Blurb :
Sebuah pernikahan yang hanya di dasari oleh cinta dari salah satu pihak, akankah berjalan mulus??
Jantung Arimbi seakan runtuh ketika pria itu mengatakan 'kita akan tidur terpisah'
Akankah ketulusan Arimbi pada putri semata wayang mampu membuat Bima, seorang TNI AU berpangkat Sersan Mayor membalas cintanya?
______
Arimbi terkejut ketika sosok KH Arifin, datang ke rumahnya bersama Pak Rio dan Bu Rio.
Yang lebih mengagetkannya, kedatangan mereka bertujuan untuk melamar dirinya menjadi istri dari putranya bernama Bima Sena Anggara, pria duda beranak satu.
Sosoknya yang menjadi idaman semenjak menempuh pendidikan di pondok pesantren milik Abi Arifin, membuat Arimbi berjingkrak dengan perjodohan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ 19 ~
Aku berbalik, menatapnya dengan sorot terkejut.
"Iya"
"Siapa dia? Teman dekat, atau mantan pacar?" Mas Bima melangkah mendekat. Kini jarakku dengannya hanya setengah meter.
"Aku ngggak punya mantan pacar"
"Oh ya?" Alis mas Bima terangkat satu, dari raut wajahnya tersirat ketidakpercayaan atas ucapanku barusan.
"Jadi tadi yang telfon dia? Kalian janjian di depan ruangan Lala?"
"Bertanya demikian sudah masuk privasiku, jadi mengenai siapa yang telfon, itu urusan pribadiku"
Sepertinya mas Bima kehilangan kata-kata, buktinya dia tak bisa menimpali kalimatku.
"Bukankah kamu yang lebih dulu ingin tahu tentang urusanku, Arimbi?"
"Tapi mas juga nggak jawab keingintahuanku kan? Jadi kita impas jika mas tidak mendapat jawaban siapa yang menelfonku tadi"
"Kalau bukan dia" Badan mas Bima agak condong ke depan. "Kanapa kamu nggak angkat telfonnya di sini?"
"Jangan salah paham mas, aku hanya tidak mau mengganggu tidur Lala"
"Yakin begitu?" dari nadanya benar-benar sedang meledekku.
"Silakan mas menerka-nerkanya sendiri"
Detik itu, mas Bima melangkah maju, dengan gayanya yang santai namun mematikan.
Tak tahu harus ngapain, reflek aku melangkah mundur.
"Aku bukan kamu yang suka berasumsi, Arimbi. Aku tidak suka menebak-nebak urusan orang, apalagi menyembunyikan rasa cemburuku"
"Maksud mas apa?" Ku telan salivaku sendiri, dari kalimatnya, dia seperti tengah menyindirku.
"Kamu itu ternyata sangat penakut ya. Sama sekali tak berani mengeluarkan apa yang ada di sini" mas Bima menunjuk dadaku. "Dan apa yang ada di sini" kali ini menunjuk pelipisku.
"Kamu bisanya hanya diam, sambil menerka, yang membuat pikiranmu akhirnya di penuhi dengan prasangka negatif, lalu kamu menyimpannya di hatimu. Bisanya cuma nangis, kalau di ajak bicara selalu kabur"
"S-siapa yang kabur?"
"Memangnya ada orang lain di sini selain kamu?"
"A-aku nggak kabur kok, hanya saja aku merasa sudah nggak ada lagi yang perlu di bicarakan"
"Kalau memang nggak ada lagi yang perlu di bicarakan?" Mas Bima menatapku dengan tatapan mengejek. "Kenapa ada amarah di wajahmu, kamu pikir aku nggak menyadarinya?" Kali ini senyum miring tersungging di bibirnya, membuatku tak bisa berkata-kata.
"Aku lelah, aku mau istirahat"
"Nah kan, baru saja ku beri tahu kalau kamu suka kabur saat sedang bicara. "masih mau mengelak?
"Tapi memang sudah tidak ada lagi yang mau kita bahas kan?"
Mas Bima diam, yang dia lakukan hanya menatapku sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Sorotnya benar-benar menghujam, aku bahkan langsung melempar pandangan ke arah lain sebab sudah tak mampu membalas tatapannya.
"Yakin, nggak mau nuntasin apa yang terjadi di antara kita?" Tanya mas Bima datar.
"Yakin, nggak mau ngeluarin unek-unek yang ada di situ"
Pria di depanku menjunjuk dadaku dengan dagunya.
"Aku senin siang berangkat loh"
"A-aku ngantuk! Aku mau tidur, selamat malam"
Usai mengatakan itu, aku langsung berbalik kemudian melangkah beberapa langkah menuju ranjang Lala. Ku rebahkan diriku di samping Lala kemudian memeluknya.
La, Harusnya ayah ngomong kan ke bunda buat menyelesaikan masalah ayah sama bunda, tapi ayah malah mancing-mancing bunda untuk ngomong lebih dulu. Kalau Lala jadi bunda pasti gengsi kan?
Apa bunda harus ngomong ke ayah supaya ayah jangan dingin ke bunda, jangan diam-diam ke bunda, apa bunda harus ngomong ke ayah supaya ayah balas cinta bunda?
Terus, apa bunda harus ngomong pengin bobo sama ayah, La?
Saat aku sibuk dengan pikiranku, mas Bima mematikan lampu utama dan menyalakan lampu emergency yang nyalanya hanya temaram.
Samar-samar ku dengar suara mas Bima yang tengah bicara melalui telfon, sepertinya bawahannya menelfon untuk membahas soal dinasnya besok.
Tak ingin tahu apa yang mas Bima bicarakan, aku memilih memejamkan mata, mengistirahatkan badan yang terlampau letih karena seharian ini energiku benar-benar terkuras habis.
*****
Hingga esok harinya, Lala bangun dengan kondisi yang lebih segar, wajah ceria, dan senyum cemerlang yang terlukis di bibirnya. Aku yakin, putriku sudah merasa lebih baik, demamnya sudah turun, raut wajahnya juga tak sepucat saat pertama kali masuk rumah sakit, hanya nafsu makannya yang memang sedikit berkurang dan kata dokter itu wajar.
"Lala udah boleh pulang ya bun?"
"Iya sayang" Aku membantu Lala menyisir rambut dan mengepangnya menjadi dua. Mas Bima sedang pergi ke bagian resepsionis untuk mengurus administrasi.
Meski pengobatan semua gratis, tapi tetap saja ada tambahan biaya karena mas Bima meminta fasilitas lebih di luar jaminan kesehatan dari pemerintah.
"Lala sudah boleh masuk sekolah dong?"
"Memangnya Lala udah pengin masuk sekolah?"
"Memangnya belum boleh ya bun?" anak ini agak mendongakkan kepala untuk melihatku.
"Boleh, tapi harus ingat kata dokter, nggak boleh lari-larian dulu di sekolah, nggak boleh terlalu capek, ngerti?"
"Ngerti bunda"
"Selalu ingat pesan bunda ya"
"Iya" Sahut Lala yang kemudian di lanjutkan bertanya sesuatu yang membuatku tercengang.
"Ayah sama bunda udah nggak marah-marahan lagi kan?"
Hening, tanganku sibuk mengepang rambut Lala sambil menyusun kata-kata untuk menjawab pertanyaannya.
"Selesai, nak" ucapku mengalihkan topik. Namun karena Lala adalah anak yang pintar, dia kembali bertanya hal yang sama.
"Ayah udah nggak marah ke bunda kan?"
Menghela napas, aku menghembuskannya secara perlahan lalu duduk di depan Lala.
"Lala kenapa tanya gitu?"
"Lala nggak suka ayah sama bunda marah-marahan, kata teman Lala, kalau ayah sama bunda marah, tandanya udah nggak sayang"
"Tapi ayah nggak marah, nak. Kemarin Lala sudah dengar penjelasan ayah kan, kalau ayah cuma negur bunda, karena bunda udah salah. Kalau Lala salah pasti juga kena teguran sama ayah, iya kan?"
"Tapi kenapa wajah ayah menakutkan bun. Lala takut jadinya"
"Kenapa harus takut sama ayah Lala sendiri, ayah Lala kan orang baik, Lala tahu itu kan?"
Lala mengangguk memberi respon, detik berikutnya aku membawa Lala ke dalam pelukanku.
"Kita pulang yuk!" Tiba-tiba terdengar suara mas Bima bersamaan dengan suara pintu terbuka.
Otomatis pelukan kami terurai.
"Ayah sudah selesai?" tanya Lala.
"Sudah" Mas Bima berdiri di sisi ranjang. "Sudah di kemasi semua?" tanyanya menoleh ke wajahku sekilas.
"Sudah"
"Ayo" Pria itu meraih tubuh Lala dan menggendongnya. "Anak ayah harus sehat terus ya, besok ayah pergi lagi"
"Ayah kerjanya nggak pulang lagi?"
"Iya sayang"
"Pulangnya kapan?"
"Dua bulan lagi"
"Lama berarti"
"Hemm. Thalia sama bunda di rumah ya"
"Iya"
"Sudah siap?" tanyaku setelah mereka tak lagi terlibat percakapan.
"Sudah bunda" jawab Lala. "Ayah gandeng tangan bunda ya"
"Ayah kan gendong Thalia"
"Ayah gendong Lala pakai satu tangan, terus satu tangan lagi gandeng tangan bunda"
"Lala udah berat" Sambarku cepat. "ayah pasti kesulitan kalau harus gandeng tangan bunda" Sebelum mas Bima beralasan untuk menolak, aku lebih dulu memberikan kode penolakan.
"Ayah bisa kok bun, pas jemput Lala juga ayah gendongnya pakai satu tangan, terus tangan yang lain bawa tasnya Lala, iya kan yah"
"Tapi La_"
Tahu-tahu tangan kokoh mas Bima meraih tanganku lalu menyatukan dan mengunci jari jemari kami yang membuatku tak sanggup melanjutkan kalimatku. Satu tanganku yang lain membawa tas berisi barang-barang Lala.
Sementara jantungku?
Tentu saja berdebar makin tak karuan saat mas Bima melakukan itu.
"Jangan banyak protes, kita pulang sekarang" ujarnya lalu melangkah keluar dari bangsal.
Ayahnya Lala memang tak menutup pintunya tadi, jadi saat kami di depan pintu, dia hanya menggunakan kaki untuk membukanya lebih lebar.
Baru saja melangkah beberapa langkah, kami berpapasan dengan mas Saka.
"Arimbi"
"Mas Saka?" balas mas Bima.
"Anak pintar sudah boleh pulang ya?" mas Saka beralih menatap Lala.
"Sudah om dokter"
"Sehat terus ya, jangan kesini lagi"
"Iya om dokter"
Aku sempat melirik mas Saka saat dirinya melempar ekor matanya ke tangan kami yang saling bertaut.
"Okay, Lala. Hati-hati di jalan!" pesannya yang di anggukan oleh Lala.
"Kami permisi mas"
"Hati-hati ya Bi"
"Iya mas"
"Permisi, pak dokter" kata Mas Bima dengan angkuh.
"Ya, hati-hati mas Bima"
"Hmm"
Ternyata selain padaku, dia juga bisa bersikap datar pada mas Saka.
Kalau boleh berspekulasi, apakah mas Bima cemburu?
...🌷TBC🌷...
Sudah 20 bab.. Masih mau lanjut?? Takutnya udah pada bosan, makannya nggak crazzy up 😀😀
Semangat berkarya