Ia meremas tali tasnya erat, menyiapkan diri untuk berjaga-jaga.
"Mau apa, sih, lo?" ucap Raya sekali lagi dengan nada tegas, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.
Pria itu hanya tertawa kecil, senyum licik tetap terpampang di wajahnya. "Cuma pengen ngobrol, kok. Sini, jangan takut..."
Raya merasa bahaya semakin mendekat. Tanpa pikir panjang, dia melangkah mundur sambil memerhatikan sekeliling, berharap ada orang lewat yang bisa membantunya.
"Eh, udah cukup ya, jangan deket-deket gue!" teriak Raya, berharap bisa mengusir pria itu.
Bukan pergi dia malah semakin mendekat. Raya merasa panik saat tangan pria itu terulur dan menyentuh kepalanya, membuat bulu kuduknya berdiri. “Kenapa buru-buru? Kita bisa bermain sebentar, kan,” ucap pria itu dengan nada yang membuatnya semakin merasa terancam.
Raya mencoba mundur, tetapi pria itu memegangnya erat. Rasa takut mulai menguasai dirinya, tetapi dia tidak ingin menyerah begitu saja. Dia berusaha memberontak, namun kekuatannya kalah jauh dibandingkan pria itu.
"Jangan sentuh gue!" Raya berteriak dengan sekuat tenaga, berharap seseorang mendengarnya.
Tepat saat itu, terdengar suara langkah kaki mendekat dengan cepat. "Lepasin dia!" teriak seseorang dari kejauhan.
Pria itu menoleh, terlihat panik sejenak sebelum akhirnya melepaskan genggamannya pada Raya. Tanpa menunggu lebih lama, dia segera berlari menjauh, meninggalkan Raya yang kini terduduk lemas di tempatnya.
Orang yang menolongnya, seorang pria paruh baya dengan raut khawatir, segera menghampiri. "Kamu nggak apa-apa?"Raya mengangguk, meski tubuhnya masih gemetar. "Terima kasih... kalau tadi nggak ada bapak, saya nggak tahu gimana jadinya."
"Sudah, yang penting kamu aman sekarang. Ayo, bapak antar kamu pulang," katanya dengan lembut, membantu Raya berdiri.
Saat menatap wajah Raya, pria itu terdiam sejenak, tampak terpana. "Kenapa wajahnya mirip sekali dengan anakku?" batinnya.
Raya melihat pria paruh baya itu, yang memakai kacamata hitam. Tiba-tiba, pria itu menyadari name tag di seragam sekolah Raya.
"Raya... kamu Raya?" tanyanya penuh harap.
"Iya, Pak. Ada apa?" tanya Raya bingung, merasa aneh dengan reaksi pria itu.
Pria itu tersenyum kecil, lalu berkata dengan suara bergetar, "Raya Altaresha... anakku."
Raya tertegun, rasa bingung dan terkejut tercampur di hatinya. Pria itu membuka kacamata hitamnya, menatapnya dengan penuh penyesalan dan harapan. Saat itulah Raya mengenali siapa pria itu—sosok yang telah menghilang bertahun-tahun, yang pernah menghancurkan kepercayaan dan harapannya. Sosok yang telah membuatnya merasa kecewa dan terluka.
Hatinya berdebar, ingin meluapkan kerinduan yang selama ini terpendam. Namun, ego dan rasa sakit menahannya. Dalam pikirannya, ia teringat luka yang pernah dibuat oleh pria itu.
Seketika wajahnya menjadi datar. "Maaf seperti bapak salah orang, " Kata Raya tanpa menatap pria itu.
Pria itu tampak tersentak, tetapi tak menyerah. "Reshaa... Ini ayah, Ayahmu."
Deg, mendengar nama panggilan itu jantung nya berdebar tapi dia langsung mengendalikan ekspresinya.
"Kamu Raya Altaresha kan? Resha anak ku? " Pria itu menatapnya dengan tatapan memohon.
"Iya benar itu memang nama lengkap saya, tapi saya bukan anak bapak. Maaf pak mungkin bapak salah orang, " Kata Raya dengan suara tenang namun tegas.
Dia berbalik, mencoba melangkah pergi, meninggalkan pria itu yang tampak terpukul. Raya merasa perih di hatinya, tetapi ia terus berjalan, menyembunyikan luka dan rasa kecewanya yang selama ini ia simpan rapat-rapat.
Sesampainya di rumah, Raya menarik napas panjang, berusaha menetralkan ekspresi wajahnya yang masih menyimpan sisa-sisa emosi. Dia tahu, jika ada sedikit saja tanda kegelisahan, Bundanya pasti akan langsung menyadarinya. Raya tak ingin menambah beban pikiran Bundanya yang sudah cukup sibuk dan lelah.
Ia melangkah masuk dengan senyum tipis yang dipaksakan, lalu meletakkan tasnya di kursi dekat pintu. “Assalamualaikum, Bun,” sapanya dengan suara ceria, mencoba sekuat mungkin menutupi kegundahan di hatinya.
Bundanya, yang sedang sibuk di dapur, menyambutnya dengan hangat. “Waalaikumsalam, Nak. Gimana ujian tadi? Lancar?”
“Alhamdulillah lancar, Bun,” jawab Raya sambil tersenyum. Dia berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang dan santai, seolah tak ada yang mengganggunya. Tapi dalam hatinya, pertemuan dengan pria tadi masih membekas, membuatnya merasa campur aduk.
Tanpa sadar, ia menguatkan diri untuk menyimpan rahasia itu, setidaknya untuk saat ini. Raya tahu, belum siap membuka kembali luka lama yang mungkin bisa mengguncang perasaannya dan Bundanya.
Hariscandra Altar duduk di sudut kamarnya, menatap foto seorang gadis kecil yang pernah ia gendong dengan penuh kasih. Senyum di wajah anak itu, dengan mata berbinar yang menatap penuh kepercayaan, menyayat hati Haris. Tangan gemetar, ia mengusap foto itu, merasakan setiap kenangan yang dulu membuat hidupnya penuh warna.
"Resha... maafkan Ayah," lirihnya dengan suara bergetar.
Haris tahu, segala kesalahan dan keputusannya di masa lalu telah menghilangkan kesempatan untuk bersama putri kecilnya. Dan kini, meski berusaha kembali, ia sadar bahwa tidak mudah memulihkan kepercayaan yang telah rusak. Namun, cinta seorang ayah tak pernah padam. Haris hanya bisa berharap, di suatu saat nanti, Raya atau Resha yang ia kenal dulu, bisa memberinya kesempatan kedua.
Haris terus menatap foto itu, matanya berkaca-kaca, mengingat setiap momen kecil yang dulu sering ia abaikan. Teringat tawa kecil Resha saat ia mengajaknya bermain, tatapan polosnya yang selalu mengharap perhatian, dan kata-kata manisnya yang membuat hari-harinya cerah. Semua itu kini hanya bayangan.
"Putri ku sudah besar. Wajah mu mirip banget dengan ayah, walau kamu membenci nya, "
Haris menarik napas panjang, merasa getir dengan kenyataan bahwa putrinya kini mungkin menganggapnya sebagai sosok asing—atau bahkan musuh. Ia tahu, banyak hal yang tidak bisa ia jelaskan pada Raya, dan kebencian itu tumbuh seiring waktu karena kepergiannya yang mendadak.
“Resha, kamu bahkan tidak tahu betapa miripnya kita. Bukan cuma wajah, tapi juga keras kepala dan sikap kamu yang teguh,” gumamnya sambil tersenyum pahit.
Ia menyadari, hubungan mereka tak akan mudah dipulihkan. Bagaimana bisa ia berharap Raya menerima dan memaafkannya begitu saja? Tapi di dalam hatinya, ia menyimpan keyakinan bahwa suatu hari Raya akan memahami alasannya. Haris menatap foto itu sekali lagi, berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan melakukan apa pun yang bisa dilakukan untuk menebus semua kesalahannya.
“Walaupun kamu membenci Ayah sekarang, Ayah akan terus ada di sini… menunggu dan berharap kamu bisa memaafkan,” ucapnya pelan, seolah berbicara langsung kepada putrinya di foto itu.
Raya menatap liontin berbentuk hati itu dengan mata berkaca-kaca, merasakan beban yang selalu menghimpit hatinya setiap kali mengingat sosok ayahnya. Meski telah berusaha melupakan, kenangan itu tetap saja menghantui, seperti bayang-bayang yang tak pernah benar-benar hilang.
“Kenapa harus seperti ini…” bisiknya pelan, suaranya nyaris tak terdengar.
Dia ingat betul saat ayahnya memberikannya liontin itu di ulang tahunnya yang kelima. Dengan senyum hangat, ayahnya berkata bahwa liontin itu adalah simbol kasih sayang yang tak akan pernah pudar. Tapi kini, simbol kasih sayang itu malah terasa seperti beban yang sulit dilepaskan.
Raya menutup matanya, membiarkan air mata mengalir tanpa suara, merasakan rasa sakit dan rindu yang bercampur jadi satu. Di dalam hatinya, masih ada setitik harapan—harapan bahwa mungkin suatu hari, dia bisa mengerti alasan di balik kepergian ayahnya dan membiarkan luka ini sembuh.