Kaivan, anak konglomerat, pria dingin yang tak pernah mengenal cinta, mengalami kecelakaan yang membuatnya hanyut ke sungai dan kehilangan penglihatannya. Ia diselamatkan oleh Airin, bunga desa yang mandiri dan pemberani. Namun, kehidupan Airin tak lepas dari ancaman Wongso, juragan kaya yang terobsesi pada kecantikannya meski telah memiliki tiga istri. Demi melindungi dirinya dari kejaran Wongso, Airin nekat menikahi Kaivan tanpa tahu identitas aslinya.
Kehidupan pasangan itu tak berjalan mulus. Wongso, yang tak terima, berusaha mencelakai Kaivan dan membuangnya ke sungai, memisahkan mereka.
Waktu berlalu, Airin dan Kaivan bertemu kembali. Namun, penampilan Kaivan telah berubah drastis, hingga Airin tak yakin bahwa pria di hadapannya adalah suaminya. Kaivan ingin tahu kesetiaan Airin, memutuskan mengujinya berpura-pura belum mengenal Airin.
Akankah Airin tetap setia pada Kaivan meski banyak pria mendekatinya? Apakah Kaivan akan mengakui Airin sebagai istrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Ingin Lebih Lama
Airin menoleh ke arah suara Kaivan. Melihat langkahnya yang masih ragu, ia segera bangkit dari kursinya dan menghampiri suaminya.
“Kak, hati-hati,” ucapnya lembut sambil meraih tangan Kaivan. Ia memandu langkahnya menuju kursi kosong di dekat meja. Dengan sabar, Airin menuntunnya duduk, memastikan posisi kursinya tepat sebelum melepas genggaman tangannya.
Kaivan tersenyum tipis, meski matanya masih terlihat buram. "Terima kasih," gumamnya, menoleh ke arah suara Airin.
Airin kembali duduk, ragu-ragu sebelum akhirnya menjawab, “Ini soal pemasok, Kak. Mereka memberi harga tinggi, jadi aku kesulitan menentukan harga jual yang sesuai untuk warga desa.”
Kaivan terdiam sejenak. "Berapa persen mereka ambil keuntungan dari barang itu?" tanyanya tanpa ekspresi.
Airin menggeleng pelan. "Aku tidak tahu, Kak. Aku hanya diberi harga akhir."
Kaivan mendesah pelan. "Kesalahan pertama. Kau harus tahu harga dasar barang. Kau bisa cari tahu dari pemasok lain atau langsung survei pasar. Jangan tergantung pada satu pemasok."
Airin mengangguk, menyadari kesalahannya. "Tapi, Kak, aku hanya tahu satu pemasok di kota itu. Kalau mencari lagi, bukankah akan membutuhkan waktu?"
Kaivan tersenyum tipis, dingin seperti biasanya. "Kau bisa nego. Katakan pada mereka, kau tahu ada pemasok lain yang memberi harga lebih rendah, meskipun kau hanya menduga. Lihat bagaimana mereka bereaksi. Pemasok tidak suka kehilangan pembeli."
Nenek Asih menatap Kaivan dengan kagum. "Kau tahu banyak soal ini, Ivan."
Kaivan tidak merespons, hanya menatap Airin samar. "Cobalah cara itu. Jika mereka tetap keras kepala, aku akan pergi bersamamu untuk berbicara langsung."
Airin tertegun, tidak menyangka Kaivan akan menawarkan bantuan seperti itu. "Kak, aku tidak ingin merepotkanmu..."
"Tidak apa-apa," potong Kaivan singkat. "Sebagai suami, aku tidak akan diam melihatmu kesulitan."
Airin merasakan dadanya hangat mendengar kata-kata itu. Meskipun Kaivan terlihat dingin, tindakannya selalu menunjukkan kepedulian yang nyata. Dengan semangat baru, ia memutuskan akan mencoba saran Kaivan keesokan harinya.
***
Airin pulang dari kota dengan wajah berbinar. Langkahnya ringan, penuh semangat. Sesampainya di rumah, ia langsung meletakkan barang belanjaannya di meja depan dan, tanpa sadar, bergegas menghampiri Kaivan yang baru saja keluar dari kamar.
"Kak Ivan! Saranmu berhasil!" serunya, penuh kegembiraan.
Sebelum Kaivan sempat berkata apa-apa, Airin dengan spontan memeluknya erat. Kaivan terpaku, tidak menyangka akan mendapatkan pelukan tiba-tiba itu. Tubuhnya membeku sejenak, lalu perlahan ia mengangkat tangannya, hendak membalas pelukan Airin namun ragu-ragu.
"Airin…" bisiknya pelan, namun Airin terlalu sibuk dengan kebahagiaannya untuk menyadarinya.
"Barang-barangku dapat harga jauh lebih murah dari sebelumnya, Kak! Aku bisa menjualnya dengan harga bersaing dengan toko grosir di kota. Semua ini berkat saranmu," ucap Airin sambil tersenyum lebar, melepaskan pelukannya.
Kaivan terkejut, bukan hanya karena pelukan tadi, tetapi juga karena ia bisa melihat wajah Airin lebih jelas. Penglihatannya yang perlahan membaik memperlihatkan senyuman cerah yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
Kaivan mengalihkan pandangannya sejenak, berusaha menjaga sikap dinginnya. "Bagus kalau begitu. Aku hanya memberimu ide dasar. Sisanya adalah usahamu sendiri," jawabnya datar, meskipun ada sedikit getar di suaranya.
Airin tidak menyadari perubahan halus pada suaminya. Ia mengangguk penuh semangat. "Tapi tetap saja, kalau bukan karena Kakak, aku mungkin tidak tahu harus bagaimana."
Kaivan hanya mengangguk kecil, menatap samar ke arah istrinya. Dalam hati, ia merasa bangga, sekaligus semakin penasaran dengan sosok Airin yang perlahan-lahan mengisi kehidupannya dengan cara yang tak terduga.
***
Setelah beberapa minggu menjalani pengobatan, Kaivan merasakan perubahan yang signifikan pada penglihatannya. Kabut yang selama ini menutupi pandangannya mulai memudar, dan bentuk-bentuk di sekitarnya perlahan menjadi lebih jelas. Namun, ia memilih untuk merahasiakan hal ini, tetap bertingkah seolah-olah matanya masih sama seperti sebelumnya.
Pagi itu, Kaivan duduk di teras sambil berpura-pura menikmati suara-suara di sekitarnya. Dari sudut matanya, ia menangkap sosok Airin yang sibuk di toko kecil mereka. Rambutnya yang diikat asal-asalan terlihat berkilauan di bawah sinar matahari pagi, dan senyumnya begitu tulus saat melayani pelanggan.
Kaivan memperhatikan setiap gerak-gerik Airin dengan diam-diam. Senyumnya, caranya berbicara dengan pelanggan, bahkan cara ia sesekali mengatur barang dagangan. Pandangan samar tentang semua itu membuat hatinya terasa hangat, perasaan yang lama tak ia rasakan.
"Kenapa aku tidak menyadarinya lebih awal?" gumam Kaivan dalam hati, tapi ekspresi di wajahnya tetap dingin.
Saat Airin selesai melayani pelanggan terakhir pagi itu, ia berbalik ke arah Kaivan dan berkata, "Kak, mau aku buatkan teh hangat?"
Kaivan mengangguk pelan, tetap menjaga sikap tenangnya. "Terserah kau saja," jawabnya datar.
Namun, ketika Airin beranjak ke dapur, ia kembali mencuri pandang. Kali ini lebih lama, lebih dalam. Ada sesuatu tentang Airin yang membuatnya ingin tetap diam, ingin terus mengamati, meski tanpa kata-kata.
Ia tahu, cepat atau lambat, ia harus mengungkapkan bahwa penglihatannya mulai membaik. Tapi untuk saat ini, Kaivan menikmati momen-momen kecil ini. Momen di mana ia bisa merasakan kehangatan tanpa harus berbicara banyak.
***
Fajar mulai menyingsing, sinar matahari pagi menyusup melalui celah-celah jendela kamar. Kaivan terbangun lebih awal dari biasanya. Dengan tenang, ia memiringkan tubuhnya ke arah Airin yang masih tertidur lelap di sampingnya. Wajahnya yang damai tersinari lembut oleh cahaya pagi.
Untuk pertama kalinya, setelah berminggu-minggu menjalani pengobatan, Kaivan akhirnya bisa melihat dengan jelas. Ia berkedip perlahan, seolah ingin memastikan bahwa ini bukan sekadar mimpi. Penglihatannya, yang selama ini kabur dan buram, kini terasa jernih. Dadanya terasa penuh, campuran antara rasa syukur dan kebahagiaan menyelimuti dirinya.
Ia menatap Airin, menyerap setiap detail yang kini terlihat begitu jelas. Kulitnya yang halus, alisnya yang melengkung sempurna, hidungnya yang kecil, dan bibirnya yang terlihat begitu lembut. Kaivan tersenyum tipis tanpa sadar, merasakan sesuatu yang hangat menjalari hatinya.
“Penglihatanku sudah pulih...” pikirnya dengan takjub, nyaris seperti bisikan di dalam kepalanya. Ia mengepalkan tangan, menahan dorongan untuk bangkit dan bersorak kegirangan. Namun, tatapannya kembali tertuju pada Airin, yang terlihat begitu damai dalam tidurnya.
Kaivan tertegun. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa istrinya jauh lebih cantik dari apa yang ia bayangkan selama ini. Sekilas, ia bisa melihat guratan lelah di wajah Airin, mungkin hasil dari kerja kerasnya mengurus toko, rumah, dan dirinya.
Kaivan menatap wajah Airin yang damai dalam tidur, perasaan takjub menyelimuti hatinya. Ia menghela napas perlahan, berusaha meredakan kekaguman yang perlahan berubah menjadi rasa hangat di dadanya.
“Bagaimana bisa aku menikahi gadis secantik ini… dalam kondisiku yang buta, tanpa harta, tanpa harapan?” gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan pada dirinya sendiri.
Matanya kembali menelusuri guratan halus di wajah Airin, dan ia menyadari ada sesuatu yang lebih dari sekadar kecantikan fisik. “Dia tidak hanya cantik… dia tulus. Dia sabar. Dia… lebih dari apa yang pantas aku dapatkan.”
Kaivan tersenyum tipis, sebuah senyum yang jarang muncul di wajahnya. “Tuhan benar-benar memberiku kesempatan kedua,” gumamnya lagi, suaranya terdengar hampir bergetar.
Ia menahan keinginan untuk menyentuh wajah Airin, takut membangunkannya. “Aku harus melindungi dia. Harus. Aku tidak boleh mengecewakannya… lagi.”
Kaivan menghela napas panjang, tatapannya kini penuh rasa syukur yang tulus, bercampur dengan tekad yang perlahan tumbuh di hatinya.
Kaivan menahan napas, takut gerakannya akan membangunkan Airin. Dalam diam, ia merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ada rasa kagum, hangat, dan mungkin... keterikatan yang mulai tumbuh di hatinya.
Namun, ia memilih untuk tidak memberitahu Airin tentang kesembuhannya. Ada sisi jail yang perlahan muncul dalam dirinya, sebuah keinginan untuk menikmati perhatian Airin lebih lama. Ia tidak bisa memungkiri betapa menyenangkan rasanya saat Airin menyuapinya dengan sabar, memandu langkahnya dengan telaten, atau bahkan memandikannya dengan hati-hati. Setiap momen itu, meski sederhana, membuatnya merasa dimanjakan dengan cara yang tidak pernah ia alami sebelumnya.
“Biarkan saja dulu,” gumamnya pelan, sambil menatap wajah Airin yang tetap damai dalam tidurnya. Ada senyum tipis yang muncul di bibir Kaivan, tanda bahwa ia diam-diam menikmati kebahagiaan kecil yang tak ingin segera ia lepaskan.
Ia tahu, seharusnya ia mengungkapkan segalanya, tetapi ada bagian dalam hatinya yang ingin menikmati semua itu sedikit lebih lama. Lagipula, ia juga berencana memberikan kejutan pada Airin di waktu yang tepat.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Semangat Thour.
awas lho Airin.... diam-diam tingkahmu bikin Ivan lama-lama tegang berdiri loh . Kaivan tentu laki-laki normal lama-lama pasti akan merasakan yang anu-anu 🤭🤭😂😂😂
mungkinkah Ivan akan segera mengungkapkan perasaannya , dan mungkinkah Airin akan segera di unboxing oleh Ivan .
ditunggu selalu up selanjutnya kak Nana ...
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
aduuh sakit perut ku ngebayangin harus tetap tenang disaat hati sedang kacau balau 😆😆😆
pagi pagi di suguhkan pemandangan yang indah ya Kaivan...
hati hati ada yang bangun 😆😆😆😆
maaf ya Airin.... Ivan masih ingin di manja kamu makanya dia masih berpura-pura buta .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
Sebaiknya kaivan lg lama2 memberitahukan kabar baik istrimu dan nenekmu krn airin dan nenek asih sangat tulus dan ikhlas jgn ragukan lg mereka...
Kaivan sangat terpesona kecantikan airin yg alami,,,baik hati sangat tulus dan ikhlas dan dgn telaten merawat kaivan...
Bagus airin minta pendapat suamimu dulu pasti suami akan memberikan solusinya dan keluarnya dan kaivan merasa dihargai sm istrinya....
Lanjut thor........
jgn lm lm..ksh kjutannya .takutny airin jd slh phm pas tau yg sbnrny.
semoga kejutan nya gak keduluan juragan Wongso