Ayu menggugat cerai suaminya karena tak ingin dimadu. Memiliki tiga orang anak membuat hidupnya kacau, apalagi mereka masih sangat kecil dan butuh kasih sayang yang lengkap, namun keadaan membuatnya harus tetap kuat.
Sampai pada suatu hari ia membanting setir menjadi penulis novel online, berawal dari hobi dan akhirnya menjadi miliarder berkat keterampilan yang dimiliki. Sebab, hanya itu yang Ayu bisa, selain bisa mengawasi anak-anaknya secara langsung, ia juga mencari wawasan.
Meskipun penuh rintangan tak membuat Ayu patah semangat. Demi anak-anaknya ia rela menghadapi kejam ya dunia sebagai single Mom
Bergulirnya waktu, nama Ayu dikenal di berbagai kalangan, disaat itu pula Ikram menyadari bahwa istrinya adalah wanita yang tangguh. Berbagai konflik pun kembali terjadi di antara mereka hingga masa lalu yang kelam kembali mencuat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadziroh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengembalikan
Hanan tersenyum lebar. Beberapa mainan yang ada di tangannya jatuh seketika. Matanya berbinar seolah bertemu dengan ibu kandungnya. Berhamburan memeluk Harini yang masih terisak di ambang pintu.
Harini semakin sesenggukan. Mengusap pelan pucuk kepala Hanan yang terbenam di perutnya.
"Kenapa mama pulangnya lama? Aku kangen," ucap Hanan tanpa melepas pelukannya.
Harini mengusap air matanya. Mencoba tegar saat berada di depan anak-anak. Meskipun hatinya tersayat melihat mereka, ia tetap tersenyum.
"Maafkan mama, Sayang. Kali ini mama tidak akan meninggalkan kamu dan adik-adik lagi,'' ujar Harini dari hati.
Melihat keadaan mereka yang jauh dari kata baik membuat hatinya tersentuh dan tidak ingin kembali ke luar negeri lagi.
Berbeda dengan Hanan yang langsung mengenal Harini. Adiba dan Alifa justru bersembunyi di balik sofa. Mereka menyembulkan kepalanya melihat Hanan yang tertawa renyah.
Ninik yang sedang menyiapkan minuman malah tertawa kecil melihat aksi lucu kedua putri Ayu.
"Mama kamu ke mana, Nak? tanya Harini. Matanya menyusuri ruangan rumah Ninik. Lalu duduk di kursi ruang tamu.
"Ayu kerja, Mbak," sahut Ninik yang baru saja keluar dari dapur.
Alifa dan Adiba bersandar lagi. Mendengarkan percakapan dari arah sofa. Ia belum berani menampakkan diri, takut dengan orang yang belum dikenal.
"Kerja apa?" tanya Harini sambil berdiri. Teringat dengan kedua keponakannya yang tak nampak di depannya.
"Kerja serabutan," jawab Ninik seperti ucapan Ayu kala itu.
Harini berjongkok di depan Alifa dan Adiba diikuti Hanan yang juga lupa belum memperkenalkan wanita tersebut.
"Ini mama Harini, Dik." Menunjuk Harini yang terus mengulas senyum.
Alifa terdiam. Ia masih menatap intens wanita yang merentangkan kedua tangannya. Wajahnya memang sangat asing di mata mereka, namun tak membuat kedua bocah itu takut.
Adiba langsung beranjak dan memeluk Harini seperti yang dilakukan Hanan.
"Ini mama Harini, Dek. sini!" Hanan melambaikan tangannya ke arah Alifa yang masih malu-malu kucing.
Sama seperti Hanan, Ninik pun seolah mendorong bocah itu untuk segera mendekat.
"Sini!" imbuh Harini meyakinkan.
Alifa yang merasa tergiur itu pun berlari kecil dan berhamburan memeluk Harini seperti kakak dan adiknya.
Tangis Harini kembali pecah. Mendekap ketiga keponakannya. Tidak menyangka kehidupan mereka jauh dari kata baik hingga membuat hatinya tersayat.
"Apa kalian sudah makan?" tanya Harini terputus-putus. Menciumi pipi Alifa dan Adiba bergantian. Sedangkan Hanan lebih memilih untuk menghindar. Ia yang sudah besar malu jika di cium layaknya anak kecil.
"Sudah, Ma," jawab mereka serempak.
Bagaimana bisa ikram melupakan mereka. Apa dia sudah buta lebih memilih wanita itu daripada darah dagingnya sendiri.
Hanan mulai bercerita tentang kesehariannya hingga membuat Harini bisa tersenyum lagi.
Ayu yang tiba di ujung jalan menghentikan motornya saat melihat Ikram berdiri disamping mobil. Membuka kaca helm demi memastikannya lagi.
Mas Ikram, ngapain dia ada di situ. Apa dia mau bertemu dengan anak-anak?
Dari lubuk hati Ayu ingin menyapa mantan suaminya, namun di urungkan, takut terjadi salah paham karena saat ini ia bukanlah siapa-siapa bagi pria tersebut.
Ayu kembali menyalakan motornya. Melintasi mobil Ikram yang terparkir di tepi jalan. Pura-pura tidak melihat.
Berbeda dengan Ayu, Ikram justru bisa mengenali sang mantan. Meskipun wajahnya tertutup helm tak membuat Ikram lupa.
Terpaksa Ayu menghentikan motornya lagi. Ia menoleh ke arah Ikram yang membuka pintu mobil.
"Kenapa mas Ikram memanggilku?" gumam Ayu lirih. Menebak-nebak apa yang membuat pria itu mau memanggil nya.
Ikram berlari kecil menghampiri Ayu yang masih duduk di motor. Tanpa banyak kata ia menyodorkan dompet yang sejak lama ditemukannya.
"Ini dompet mu, kan?" tanya Ikram.
Ayu mengangguk kecil. Ia masih bingung dengan barang miliknya yang ada di tangan Ikram, sedangkan dompet itu sudah hilang lumayan lama.
Ayu menerima benda itu lalu memeriksa isinya. Ternyata tidak ada yang hilang. Bahkan uang dua ratus ribu masih ada di dalamnya.
"Aku menemukannya di hotel tempat aku mengadakan pesta pernikahan," ucap Ikram gamblang. Seolah memamerkan pada Ayu bahwa ia sudah menikah lagi.
"Terima kasih," ucap Ayu singkat. Kembali menyalakan mesinnya dan berlalu meninggalkan Ikram.
Ayu menoleh ke arah rumah Ninik. Lalu menghentikan motornya tepat di depan rumah. Melepas sepatu dan juga tas serta jaket yang membalut tubuhnya. Meletakkan di kursi teras, setelah itu ke rumah Ninik untuk menjemput anak-anak.
"Assalamualaikum…" sapa Ayu sedikit berteriak.
Tidak ada siapapun, rumah Ninik nampak sepi, bahkan tak ada tanda-tanda penghuni di sana.
"Bu Ninik ke mana ya? Apa dia mengajak anak-anak bermain?"
Ayu kembali menyusuri setiap area bermain yang ada di sekitar kontrakan. Mulai sedikit cemas. Sebab, hari sudah mulai gelap, pasti ketiga anaknya belum mandi.
"Mungkin saja mereka nonton sepak bola di lapangan," tebak Ayu.
Di tempat itu sudah biasa jika di sore hari memang ada pertandingan olahraga antar warga hingga membuat suasana berbeda.
Ayu membuka pintu. Betapa terkejutnya saya melihat orang-orang duduk di ruang tengah.
Matanya berhenti pada sosok yang duduk di bagian tepi.
"Mbak Harini," sapa Ayu masih tak percaya.
Harini berdiri. Menghampiri Ayu dengan wajah lelahnya. Mereka berpelukan dengan erat. Mengurai rasa rindu yang selama ini hanya bisa dipendam saja.
"Kapan Mbak pulang?" tanya Ayu sambil mengusap air matanya.
Sebagai wanita tangguh ia malu jika harus meneteskan air mata di depan wanita lain.
"Baru tadi pagi, Yu. Aku pulang ingin bertemu kamu dan anak-anak, tapi aku malah __"
Ayu mendaratkan jarinya di bibir Harini. Memotong pembicaraan wanita itu yang pasti akan membahas tentang masa lalunya.
"Jangan diungkit lagi, Mbak. Aku dan anak-anak sudah bahagia. Mungkin ini adalah jalan yang terbaik untuk aku dan mas Ikram," jelas Ayu ajang lebar.
Berbeda dengan Ayu yang mudah menerima dengan lapang, justru Harini murka dengan kenyataan itu. Ia tak bisa terima dengan keputusan Ikram.
"Seharusnya dia itu mikir pakai otak, Yu. Bukan pake dengkul." Harini menunjuk lututnya.
Ayu tersenyum tipis. Ia bisa mengerti tentang perasaan Harini. Pasti kecewa, marah karena kelakuan Ikram, namun semua sudah berlalu dan tak bisa dikembalikan lagi
"Apa mbak Harini sudah makan?" tanya Ayu mengalihkan pembicaraan.
Takut kalau wanita itu berlarut membahas tentang masalahnya dan Ikram yang sudah berlalu.
Harini menggeleng. Semenjak tiba ia tidak selera makan setelah mendapati kenyataan yang pahit itu.
Malam ini kita akan makan di sini, aku yng masak.
Ayu meninggalkan ruang tamu. Ia masuk ke kamar dan menutup pintu supaya tidak ada yang tahu bahwa ia juga menangis pilu. .
kueh buat orang susah ga harus yg 500rb
servis sepedah 500rb
di luar nalar terlalu di buat2