"Kak, ayo menikah?" Vivi yang masih memakai seragam putih merah itu tiba-tiba mengajak Reynan menikah. Reynan yang sudah SMA itu hanya tersenyum dan menganggapnya bercanda.
Tapi setelah hari itu, Reynan sibuk kuliah di luar negri hingga S2, membuatnya tidak pernah bertemu lagi dengan Vivi.
Hingga 10 tahun telah berlalu, Vivi masih saja mengejar Reynan, bahkan dia rela menjadi sekretaris di perusahaan Reynan. Akankah dia bisa menaklukkan hati Reynan di saat Reynan sudah memiliki calon istri?
~~~
"Suatu saat nanti, kamu pasti akan merindukan masa kecil kamu, saat kamu terluka karena cinta..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22
"Akhirnya sampai di rumah juga." Vivi menghempaskan tubuhnya di atas ranjang setelah pulang dari rumah sakit malam hari itu. Sebenarnya dari siang hari dia sudah boleh pulang tapi karena menunggu hasil pemeriksaan Reynan juga, akhirnya baru sampai rumah di malam hari.
Dia merasa sangat nyaman saat tidur di ranjang empuk itu sampai dia lupa dengan pemilik ranjang itu sedang mengintainya.
Tentu saja Reynan tersenyum miring melihat Vivi yang sedang terlentang di tengah ranjang sambil memejamkan kedua matanya. Dia naik ke atas ranjang dan menindih tubuh sexy itu.
"Kak Rey." Tangan yang akan mendorong tubuh Reynan justru dikunci oleh Reynan. Dia sangat terkejut karena rupanya Reynan lebih frontal menggodanya. "Kak Rey, lepasin! Mau apa?"
"Melakukan apa yang biasanya kamu lakukan sama aku. Dari tadi kamu sama sekali tidak peduli denganku."
"Masa peduli dan perhatian aku sudah kadaluarsa."
"Oke, kalau begitu aku akan menambah masa aktif perhatianku buat kamu." Reynan membungkukkan dirinya dan mengendus leher Vivi yang seputih susu itu.
"Kak Rey, jangan gini. Ini penganiayaan. Kak Rey!" Vivi semakin menggelengkan kepalanya. Rupanya apa yang dilakukan Reynan jauh lebih berani dari apa yang dilakukannya dulu. Bisa roboh benteng yang telah dia bangun sendiri. "Kak Rey!" Vivi berusaha melepas diri dari Reynan hingga perban di pipinya terkelupas karena bergesekan dengan kepala Reynan. "Aw!"
Seketika Reynan melepas kedua tangannya. "Vivi, makanya jangan banyak gerak."
"Kak Rey, jangan aniaya aku." Vivi bangun dan melihat lukanya di cermin. "Aduh perih."
"Sini, aku obati." Reynan mengambil perban dan obat Vivi yang dia bawa dari rumah sakit. Kemudian dia menggeser kursi mendekat. "Sini."
"Biar aku sendiri saja."
"Tidak! Aku sudah berjanji pada kedua orang tua kamu untuk merawat kamu."
"Kak Rey, jangan pernah sentuh aku kayak barusan."
"Kenapa? Kan kita suami istri. Kamu sendiri kan yang menantang aku. Lupa?" Reynan melepas perban di pipi Vivi lalu membersihkan luka itu secara perlahan.
"Ih, pokoknya aku gak mau. Kak Rey lebih baik diam aja kayak dulu, jadi es batu yang keras!" kata Vivi sambil sesekali meringis kesakitan saat luka itu diobati Reynan.
Reynan hanya tersenyum. Es yang keras itu kini telah mencair karena kehangatan Vivi. Dia pasti akan meluluhkan hati Vivi, dan mengembalikan Vivi seperti dulu lagi.
"Kalau luka di pipi kamu membekas, nanti kamu operasi plastik saja biar pipi kamu kembali mulus."
Vivi hanya terdiam tak mengiyakan perkataan Reynan. Dia justru mengingat goresan pisau yang menyakitkan itu di pipinya.
"Sudah. Jangan tidur dulu, kita makan dulu. Sudah di tunggu Mama dan Papa di meja makan."
Vivi tak menjawabnya. Dia keluar begitu saja meninggalkan Reynan.
"Belum reda juga amarahnya." Reynan menggelengkan kepalanya. Dia sudah terbiasa diperhatikan dan digoda Vivi tapi sekarang Vivi justru acuh padanya, rasanya sangat tidak nyaman. Sepertinya dia terlambat menyadari semua yang dia rasakan.
Kemudian Reynan keluar dari kamar dan menyusul Vivi duduk di ruang makan. Dia duduk di sebelah Vivi yang sudah mengambil sepiring nasi dan lengkap dengan lauknya.
Reynan hanya menggaruk tengkuk lehernya dan menatap Vivi. Sudah hampir satu bulan itu dia selalu dilayani Vivi saat makan, meskipun dia sempat membentaknya tapi Vivi tetap melakukannya, dan sekarang Vivi sudah tidak melakukan untuknya. Sepertinya benar, masa perhatian itu telah kadaluarsa.
Tidak apalah, pasti dia bisa membuat Vivi perhatian seperti dulu lagi. Reynan kini mengambil nasi dan lauknya sendiri lalu mulai memakannya.
"Selesai makan, Papa mau bicara dengan kalian berdua. Jangan ke kamar dulu."
Reynan hanya menganggukkan kepalanya. Kira-kira apa yang akan Papanya katakan. Terlihat sangat penting.
Setelah makanan mereka habis, Reynan dan Vivi tetap berada di tempatnya.
"Jadi aku gak ada kepentingan nih, aku ke kamar dulu ya," kata Raina.
"Iya, kamu ke kamar saja. Akhir-akhir ini kamu sibuk casting, pasti sangat capek."
"Iya, Ma. Aku ke kamar dulu ya." Kemudian Raina berdiri dan berjalan menuju kamarnya.
"Rey, Papa sudah dengar masalah kamu yang menemui Lena secara diam-diam lalu Vivi diculik," kata Rangga memulai pembahasan malam hari itu.
"Iya, Pa. Aku mengaku salah."
"Kamu sudah memutuskan untuk menikahi Vivi. Apapun alasan kamu, kamu tidak boleh mencari Lena, apalagi membuat janji hanya berdua seperti itu. Apa kamu memikirkan bagaimana perasaan Vivi?"
"Iya Pa, tapi aku menemui Lena untuk mengetahui posisi Arga."
"Bohong!" sahut Vivi.
"Memang apa yang kamu dengar?" Reynan kini menatap Vivi.
"Aku lihat sendiri Kak Rey menghapus air mata Lena, dan bilang aku akan bantu kamu. Kalau seandainya aku tidak diculik Arga, Kak Rey pasti akan kembali dengan Lena dan meninggalkan aku begitu saja."
"Kamu gak dengar versi lengkapnya?"
"Nggaklah, aku pergi karena aku udah terlanjur sakit hati dengan Kak Rey."
Rani berusaha menahan tawanya melihat mereka bertengkar. Semua itu mengingatkan dirinya semasa muda dulu bersama Rangga. Semakin mereka berdebat semakin terlihat rasa cinta itu.
"Rey, kamu salah." Rangga memotong berdebatan mereka. "Rey, selama ini Vivi sangat tulus mencintai kamu, bahkan dia bisa menerima kondisi kamu apa adanya dan membantu kesembuhan kamu, tapi kamu masih mengharapkan Lena?"
"Papa aku tidak mengharapkan Lena sama sekali. Kalau ada rekaman cctv di restoran itu aku akan ambil biar Vivi dan Papa tahu apa yang aku bahas waktu itu."
"Bagi Papa keterangan Vivi sudah jelas."
"Papa, aku anak kandung Papa, kenapa malah membela Vivi?"
"Vivi juga anak Papa dan mulai sekarang yang menjadi direktur utama di perusahaan Papa adalah Vivi. Kamu jadi sekretaris menggantikan posisi Vivi."
Seketika senyum lebar mengembang di bibir Vivi.
"Tidak bisa begitu, Pa. Vivi sama sekali tidak ada pengalaman."
"Papa yakin, Vivi bisa, walaupun dia hanya lulusan S1. Nanti biar dibimbing sama Farid."
"Farid? No! Aku semakin tidak setuju! Farid tidak boleh menjadi assistant Vivi!"
"Kenapa? Kamu cemburu kalau Farid dekat dengan Vivi?" tanya Rani. Dia juga ingin menggoda putra sulungnya itu.
"Iya, aku cemburu, karena Farid punya perasan lebih pada Vivi." Akhirnya Reynan mengakui jika dia cemburu dengan Farid.
"Farid itu profesional, dia tidak mungkin menggoda Vivi."
Reynan berdengus kesal lalu melipat kedua tangannya dan bersandar. Sepertinya kedua orang tuanya memang sengaja bersekongkol dengan Vivi.
"Papa akan mengembalikan jabatan kamu kalau kamu sudah memberikan kami cucu."
Kini senyum di bibir Reynan yang mengembang sedangkan Vivi sangat terkejut mendengar hal itu. Ini diluar prediksinya.
"Oke, aku akan buat cucu sekarang juga."
Vivi segera berlari ke kamar Raina. Untung kamar itu belum terkunci. Dia masuk dan mengunci pintu kamar itu dari dalam. "Rain, tolong aku. Aku akan diterkam kakak kamu."
"Hah?"
💞💞💞
🤭🤭🤭
bersyukur dpt suami yg bucin
slah htor