Daniah Hanania Eqbal, gadis lulusan ilmu kedokteran itu sedang menjalani KOAS di Rumah Sakit Harapan Keluarga. Selama menjalankan KOAS, ia harus berhadapan dengan Dokter pembimbingnya yang galak. Dokter Arrazi Dabith Dzaki.
Arrazi memang terkenal Dokter paling galak diantara Dokter lain yang membimbing para anak KOAS, namun ketika berhadapan dengan pasien kegalakan Arrazi anyep,baik hilang di balik wajah tampan bin manisnya.
Suatu ketika Basim meminta Daniah untuk mengabulkan keinginannya, yaitu menikah dengan cucu dari sahabatnya, guna menepati janji mereka. Daniah tidak menolak atau mengiyakan, ia hanya meminta waktu untuk memikirkan keinginan Kakeknya itu. Namun saat tahu laki-laki yang di jodohkan kepadanya adalah cucu dari pemilik Rumah Sakit tempatnya KOAS, Daniah dengan senang hati langsung menerima, selain sudah kenal dengan laki-laki itu, Daniah pun berencana akan menggunakan kekuasaannya sebagai istri cucunya pemilik Rumah Sakit Harapan Keluarga untuk menendang Dokter itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Icut Manis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 31 : SUPPORT SYSTEM
"Dia perempuan yang hebat, yabg sudah melahirkan tiga anak yang sangat membanggakan dan mendidik anaknya dengan penuh cinta dan kasih sayang." ucap Papi Dhiau, mencubit pelan pipi Daniah.
Kerutan di keningnya, kini di ganti dengan matanya yang membulat, kalimat pujian itu pernah ia dengar dari Papinya.
"Mami, Pi?" tebak Daniah.
Papi Dhiau tersenyum sambil mengangguk kepalanya. Daniah meluruhkan badannya, lemas. Ia tak menyangka Maminya pernah mengalami hal yang begitu menyedihkan di dalam kehidupannya.
Mami yang penuh kasih sayang, cinta dan kelembutan itu rupanya mengalami kehidupan yang berat, keras dan menyakitkan. Air mata Daniah langsung mengalir begitu saja, wajah Maminya terlintas di benaknya, begitu juga dengan senyuman, kasih sayang dan kelembutan sang Mami selama ini tergiang kembali dalam ingatannya, bahkan Daniah rasa, Maminya tidak pernah kasar kepadanya maupun Atha atau Fadillah, ia begitu sabar dalam menghadapi anak-anaknya.
"Perempuan itu adalah Faiza Kayla Alyssa, istri Papi, Mami dari anak-anak Papi yang sangat Papi cintai, Nia." jelas Papi Dhiau.
"Kasian Mami, Pi." cicit Daniah tak dapat menahan tangisnya kerena membayangkan kehidupan sang Mami dahulu. Papi Dhiau memberikan tissue untuk menyeka air mata putrinya itu.
"Mami kamu itu perempuan yang hebat Nia. Dia benar-benar berjuang untuk menyembuhkan lukanya, meskipun awalnya sangat sulit, apalagi peristiwa menyakitkan itu selalu muncul dalam ingatannya dan menjadi trauma baginya. Hingga akhirnya lambat laun lukanya itu mulai terobati dan sembuh, meskipun tidak sampai seratus persen. Tapi itu pencapain yang luar biasa yang Mami kamu lakukan. Belajar dari pengalamannya, Mami kamu tidak mau hal menyakitkan itu kembali terulang di anak-anaknya, makanya Mami begitu sabar dan selalu berusaha untuk mendidik kalian dengan cinta, kasih sayang dan kelembutan, nggak pernah kan kamu liat Mami yang sampai marah besar atau main fisik?"
Daniah mengangguk.
"Itu karena Mami tidak mau anaknya mengalami seperti yang dia alaminya dari orang tuanya."
Daniah mengangguk. Dengan berderai air mata, ia terus terbayang masa lalu Maminya. Pasti sangat menyakitkan dan luka itu membekas di hati sang Mami.
"Nia."
"Iya Pi."
"Papi dan Mami minta maaf pernah ninggalin kamu di rumah Kakek dan Nenek." lirih Papi Dhiau menatap manik coklat milik Daniah.
Daniah terdiam. Ia teringat kala itu saat Papi dengan tiba-tiba mengajak Daniah kecil, berusia 8 tahun pergi k rumah Nenek dan Kakeknya di kampung, lalu meninggalkan dirinya selama 3 tahun. Selama 3 tahun itu, hanya 3 kali Papi datang menjenguknya seorang diri, tidak membawa Mami dan Atha, Abangnya, saat di hari raya. Tapi rutin setiap seminggu 3 kali Papinya menelponnya. Itu pun hanya sang Papi, tidak ada Mami dan Abangnya.
Awal-awal Daniah selalu menangis ingin pulang, namun tidak di tanggapi oleh Papinya. Kemudian Daniah menjadi acuh saat Papinya menelpon. Daniah sangat marah, ia merasa kedua orangtuanya tidak lagi sayang kepadanya, terutama kepada Papinya.
Namun Kakek dan Neneknya selalu berusaha untuk memahami sang cucu agar tidak marah atau membenci orangtuanya, serta memberikan alasan yang dapat di terima Daniah, kenapa orangtuanya menitipkan Daniah kepada Kakek dan Neneknya di kampung dan tidak datang menjenguknya bersama Mami dan Abangnya. Sampai akhirnya Daniah kecil tak lagi merajuk, tidak lagi marah kepada orangtuanya.
"Papi terpaksa menitipkan kamu ke Nenek dan Kakek, sementara Bang Atha, tetap di rumah. Dia tau kondisi kejiwaan Mami saat itu sangat down, sampai harus ditangani secara intensif oleh Dokter. Bang Atha juga bantu Mami dalam proses pengobatannya dengan terus menemani Mami bergantian dengan Papi. Usia Bang Atha saat itu memang masih kecil tapi dia cukup dewasa dan pintar dalam menanggapi permasalahan Mami saat itu. Berbeda dengan kamu, Nia. Kamu terlalu kecil dan Papi khawatir kamu akan kenapa-bapa kalau menghadapi Mami saat itu. Makanya Papi titip kamu ke Kakek dan Nenek."
Papi Dhiau menghela nafas. Sementara itu, Daniah masih memperhatikan sang Papi sambil mengingat masa lalunya. Mungkin jika saat ini, jika ditanya bagaimana perasaan Daniah saat teringat kejadian itu, ia pun akan menjawab kecewa.
Namun mendengar penjelasan dari Papi, rasanya Daniah berdosa jika masih marah kepada Papi. Sedangkan yang Daniah tahu mengenai sang Papi, kalau Pai melakukan sesuatu, apalagi terhadap anak-anaknya, itu sudah di pikirkan dengan matang dan penuh pertimbangan.
"Gimana caranya mengobati luka Mami waktu itu, Pi?"
"Nggak mudah Nia. Bahkan bisa dikatakan sangat sulit. Tapi karena support dari orang terdekat dan penanganan yang khusus, lama kelamaan luka itu bisa juga terobati. Meskipun belum sempurna seratus persen, bahkan sampai sekarang."
Daniah mengangguk pelan. Luka batin memang sangat sulit untuk terobati, ia akan membekas seumur hidup, apalagi kalau ada pemantiknya. Daniah terdiam, cerita Nenek Dariah tentang Arrazi tiba-tiba teringat di benaknya. Bukankah pengalaman Mami dan suaminya ada kesamaan?
"Pi." panggil Daniah, tangannya menempel diatas tangan sang Papi.
"Hm?"
"Mas Razi Pi, suami Nia juga mengalami hal yang mirip sama cerita Papi tentang Mami tadi."
Papi Dhiau mengangguk.
"Iya Nia. Kisah masa lalu Mami dan suami kamu mirip. Maka dari itu, Papi harap kamu juga bisa membantu suami kamu untuk mengobati luka masa lalunya yang belum sembuh itu. Meskipun Arrazi seorang Dokter sudah pasti mempelajari ilmu Psikologi manusia, cara penanganan, beserta hal semacam itu, tapi tidak menuntut kemungkinan luka itu masih ada akan terus menghantui, menjadi emosi yang meledak-ledak juga menjadi bumerang untuk dirinya, bahkan di pernikahan kalian."
Daniah menelan salivanya. Ia kembali teringat kemarahan Arrazi saat di rumah Nenek. Sangat menakutkan. Kata Nenek, Arrazi menjadi kasar, dingin dan galak semenjak kejadian yang menyakiti hatinya itu. Dan sewaktu-waktu, kemarahannya yang seperti itu bisa jadi kembali terulang saat ada pemantiknya.
Seolah paham apa yang sedang dipikirkan putrinya, Papi Dhiau menggenggam tangan Daniah dan tangan satu lagi mengelus pundaknya.
"Tenang Nia, Papi yakin kamu bisa membantu Arrazi untuk mengobati lukanya. Buktinya Papi bisa melakukan itu kepada Mami. Kuncinya adalah kesabaran, berikan dia cinta, kasih sayang, perhatian, dampingi dia, hormati dia dan hargai dia. Sebagai seorang laki-laki, di hormati dan di hargai pasangan adalah suatu kehormatan dan kebahagian bagi dirinya. Coba berusaha untuk selalu membuatnya senang, ya dengan cara semampu kamu dan kalau bisa kamu tanya apa aja hal yang disukai dan apa aja hal yang tidak disukainya. Komunikasikan Nia. Komunikasi sangat penting." nasihat Papi Dhiau. Daniah mengangguk pelan.
"Kamu tau Nia, kenapa dulu Papi minta kamu ambil jurusan psikologi waktu kamu lagi pilih jurusan?"
Daniah terdiam mencoba mengingat kembali. Lalu menggeleng.
"Karena Papi ingin kamu mendalami ilmu psikologi dan bisa membantu orang-orang yang mengalami permasalahan dalam kehidupan dari sisi psikologinya. Ya seperti yang dialami Mami dan suamimu."
Daniah terdiam. Pantas saja dulu Papinya begitu memaksa untk ambil jurusan psikologi, sampai mereka berdebat karena itu. Papi Dhiau tersenyum dan mengelus bahu anak keduanya.
"Tapi nggak papa Nia, dengan pilihan kamu yang sekarang ini, Papi sangat bangga, karena kamu mampu membuktikan keinginan dan cita-cita kamu ke Papi dan Mami. We are so proud of you, Daniah."
"Thanks, Pi."
"Sekarang kamu terima denga lapang hati kehidupan yang kamu jalani sekarang. Terus bersabar dan jangan putus asa menjalaninya. Support terus suami kamu, dampingi dia. Jadilah istri sholehah yang menjadi penyejuk hati bagi suami ya, Nia."
Daniah mengangguk pelan.
"Kalau ada apa-apa bilang sama Papi, insyaallah Papi akan selalu ada buat kamu."
Lagi-lagi Daniah hanya mengangguk, lalu ia menghambur ke pelukan hangat Papinya yang selalu menjadi support system dalam hidupnya.
...****************...
"Zi, si Nia tau nggak kalau lo disini?" tanya Dhafir yang sedari tadi bersama Arrazi di kantor Dhafir, tepatnya ruang pribadi Dhafir yang ada di kantor.
Saat ini Arrazi dan Dhafir sedang mencari informasi penggelapan dana rumah sakit yang dilakukan Benjamin, anak angkat Kakeknya yang menjabat sebagai direktur utama RS Harapan Keluarga. Hal itu sudah di curigai Arrazi belakangan ini, namun ia baru mendapatkan informasi lebih lengkap dari Michael. Sengaja mereka mengerjakan di kantor Dhafir, karena kalau di RS, bisa-bisa Benjamin akan datang k ruangan Arrazi dan merecokinya. Ia sudah paham betul akal bulusnya anak angkat dari Kakeknya itu.
Arrazi terdiam menatap layar laptop, namun pikirannya kembali pada kejadian pagi tadi, saat ia mencium Daniah. Namun ciuman itu dihentikan sepihak olehnya. Entah kenapa saat itu Arrazi merasa belum waktunya untuk untuk meminta haknya kepada Daniah. Ia tidak menafikan kalau saat itu dirinya menginginkan tubuh sang istri. Tapi Arrazi tidak ingin melakukan hal itu hanya karena nafsu dan paksaan dari dirinya tanpa cinta dan kerelaan dari Daniah.
Mau bagaimanapun, bagi Arrazi melakukan hubungan intim antara suami istri harus didasari dengan kerelaan hati diantara keduanya dan cinta. Ia takut hubungannya dengan Daniah akan berakhir seperti hubungan kedua orangtuanya di masa lalu. Ibunya di campakkan oleh sang Papi. Karena Arrazi tahu, pernikahan orangtuanya tidak didasari oleh cinta. Melainkan ambisi sang Papi yang haus akan kekuasaan yang dimiliki oleh keluarga Maminya. Maka dari itu Papinya sampai tega melakukan kekerasan kepada Maminya, bahkan Arrazi pun tak lepas menjadi korban kekerasan sang Papi.
Tak hanya itu, Papinya pun melakukan perselingkuhan dengan beberapa perempuan lain yang pernah Arrazi temui. Sampai pada puncaknya saat Papinya berselingkuh dengan sekretarisnya sendiri di kantor sampai membuat dirinya nyaris mati bunuh diri, lalu pergi entah kemana.
Hal itu juga yang membuat Arrazi depresi dan nyaris mengakhiri hidupnya dengan loncat jembatan. Beruntung ada seorang gadis kecil yang menolongnya. Ah, Arrazi merasa berhutang pada gadis itu dan kalimat ajaib yang dikatannya.
"Woy! Malah bengong. Dah pasti ini mah jawabannya belum kan?" tebak Dhafir dengan memicingkan matanya kearah Abang sepupunya.
Arrazi tak menjawab, ia kembali fokus ke laptop.
"Zi, lo itu bukan bujang lagi. Ada istri lo yang nungguin di rumah. Kasian lah si Nia, masa di anggurin gitu." Dhafir berdecak, lalu melipat tangan di dada.
"Zi, kata orang ya, kalo pengatin baru itu lagi nagih-nagihnya. Emangnya lo nggak ada ketagihan sama si Nia?" ujar Dhafir, Arrazi melirik kearahnya, yang dilirik malah menaik turunkan alisnya.
Mulai deh traveling otaknya si Dhafir.
Oya, mengenai chat Dhafir yang sempat di baca oleh Daniah, saat notifikasi itu muncul. Arrazi baru melihatnya saat sudah sampai di rumah Kakek Dzaki. Arrazi langsung memblokir nomor Dhafir. Dan baru di buka saat Arrazi butuh bantuan Dhafir untuk membantunya melacaki informasi mengenai penggelapan dana rumah sakit. Ambeknya memang Arrazi itu kepada sepupunya yang resek.
Arrazi tidak mau meladeni Adik sepupunya itu, ia hanya melayangkan tatapan tajam, kemudian kembali ke laptop. Dhafir tidak puas dengan candaannya itu dengan tanggapan Arrazi yang hanya menatapnya. Ia mendekatkan posisi duduknya.
"Gimana, enak nggak?"
"Diem!"
"Nggak enak ya? Gue cobain boleh Nggak?"
PLAK!
Tangan Arrazi melayang memberikan bogeman mentah ke pipi sepupunya itu. Dhafir yang tidak menyangka akan mndapatkan pukulan dari Arrazi langsung ngelag, kemudian meringis kesakitan dan menyadari kalau di sudut bibirnya mengeluarkan darah.
Ia langsung berdiri dari duduknya, menyeka darah yang keluar dari sudut bibirnya.
"YAELAH ZI! GUE CUMA BERCANDA KALI! LO NGGAK USAH NABOK GUE SAMPE BEGINI!" bentak Dhafir. Tangannya menggenggam erat, rahangnya mengeras, ingin membalas perlakuan Abang sepupunya. Namun urung, saat Arrazi ikut berdiri dengan tangan terkepal dan tatapan tajamnya.
"NGGAK PANTES LO BERCANDA SAMA HAL YANG KAYAK GITU DHAFIR!" Arrazi balik membentak.
Dhafir berdecak. Lalu kembali duduk. Benar, tidak sepantasnya Dhafir bercanda seperti itu. Meskipun hanya candaan, sungguh candaannya sangat tidak bermoral dan pastinya akan menimbulkan masalah.
"Sorry." ucap Dhafir sambil mengambil selembar tissue dan menempelkan ke sudut bibirnya untuk membersihkan darah.
Arrazi tak menjawab, ia pergi dari ruangan dan kembali membawa es batu dan kain, lalu mengompres sudut bibir Dhafir yang terluka karenanya.
"Jaga mulut lo. Jangan sembarangan kalo bercanda!" nasihat Arrazi.
Dhafir hanya mengangguk.
"Iya. Sorry."
"Dah, pegang nih, gue mau lanjutin yang tadi." ujar Arrazi menarik tangan Dhafir untuk menggantikan tangannya yang memegang kompresannya.
"Lo Nggak mau plang, Zi?"
"Nggak."
"Kabarin si Nia."
Lagi-lagi Dhafir mengingatkan sepupunya itu. Sebagai sepupu yang baik, ia tidak ingin melihat sepupunya bertengkar dengan sang istri. Karena Dhafir pernah menyaksikan Papi dan Maminya bertengkar hanya karena Papinya pergi tidak mengabari dimana keberadaannya.
Dari situ Dhafir mengambil kesimpulan : *Demi ketentraman hidup dalam rumah tangga, wajib bagi suami untuk mengabari dimana pun dia berada, apalagi sampai tidak pulang ke rumah, kepada istrinya*.
"Nanti." jawab Arrazi singkat.
Arrazi tetap fokus pada pekerjaannya, sementara itu, diam-diam Dhafir memotret Abang sepupunya dari samping.
Gmn perasaan Arazzi menunggui istrinya , terjwb sudah perjuangan mama melahir kan mu.
Mk surga aga ditelapak kaki ibu
kisah mama Rara , dr Arazzi maupun Elisa mereka korban atas kezaliman sang ayah yg suka selingkuh.
untung dipertemukan dr Arazzi dgn istri yg bisa menyembuhkan luka sekaligus merangkul mama mertua dan adik tiri
Ambil yg baik jgn ditiru meskipun bkn kisah nyata