Di sekolah, Dikta jatuh hati pada gadis pengagum rahasia yang sering mengirimkan surat cinta di bawah kolong mejanya. Gadis itu memiliki julukan Nona Ikan Guppy yang menjadi candunya Dikta setiap hari.
Akan tetapi, dunia Dikta menjadi semrawut dikarenakan pintu dimensi lain yang berada di perpustakaan rumahnya terbuka! Pintu itu membawanya kepada sosok gadis lain agar melupakan Nona Ikan Guppy.
Apakah Dikta akan bertahan dengan dunianya atau tergoda untuk memilih dimensi lain sebagai rumah barunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yellowchipsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Puri Ngambek!
...٩꒰。•‿•。꒱۶...
...𝙏𝙐𝘼𝙉 𝙆𝙐𝘿𝘼 𝙇𝘼𝙐𝙏 & 𝙉𝙊𝙉𝘼 𝙄𝙆𝘼𝙉 𝙂𝙐𝙋𝙋𝙔...
...© Yellowchipsz...
...—Potensi diri yang sesungguhnya akan dibongkar oleh keinginan Semesta.—...
...꒰•̫͡•ོ꒱...
"Mama???" panggil Saila menyadarkan lamunan. Saila pun tertegun melihat bulir kecil di ujung kelopak mata sang mama. "Mama 'kok nangis melihat Dikta?"
"Eh? Nggak kok. Ehm ... maaf, karena terlalu khawatir atas kejadian yang menimpa kalian, saya jadi terbawa suasana," kata Nyla berusaha baik-baik saja meski hatinya buncah.
Dikta yang merasa agak baikan dari kondisi anehnya pun segera menyambut hangat tangan Nyla, lalu menciumnya.
Nyla tersenyum simpul atas perlakuan manis Dikta.
"Makasih, Ma. Udah bantu ngatasin keadaan Lingga," ucap Dikta penuh syukur dan rasa budi yang besar.
"S-sebenarnya," kata Nyla bingung. Dia ingin mengatakan sebuah keanehan yang terjadi pada tubuh Lingga, dari luka parah menjadi bersih tanpa cacat. Namun, karena pikirannya yang runyam itu, Nyla tidak ingin memperpanjang kerumitan.
Dikta merasa terlalu senang saat ini karena kondisi Lingga yang baik-baik saja, sampai dia terbata untuk berkata-kata.
"Yang penting kondisi Lingga udah membaik. Nama kamu siapa, Nak?" tanya Nyla terpukau akan iras tampan Dikta, tangannya tergerak menyisir surai hitam milik Tuan Kuda Laut.
"Dikta, Ma. Aku boleh 'kan panggil ... Mama?" tanya Dikta takut membuat mamanya Saila tidak nyaman.
"Sangat boleh, dong," kekeh Nyla yang gemas melihat remaja laki-laki yang begitu tinggi dan manis di hadapannya sekarang.
"Ehm!" deham Lingga, "Lampu hijau dari calon mertua, nih?" Dirinya sudah bisa meledek Dikta meski pikiran Lingga semrawut tentang semua kejadian aneh hari ini.
Wajah Dikta mulai merona mekar.
"Hihi!" tawa Saila malu-malu.
Terlepas dari kejadian ini, Nyla ingin tahu asal mula kehebohan anak-anak tersebut. "Kalau saya boleh tahu, siapa yang menyebabkan kekacauan sampai kalian membawa Lingga kemari?"
"Ma," kata Saila langsung ke intinya, "Lingga nggak usah bayar biaya rumah sakit, ya. Anggap aja semua ini salahnya Saila."
Dikta, Lingga, dan Puri terperanjat mendengar itu.
"Salah Saila???" tanya Nyla dengan muka panik.
"N-nggak, Ma," kata Dikta menenangkan, "ada hal yang nggak bisa kami jelaskan. Saila cuma ingin yang terbaik untuk Lingga."
"Oalah, begitu," lega Nyla. "Baiklah, saya anggap Lingga main ke rumah sakit keluarga kami. Kebetulan ruang VIP Siren ini baru dan sedang masa percobaan. Hasilnya cukup nyaman, kan?"
"Keren, Tante!" puji Lingga melihat desain ruang VIP ini begitu apik, tak lupa ada banyak pernak-pernik bergambar siren yang mewarnai suasana. Rasanya menjadi selalu dekat dengan sapaan Laut.
"Siren itu apa?" tanya Puri memegangi miniatur manusia setengah ikan di atas meja, "Kok kayak putri duyung?"
"Memang putri duyung!" jawab Saila suka membahasnya.
"Lah? Bukannya putri duyung biasanya disebut mermaid?" protes Puri.
"Putri duyung ada yang disebut mermaid, ada juga yang disebut siren! Huuu, gitu aja nggak tahu! Wleee!" puas Saila meledek Puri di depan mamanya.
Puri menahan dengan wajah manisnya agar tidak mencubit bibir nakal Saila saat ini juga.
Di saat Nyla menghampiri bed, Lingga pun berterima kasih langsung dan mengecup tangan mamanya Saila itu. Sampai Lingga difasilitasi ruangan VIP, itu adalah hal yang spesial.
Puri juga ikut menyalami tangan mamanya Saila. "Puri, Tante."
"Kalian teman-temannya Saila, tapi saya baru hari ini melihat wajah-wajah kalian," ungkap Nyla agak heran.
Puri menjawab dengan sedikit sindiran terhadap Saila, "Kami baru sekelas hari ini, Tante. Saila pindah dengan mudah ke kelas IPA Dua, hanya karena dia bosan setelah dua tahun berada di IPA Satu."
Nyla mengangguk paham, "Oh ..., Saila udah pindah ke IPA Dua 'ya hari ini. Saila ini punya kegelisahan di kelas IPA Satu, ya walaupun saya juga nggak tahu pasti alasan dia yang sebenarnya. Tapi semoga kalian semua senang berteman dengan Saila."
"Sangat senang, Ma," ucap Dikta tersenyum tulus, membuat suasana makin hangat.
Puri membatin dengan dongkol, Nggak senang! Saila nakal macam setan!
"Ganteng-ganteng dan cantik," puji Nyla tentang teman-teman Saila dari 12 IPA 2 ini sampai membuat semuanya tersipu.
Padahal, Nyla masih ingin bercengkerama dengan anak-anak itu, tapi pekerjaan membuatnya sibuk dan meninggalkan ruangan VIP Siren ini.
Nyla memberi tahu mereka, tak lepas dengan nada lembut, "Lingga istirahat dulu sampai baikan. Nanti bubur dan makanan lainnya buat Lingga akan diantar sama suster. Tunggu saja, ya."
"Sekali lagi makasih banyak, Tante Nyla!" ucap Lingga senang.
Sesekali Nyla melirik ke arah Dikta lagi, lalu memutuskan pergi.
"Nyla Puspa nama mama lo?" tanya Lingga pada Saila, memastikan tidak salah membaca nama pada bros dokter wanita cantik tadi.
"Betul! Emang kenapa?" tanya Saila menggebu.
Dikta dan Lingga bertukar tatapan tegang.
Lingga mulai berbisik heboh pada Dikta, "Nama mamanya Saila sama dengan nama mamanya Lavina di buku catatan bang Dirham!"
"Iya!" balas Dikta berbisik-bisik juga, "Makanya gue tadi kayak aduh, gimana 'ya rasanya? Ada yang ganjal di hati gue. Kayak pernah bertemu, tapi nyatanya belum."
"Dada gue ikutan sesak waktu lihat lo sesak, kayak nular!" bisik Lingga ngeri.
"WOY!!!" marah Puri memukuli badan Dikta dan Lingga bergantian, sampai kedua cowok itu kengerian. "Gue denger bisik-bisikan kalian tuh ngomongin si LAVINA lagi! Capek gue sama kegilaan kalian! Dikta, gue minta buku bang Dirham itu segera! Mau gue musnahin!"
"Nggak mau!" geleng Dikta menolak keras. "Lo mau bang Dirham marah, terus datengin lo malem-malem?!"
"Ih, Diktaaa!!!" kesal Puri takut mendengarnya.
Saila menengahi keributan mereka. "Aku jadi penasaran sama buku itu. Boleh kapan-kapan aku ikut membacanya?" inginnya.
"JANGAAAN!" larang Dikta dan Lingga berbarengan.
Lingga melanjutkan, "Nanti jadi gila kayak kami."
"Dahlah!" kesal Puri, "Gue mau pulang aja ke rumah, daripada ikutan gila!" Puri berjalan cepat menuju pintu dengan wajah ngambek.
"Puri ...," cegah Lingga sedih, pasrah di bed.
Bibir Puri mengeriting. Dia kesal, sedih, marah, ingin mengamuk, ingin menangis sepuasnya, juga ingin berteriak. Namun, mendengar suara Lingga yang lemah dan manja saat ini, Puri berbalik arah dan langsung menghampiri Lingga.
"Heummm," kekeh Dikta diam-diam menyaksikan itu.
Puri menangis sejadi-jadinya di sana sembari memeluk erat raga Lingga, takut kehilangan.
"Jangan matiii!" tangis Puri memohon. Dia ungkapkan emosi sedih yang baru meledak sepenuhnya.
Lingga memeluk Puri tak kalah erat dan berkata, "Maafin gue. Gara-gara kecerobohan gue, lo jadi ngalamin ini. Lain kali, kita harus lebih berhati-hati. Gue nggak akan maafin Arjuna, apalagi si Bruno sialan itu!"
"Terus ...," bahas Saila penasaran, "Lingga mau ngasih hukuman apa untuk Arjuna dan Bruno?"
Lingga berujar, "Keadaan gue saat ini benar-benar di luar nalar. Gue ngerasa lebih sehat daripada biasanya. Entah ke mana perginya luka-luka itu dan masih linglung rasanya. Jujur, gue terlalu males bikin mama gue panik kalau melapor tentang kejadian ini. Jadi, gue maunya Dikta yang bakal bantu ngabulin keinginan gue buat ngebales mereka."
"Harus gue apain mereka?" tanya Dikta yang ingin mengabulkan permintaan Lingga.
"Mudah bagi lo, Ta. Kayaknya Saila nggak akan keberatan dengan cara ini," kata Lingga yang ingin menenangkan kecemasan Saila. Lingga pun meminta Dikta untuk mendekatinya, lalu ia membisikkan permintaannya.
Dikta mendengarkan dengan saksama, tapi wajahnya terlihat bingung.
"Bisa, kan?" pinta Lingga tersenyum.
"Lo serius?" tanya Dikta mengurut kening. "Nggak bisa gue!"
"Bisa 'ya lo urusin tuh Juna. Untuk Bruno, itu urusan gue. Gimana?" ajak Lingga bekerja sama.
"Tapi ...," kata Dikta menatap dalam mata Lingga, "gue takut-"
"Ini permintaan gue sebagai sahabat lo, Ta. Jarang-jarang 'kan gue minta? Kalau gue mati beneran, nanti lo nyesel nggak ngabulin itu," yakin Lingga.
Puri penasaran tingkat tinggi dengan permintaan Lingga yang terlihat rahasia. Bisik-bisikan kedua cowok tersebut kali ini terdengar amat kecil. "Apa, sih? Kok pake bisik-bisik?! Gue mau tahu juga, lah!"
"Urusan cowok!" ledek Dikta pada Puri.
"Pfffttt!" tawa Saila. Namun, dia agak cemas. Kira-kira apa rencana dua cowok itu?
Kruccuuuuk.\~
Perut Lingga berbunyi tanda lapar. Dia terdiam malu gara-gara semuanya mendengar suara alam pencernaannya.
"Gue beliin makanan tambahan dulu ke luar, pakai mobil lo, Ga," kata Dikta yang akan pamit dari ruangan.
"Dikta, aku boleh ikut?" tanya Saila mengekori.
"Ayok!" seru Dikta ditemani Saila.
Saat Dikta dan Saila sudah menghilang dari ruangan, Lingga meminta Puri untuk duduk di bed bersamanya.
Wajah Puri bersemu dan menuruti permintaan Lingga, meski hatinya cemas saat melihat Saila mengikuti ke mana Dikta pergi.
"Lo nggak luka, kan?" tanya Lingga yang merangkul lembut punggung Puri, sembari memeriksa wajah cantik kekasihnya.
Puri menggeleng pelan, "Cuma lecet dikit di tangan."
Lingga pun memegangi lengan kiri Puri yang terdapat goresan luka kecil di dekat pergelangan.
"Tetap harus diobati," kata Lingga cemas melihatnya.
"Iya. Nanti aja. Gue masih ngerasa kayak ngalamin mimpi buruk saat lo sekarat. Sekarang gue kayak bangun dari mimpi itu karena lo udah baik-baik aja," kata Puri memeluk badan Lingga lagi.
Lingga menghela napas. Dia memberanikan diri bertanya tentang hal yang masih membuatnya cemburu sampai saat ini. "Puri, apa lo masih ada rasa suka sama Dikta?"
Bersambung ... 👑