Luna merupakan anak pertama Raihan Wicaksono yang berusia 23 tahun, dia bekerja pada di kantor swasta sebagai kepala divisi penjualan. Meskipun ayahnya adalah seorang Ahli Bioteknologi dia sama sekali tidak mewarisi bidang pekerjaan ayahnya.
Luna berkhayal bahwa dia ingin mempunyai suami yang di dapat dari rekanan ayahnya seperti kebanyakan film yang dia tonton, sampai pada akhirnya dia ikut ayahnya bekerja dan bertemulah Luna dengan Renzo anak dari rekan bisnis ayahnya. Usia mereka terpaut lebih dari 10 tahun, Luna langsung jatuh hati begitu melihat Renzo. Tapi tidak pada Renzo, dia sama sekali tidak tertarik pada Luna.
"Itu peringatan terakhirku, jika setelah ini kamu tetap keras kepala mendekatiku maka aku tidak akan menghentikannya. Aku akan membawa kamu masuk ke dalam hidupku dan kamu tidak akan bisa keluar lagi," ancaman dari Renzo.
Cegil satu ini nggak bisa di lawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YPS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18
Renzo duduk di kursi tunggu yang ada di depan Unit Gawat Darurat. Tangannya masih sedikit bergetar, dadanya naik-turun dengan napas berat. Matanya terus tertuju ke pintu ruang UGD, tempat Luna sedang dirawat setelah kejadian mengerikan dengan Ivan.
Johan berdiri di sebelahnya, diam. Tidak ada kata-kata yang bisa diucapkan. Malam itu terasa begitu panjang, begitu mencekam.
Tiba-tiba, suara langkah tergesa terdengar. Renzo mendongak, dan melihat keluarga Luna datang. Ayah Luna, Raihan Wicaksono, langsung menghampiri dengan wajah merah padam.
“Kamu!” suara Raihan menggema di lorong rumah sakit, tangannya menahan agar tidak memukul Renzo.
“KENAPA INI BISA TERJADI?!” teriak Raihan, suaranya penuh kemarahan dan kekecewaan.
Mama Luna, yang ikut datang, langsung menahan suaminya. “Pa, sudah! Ini rumah sakit!”
“Dia yang membawa anak kita ke dalam masalah ini!” seru Raihan lagi, masih menatap Renzo dengan penuh amarah. “Luna terluka! Dan semua ini karena dia!”
Renzo hanya diam. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi semuanya tertahan di tenggorokannya. Yang ada hanya rasa bersalah yang menggerogoti dirinya.
Raihan masih ingin menyerangnya, tetapi Johan segera berdiri di antara mereka.
“Tuan, ini bukan waktunya untuk saling menyalahkan,” ujar Johan dengan tegas. “Tuan Renzo juga terluka. Kami sudah melakukan yang terbaik untuk melindungi Nona Luna.”
Raihan mendengus, masih penuh emosi. “Aku tak peduli. Jika sesuatu terjadi pada Luna, aku takkan pernah memaafkan kalian.”
Renzo menunduk. Dia tahu, di mata Raihan, dia adalah penyebab penderitaan Luna. Dan mungkin... dia memang benar.
.
Setelah keadaan sedikit mereda, Renzo meninggalkan rumah sakit dengan langkah berat. Malam itu terasa begitu dingin, tetapi bukan udara yang membuatnya menggigil.
Begitu sampai di mansion, tubuhnya mulai bereaksi. Jantungnya berdebar tak beraturan, keringat dingin mengalir di pelipisnya, dan rasa sakit yang familiar menyerang kepalanya.
Dia jatuh terduduk di lantai. Kedua tangannya mencengkram dadanya, memukul-mukulnya agar sakit itu mereda.
“Renzo!”
Maharani berteriak, di bantu oleh beberapa asisten rumah tangganya untuk membawa Renzo masuk. Kegaduhan itu mencuri perhatian Adrian, dia berjalan cepat keluar melihat keadaan.
Napas Renzo masih berat, tetapi perlahan-lahan tubuhnya mulai tenang. Sang ibu menggenggam tangannya erat. Matanya berkaca-kaca melihat kondisi putranya yang seperti ini lagi.
“Kamu harus berhenti menyiksa diri seperti ini, Nak,” ucapnya lirih.
Adrian menatapnya tajam. “Apa aku harus menarikmu dari kehidupan itu?”
Renzo menggeleng lemah. “Tidak... aku tidak bisa meninggalkan Luna.”
“Lihat dirimu sekarang!” Adrian mendengus frustrasi. “Kamu jatuh seperti ini karena wanita itu! Renzo, kami hanya ingin yang terbaik untukmu! Kami sudah berusaha bertahun-tahun untuk menyembuhkanmu.”
Renzo menutup mata, mencoba mengatur napasnya. “Luna... adalah satu-satunya yang bisa membuatku merasa hidup.” tak berhenti di situ Renzo menatap Adrian lekat. "Jangan lupa semua ini terjadi karenamu!"
Setelah itu tubuh kekarnya melemah di sofa, dia tidak sadarkan diri sebelum dokter pribadi mereka datang untuk melihat keadaan Renzo.
.
Ruangan serba putih yang ada di lantai tiga mansion itu, terasa sunyi. Setelah serangan paniknya tadi, tubuhnya masih terasa lemas. Dia berbaring di ranjang dengan tatapan kosong menatap langit-langit.
Suara langkah kaki memasuki ruangan. Seorang pria paruh baya dengan jas putih dan mata penuh pengalaman berdiri di hadapannya. Renzo membenci siapapun dalam keadaan seperti ini.
dr. Kusuma, Sp. KJ salah satu psikiater terbaik di kota itu datang untuk menangani Renzo.
“Renzo,” panggilnya pelan, tetapi cukup tegas. “Aku sudah mendengar semuanya dari pengawalmu, Johan. Tentang apa yang terjadi.”
Renzo hanya menoleh sedikit, ekspresinya tetap kosong.
Dokter melanjutkan, “Aku tahu ini bukan tentang Luna. Bukan dia penyebabnya, bukan dia pemicunya.”
Seketika, jari-jari Renzo mengepal di atas ranjang.
“Renzo, kejadian malam ini... membangkitkan trauma lama, bukan?”
“Jangan menutupinya dariku,” lanjut Dr. Kusuma. “Aku pernah menangani kasusmu, aku tahu pola serangan panikmu.”
Renzo masih diam. Namun, kata-kata dokter itu seakan merobek benteng yang selama ini ia bangun.
Dr. Kusuma menghela napas, lalu dengan nada lembut ia berkata, “Renzo, kamu masih menganggap dirimu lemah, bukan?”
Mata Renzo membelalak. Dia langsung menatap dokter itu dengan tatapan tajam, seperti tersengat.
“Dulu, saat itu terjadi, kamu tidak bisa berbuat apa-apa. Kamu menyalahkan dirimu sendiri.” masih menatap Renzo dengan tatapan penuh harap dia akan bicara. “Kamu mengira dengan menjadi lebih kuat, lebih dingin, kamu bisa mengendalikan segalanya.”
Suasana ruangan itu menjadi semakin berat, seakan ada beban tak terlihat yang menekan Renzo.
“Tapi kenyataannya... kamu masih dihantui oleh perasaan yang sama. Perasaan takut kehilangan. Perasaan tidak berdaya.”
Renzo menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Tapi dalam pikirannya, bayangan itu kembali muncul. Darah. Jeritan. Wajah seseorang yang memudar di pelukannya.
Trauma itu tidak pernah benar-benar hilang.
.
.
Rumah Sakit Medical Pro
Rumah sakit yang sama tempat Bimo di rawat, Luna juga berada di sana. Bimo dan Patricia belum mendengar kabar dari Luna sama sekali. Meskipun keduanya menunggu dengan gelisah, tak ada yang dapat mereka lakukan.
Luna sudah di pindahkan ke ruang rawat jalan. Matanya masih berat, tubuhnya lemah, tetapi ada satu hal yang langsung terpikir olehnya begitu ia membuka mata.
“Renzo...?” Ia mencoba bangun, tetapi perban di perutnya membuatnya mengerang pelan.
Dewi segera menghampirinya. “Sayang, jangan banyak bergerak dulu.”
“Tapi... di mana Renzo?” Suara Luna terdengar cemas. “Dia baik-baik saja, kan?”
Dewi saling berpandangan dengan Raihan.
“Pa?” Luna menatap papanya penuh tanya.
Raihan menghela napas panjang sebelum menjawab, “Dia sudah pergi.”
Luna mengerutkan kening. “Pergi ke mana?”
“Pulang ke mansion.”
Luna mencoba duduk lebih tegak. “Aku harus bicara dengannya. Aku lihat tadi dia juga terluka karena pria gila itu!”
“TIDAK!” suara Raihan langsung memotong. Luna tersentak. Papanya jarang membentaknya seperti ini.
“Kamu harus fokus sembuh dulu, Luna,” lanjut Raihan, suaranya lebih lembut kali ini. “Setelah itu, baru kita bicara soal Renzo.”
Luna menatap papanya dalam-dalam. “Pa... Renzo bukan penyebab semua ini. Aku yang ingin mengusut penyebab kecelakaan Bimo.”
Raihan mendengus. “Kecelakaan Bimo? Apalagi yang terjadi, apalagi yang Papa tidak tahu? Berarti benar dia adalah bagian dari masalah. Dan aku tidak akan membiarkanmu terluka lagi karena dia.”
Air mata menggenang di mata Luna. “Aku mencintainya, Pa.” sekali lagi Luna berkata. “Papa... Renzo membutuhkan aku.”
Dewi menggenggam tangan putrinya. “Sayang, istirahatlah dulu, ya? Nanti kita bicarakan semuanya dengan kepala dingin.”
Luna menggigit bibirnya. Dia tahu keluarganya khawatir. Tapi hatinya terus gelisah, ingin segera menemui Renzo. Karena dia tahu... pria itu pasti sedang menderita sendirian.
Luna mengambil ponselnya untuk mengirim pesan pada Patricia, selanjutnya dia juga mengirim pesan pada Renzo.
"Aku baik-baik saja, semuanya akan baik-baik saja, Sayang. Aku akan segera pulih dan mendatangimu, kamu bisa... kamu hebat dan kuat!"