Yang baik hati boleh follow akun ig di bawah.
ig: by.uas
Tag: comedy, slice of life, sistem, Kaya raya, semi-harem.
Jadwal Update: Random—kalo mau upload aja.
Sypnosis:
Remy Baskara, pemuda sebatang kara tanpa pekerjaan, sudah lelah dengan hidupnya yang hampa. Saat hampir mengakhiri hidupnya, tiba-tiba sebuah suara menggema di kepalanya.
[Sistem "All In One" telah terikat kepada Host...]
Dengan kekuatan misterius yang bisa mengabulkan segala permintaannya, Remy bertekad mengubah nasibnya—membalas semua yang menindasnya dan menikmati hidup yang selama ini hanya ada dalam angannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bayu Aji Saputra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 22 - Ketemu pak Kaladin
Remy berjalan perlahan keluar dari gang, tubuhnya masih terasa panas karena adrenalin.
Napasnya terengah-engah, tapi wajahnya tetap datar.
Tidak ada bekas darah atau jejak pertarungan yang tertinggal—sistem telah membersihkan semuanya dengan sempurna.
Dia melirik ke jalan utama. Di kejauhan, dia melihat Laila berdiri di bawah lampu jalan, tubuhnya gemetar, wajahnya penuh kekhawatiran.
"Laila," panggil Remy dengan nada pelan, tapi cukup jelas untuk membuat gadis itu tersentak.
Laila berlari menghampirinya, napasnya berat, dan air mata menggenang di sudut matanya. "Rem, lo gak apa-apa?! Mereka tadi—mereka bawa senjata, dan gue pikir lo bakal—"
Remy menyentuh bahunya, menghentikan kata-kata Laila. "Gue masih berdiri, kan?" Dia mengerutkan dahi. "Lo kenapa balik lagi? Kan gue bilang lari."
Laila menatapnya dengan campuran rasa bersalah dan marah. "Lo pikir gue bakal lari ninggalin lo? Gue udah cari bantuan! Ada polisi di arah sana. Tapi mereka gak bisa cepet ke sini!"
Remy tertawa kecil, lalu mengusap lehernya. "Polisi? Buang-buang waktu aja. Mereka gak bakal ngerti apa yang barusan terjadi."
Remy hanya bisa menggeleng sambil tersenyum miring, menatap Laila yang masih penuh emosi. "Denger, ya. Lain kali, kalo gue bilang cabut, lo cabut. Jangan main balik lagi kayak pahlawan kesiangan. Dunia ini gak kayak drama Korea."
Laila mendengus, tapi air matanya mulai surut. "Drama Korea kepala lo. Lo pikir lo siapa? Superhero? Rem, mereka itu bawa senjata beneran! Lo bisa mati, ngerti?"
"Well," Remy melirik ke tangannya yang sudah kosong tanpa bekas darah atau apapun, "keliatannya gue gak mati, ya?" Dia memasang ekspresi santai, tapi ada sedikit cengiran yang mencoba menenangkan Laila.
Laila memukul lengannya dengan kesal. "Ini gak lucu, tahu!"
Remy mendesah panjang, lalu menunjuk ke arah jalan utama. "Ayo balik ke kostan, gue laper banget ege."
Laila masih tampak ragu, tapi akhirnya dia mengikuti Remy sambil menggerutu. "Bokap gue kuat banget kenapa gue lemah sih?."
"Kayaknya pas lo lahir, semua statistik buat berantem di ubah jadi pesona deh" Remy meliriknya sekilas. "Kalo gue gak ada, lo pikir apa yang bakal terjadi tadi?"
Laila menepuk punggung Remy kuat-kuat. "Sialan lo! malah gombal."
Di tengah perjalanan, Remy berhenti mendadak. "Eh, ngomong-ngomong, polisi yang lo bilang tadi mana? Kok gak ada yang nongol?"
Laila menunjuk ke arah jalan besar dengan kesal. "Itu mereka lagi nanya-nanya ke tukang bubur. Gue kasih tau mereka ada masalah di gang, mereka malah pesen makanan dulu. Paham gak? PESEN BUBUR!"
Remy menahan tawa, tapi akhirnya gagal. Dia tertawa keras, hampir terjungkal ke belakang. "Serius? Polisi kita doyan bubur! Keren. Lo sampe harus bersaing sama abang tukang bubur buat perhatian mereka!"
"Remy!" Laila melotot, tapi sulit untuk tetap marah saat melihat tawa lepas Remy.
Setelah beberapa langkah lagi, Remy melirik ke arah Laila yang masih manyun. "Santai aja, Lail. Gue janji, selama lo di deket gue, gak ada yang bakal nyentuh lo."
"Kecuali lo yang kena masalah," jawab Laila, setengah bercanda.
"Gak mungkin sih," Remy mengangkat bahu. "Lagian kalo kena masalah, pasti langsung gue selesein."
Laila menatapnya penuh rasa sebel, tapi sebelum dia bisa bertanya lebih jauh, sebuah mobil berhenti mendadak di depan mereka.
Dari dalam, keluarlah seorang pria berjas hitam dengan wajah serius.
"Nona Laila," katanya dengan nada tegas, meski terdengar sedikit gugup. "Tuan besar ingin bicara dengan Anda. Sekarang."
Remy mendesah pelan, menatap pria berjas hitam yang berdiri kaku di hadapannya. "Tuan besar, ya?" katanya dengan nada malas, tapi matanya tetap awas. "Kayaknya gue tau siapa yang lo maksud."
Laila memutar bola matanya, bersembunyi di balik tubuh Remy. "Rem, jangan sok pahlawan lagi, please."
Pria berjas hitam itu memperbaiki posisi dasinya yang sebenarnya sudah rapi. "Maaf, TuanRem, tapi ini urusan keluarga. Saya harap Anda tidak membuat situasi menjadi lebih rumit."
Remy mendongak sedikit, memasang senyum miring. "Yaudah, anggap aja gue keluarganya."
"Remy!" Laila mencubit lengannya keras-keras, tapi Remy tetap bergeming.
Pria berjas hitam itu menghela napas panjang, jelas tidak ingin berurusan lebih lama. "Kami tidak ada niat buruk terhadap Anda, Tuan. Tapi ini urusan pribadi Tuan Besar. Kami hanya diminta untuk membawa Nona Laila—"
"Urusan pribadi? Serius? Tuan Besar gak bisa pake telepon aja buat ngomong sama anaknya?" potong Remy, nadanya jelas-jelas menyindir.
"Remy!" Laila kini benar-benar panik. "Jangan bikin ribet, oke? Mereka cuma suruhan bokap gue."
Remy memutar badannya, menatap Laila dengan tatapan datar. "La, lo sadar kan tadi lo hampir diculik sama geng-geng yang kerja buat musuh bokap lo? Sekarang bokap lo malah ngirim orang kaya gini buat manggil lo. Aneh gak sih?"
Laila terdiam sejenak, keraguan terlihat di wajahnya. Tapi sebelum dia bisa menjawab, pria berjas hitam itu melangkah maju.
"Nona Laila, saya jamin ini aman. Jika Anda merasa ragu, saya bersedia memberikan bukti bahwa kami benar-benar dari pihak Tuan Besar."
Remy mendengus. "Bukti? Lo pikir ini wawancara kerja? Lo mau nunjukin ID card atau gimana?"
Pria berjas hitam tampak frustrasi, tapi tetap menjaga sikapnya. Dia mengeluarkan sebuah amplop dari dalam jasnya dan menyerahkannya kepada Laila.
Laila membuka amplop itu dengan tangan gemetar. Di dalamnya ada surat dengan tulisan tangan yang sangat dikenalnya—tulisan ayahnya.
......................
...Untuk Laila...
...Segera datang ke rumah. Ini urgen. Jangan percaya siapa pun selain orang ini....
...Dari Ayah...
......................
Laila membaca surat itu beberapa kali, lalu menghela napas panjang. "Oke, ini emang tulisan bokap gue," katanya pelan.
"Yakin lo?" tanya Remy, kali ini nada suaranya lebih serius.
"Yakin," jawab Laila sambil melipat surat itu dan memasukkannya ke saku. "Rem, gue harus pergi. Lo gak usah ikut—"
"Lucu lo," potong Remy cepat. "Gue gak bakal ngelepas lo pergi sendirian sama orang yang bahkan gak punya rasa humor."
Pria berjas hitam itu terlihat bingung. "Maaf, apa hubungannya rasa humor dengan situasi ini?"
"Nah," jawab Remy sambil menunjuk pria itu. "Itu dia masalahnya."
Laila menepuk dahinya. "Remy, plis banget. Gak semua orang bisa bercanda pas lagi serius."
"Makanya mereka stres," balas Remy santai.
Laila ngelus jidat sambil mendesah. "Ya udah, terserah. Tapi lo jangan nyolot di depan bokap gue, oke?"
"Tenang aja. Gue paling pinter ngejaga kesan baik," kata Remy sambil masuk ke mobil, senyumnya masih terpasang lebar.
Setelah masuk ke dalam mobil, suasana jadi hening. Remy duduk dengan santai, kaki disilangkan, sementara Laila terus melirik dia dengan tatapan tajam.
"Lo serius mau ikut?" bisik Laila, mencoba ngomong pelan biar gak kedengeran sama pria berjas di depan.
"Udah telanjur masuk, kan? Lagian, gue mau liat bokap lo. Penasaran, orang macam apa yang bikin gangster segede Jakarta tunduk," jawab Remy sambil nyengir, matanya memandang keluar jendela.
"Remy..." Laila mencubit lengannya, tapi dia cuma nyengir makin lebar.
Setelah perjalanan singkat, mobil berhenti di depan sebuah rumah mewah dengan gerbang tinggi yang dijaga ketat.
Lampu-lampu besar menerangi halaman depan yang luas, bikin tempat itu kelihatan lebih kayak markas mafia daripada rumah keluarga.
Remy turun dari mobil dengan langkah santai, matanya langsung memindai sekeliling. "Wah, bokap lo ini beneran gangster, ya. Gue kira cuma julukan doang."
"Rem, diem plis," desis Laila, mukanya merah karena malu.
Laila cuma bisa menutup wajahnya dengan tangan, sementara Remy senyum lebar, puas karena berhasil bikin suasana lebih ringan.
"Selamat datang, Nona Laila," katanya dengan suara berat. "Tuan Besar sudah menunggu Anda."
Remy melirik pria itu dari atas sampai bawah, lalu berbisik ke Laila. "Ini siapa? Penjaga perpustakaan keluarga lo?"
Laila memutar bola matanya lagi. "Rem, serius, plis. Gue gak mau bokap gue ngamuk gara-gara lo."
"Tenang aja. Gue gak bakal bikin drama. Kan tadi gue udah janji."
kaladin melirik ke arah Remy, lalu kembali menatap Laila. "Siapa ini? Teman Anda?"
Laila mengangguk cepat. "Dia… temen deket, Pak."
Pria itu mengerutkan kening, tapi tidak berkata apa-apa lagi. Dia hanya mengangguk pelan dan mempersilakan mereka masuk.
Remy menoleh ke Laila sambil berbisik. "Temen deket? Serius lo? Jangan-jangan gue bakal dijodohin sama lo lagi."
"Lo diem gak?" Laila mencubit pinggang Remy sambil menahan tawa kecil.
"Uh, sakit tau." lenjeh banget anjing Remy
"Makanya, jangan nyebelin."
Mereka akhirnya sampai di sebuah pintu besar. Pria berjas mengetuk pelan, lalu membukanya.
Di dalam, seorang pria dengan tubuh tegap berdiri membelakangi mereka, memandang keluar jendela besar yang menghadap kota Jakarta di malam hari.
"Masuk," suara berat Kaladin terdengar, bikin suasana makin tegang.
Laila langsung jalan masuk, sementara Remy mengikuti dari belakang dengan santai. Kaladin berbalik, menatap Laila dengan mata tajam.
Wajahnya keras, penuh wibawa, tapi ada sedikit kehangatan di balik tatapan dinginnya.
"Laila," katanya singkat, sebelum matanya beralih ke Remy. "Ini... siapa?"
"Temen aku," jawab Laila buru-buru, jelas mencoba ngehindarin masalah.
"Temen?" Kaladin melirik Remy dari atas ke bawah, matanya tajam kayak scanner. "Kenapa dia ada di sini?"
Remy melangkah maju sedikit, memasang senyum santai. "Nama saya Remy, Pak. Saya ada di sini karena tadi ada insiden kecil, dan kayaknya itu ada hubungannya sama bapak."
Kaladin menaikkan alis, tapi sebelum dia bisa jawab, Laila udah nyela. "Rem, plis jangan mulai."
Remy tetep santai. "Mulai apaan jir. Saya cuma pengen ngerti kenapa anak bapak jadi target gangster di gang sempit."
Kaladin menatap Remy dengan ekspresi yang sulit ditebak, lalu kembali menatap Laila. "Apa yang dia bilang benar?"
Laila mengangguk pelan. "Iya, yah. Mereka tadi nyerang aku di gang, tapi Remy... dia nolongin aku."
Kaladin mendesah panjang, lalu berjalan mendekati Laila.
Dia menaruh tangannya di bahu anaknya dengan lembut, tapi tatapannya penuh kekhawatiran. "Laila, ini yang selalu ayah bilang. Dunia ini keras. Selama kamu masih di sini, mereka akan terus mencoba menyerang."
"Tapi kenapa aku yang jadi target? Mereka mau apa, sih?" Laila memandang ayahnya dengan frustrasi.
Sebelum Kaladin bisa jawab, Remy nyeletuk. "Mereka nyari bapak, jelas. Tapi nyerangnya lewat Laila karena mereka tau kamu titik lemah bapak."
Kaladin melirik Remy lagi, kali ini dengan sedikit rasa kagum. "Kamu pintar juga, ya. Anak muda ini siapa sebenarnya, Laila?"
Laila menghela napas panjang. "Dia... temen satu kost aku, yah."
"Temen yang bisa ngelawan gangster bersenjata?" Kaladin menyipitkan matanya, jelas gak percaya.
Remy cuma cengengesan. "Bapak gak usah terlalu mikirin itu. Yang penting, Laila aman, kan?"
Kaladin akhirnya mengangguk pelan. "Baiklah. Saya berterima kasih atas bantuanmu, Remy. Tapi ini bukan urusan yang bisa diselesaikan oleh anak muda seperti kamu."
Remy menyeringai. "Pak, saya gak suka diremehkan. Lagian, saya udah terlibat. Mau gak mau, saya bakal ada di sini buat ngejaga anak Anda."
Kaladin mendengus kecil, tapi ada sedikit senyum di ujung bibirnya. "Kamu keras kepala, ya. Yaudah, kita lihat sejauh mana kamu bisa bertahan."
Remy ngangguk santai. "Sip"
Suara perut lapar terdengar lumayan nyaring di sana, Remy nyengir.
Laila mukul lengannya lagi. "Rem, serius dikit bisa gak sih?!"
Kaladin akhirnya tertawa kecil. "Laila, ayah suka anak ini. Dia lucu."
Laila cuma bisa menutup wajahnya dengan tangan, sementara Remy senyum lebar, puas karena berhasil bikin suasana lebih ringan.