Di tahun 2145, dunia yang pernah subur berubah menjadi neraka yang tandus. Bumi telah menyerah pada keserakahan manusia, hancur oleh perang nuklir, perubahan iklim yang tak terkendali, dan bencana alam yang merajalela. Langit dipenuhi asap pekat, daratan terbelah oleh gempa, dan peradaban runtuh dalam kekacauan.
Di tengah kehancuran ini, seorang ilmuwan bernama Dr. Elara Wu berjuang untuk menyelamatkan sisa-sisa umat manusia. Dia menemukan petunjuk tentang sebuah koloni rahasia di planet lain, yang dibangun oleh kelompok elite sebelum kehancuran. Namun, akses ke koloni tersebut membutuhkan kunci berupa perangkat kuno yang tersembunyi di jantung kota yang sekarang menjadi reruntuhan.
Elara bergabung dengan Orion, seorang mantan tentara yang kehilangan keluarganya dalam perang terakhir. Bersama, mereka harus melawan kelompok anarkis yang memanfaatkan kekacauan, menghadapi cuaca ekstrem, dan menemukan kembali harapan di dunia yang hampir tanpa masa depan.
Apakah Elara dan Orion mampu m
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18: Prometheus
Elara berdiri membeku, napasnya terengah-engah, memandangi sosok yang tampak seperti bayangan kematian itu. Pria yang menyebut dirinya Prometheus adalah sesuatu yang tak pernah dia bayangkan. Tubuhnya seperti perpaduan sempurna antara manusia dan mesin, dengan lapisan armor hitam yang tampaknya menyatu dengan kulitnya. Matanya bersinar merah, seperti api yang tak akan padam.
"Prometheus," gumam Ardan, suaranya gemetar. "Itu bukan hanya nama proyek. Dia adalah senjata hidup mereka."
Prometheus melangkah maju, gerakannya begitu halus dan mematikan. "Kalian telah menghancurkan banyak fasilitas Eden," katanya dengan nada rendah, tetapi setiap kata terasa seperti ancaman yang menghantam dada mereka. "Tapi di sini, di Jejak Darah, semua berakhir. Dunia akan tunduk pada kehendak Eden, dan aku akan memastikan itu."
Elara mengangkat senjatanya, matanya penuh kebencian. "Kami tidak akan membiarkan itu terjadi."
Prometheus tersenyum tipis, senyum yang dingin dan tanpa jiwa. "Maka aku akan mulai dengan menghancurkan kalian."
---
Prometheus bergerak begitu cepat sehingga mereka hampir tidak bisa bereaksi. Dalam sekejap, dia sudah berada di depan Jarek, menghantamkan tangannya yang berlapis logam ke dada pria itu. Suara tulang patah terdengar jelas, dan Jarek terlempar ke dinding, darah memuncrat dari mulutnya.
"JAREK!" teriak Elara, tetapi dia tidak punya waktu untuk meratapi. Prometheus berbalik padanya dengan kecepatan yang mengerikan.
Elara menembak tanpa henti, peluru-peluru menghantam tubuh Prometheus tetapi hanya memantul dari armornya. "Tidak mungkin..." gumamnya dengan ketakutan.
Prometheus mengangkat tangannya, dan dari armor di lengannya, bilah logam panjang muncul, tajam seperti pisau bedah. Dengan gerakan cepat, dia menyerang Elara, tetapi dia berhasil menghindar tepat waktu.
"Kita butuh strategi!" teriak Ardan sambil menembak dari sudut lain. "Serang titik lemahnya!"
"Di mana titik lemahnya?" jawab Nadia panik sambil terus menembak.
Prometheus tertawa dingin. "Tidak ada titik lemah."
Dia mengangkat kedua tangannya, dan dari tubuhnya, energi elektromagnetik dilepaskan, menciptakan gelombang yang menghancurkan semua peralatan elektronik di sekitar mereka. Malik, yang sedang mencoba membuka pintu keluar, berteriak ketika laptopnya meledak di tangannya.
"Dia mematikan sistem kita!" seru Malik.
"Kalau begitu kita lawan dia dengan cara lama!" Elara mencabut pisau dari sabuknya, matanya penuh tekad. "Serang dia dari semua sisi. Jangan biarkan dia memusatkan serangan pada satu orang!"
Nadia, Malik, dan Ardan mengangguk, meskipun ketakutan terlihat jelas di wajah mereka. Mereka bergerak bersama, menyerang Prometheus dari berbagai arah.
Elara melompat ke punggung Prometheus, mencoba menusukkan pisaunya ke leher pria itu. Tapi armor Prometheus begitu keras sehingga pisau itu hanya tergelincir, tanpa meninggalkan goresan sedikit pun.
Prometheus meraih Elara dan melemparkannya ke lantai dengan kekuatan yang cukup untuk membuat tulang punggungnya terasa retak. Dia berusaha bangkit, tetapi rasa sakit menusuk tubuhnya.
Sementara itu, Ardan berhasil melemparkan granat ke arah Prometheus. Ledakan besar mengguncang ruangan, dan untuk sesaat, asap menutupi pandangan mereka.
"Tidak mungkin dia selamat dari itu," kata Malik dengan napas terengah-engah.
Namun, ketika asap mulai hilang, sosok Prometheus masih berdiri di tempat yang sama, tidak terluka sedikit pun. "Senjata kalian tidak ada artinya," katanya dengan dingin.
---
Prometheus menyerang lagi, kali ini mengincar Malik. Dengan satu ayunan tangannya, dia memotong tubuh Malik seperti selembar kertas. Darah menyembur ke mana-mana, dan tubuh Malik jatuh ke lantai, terbelah menjadi dua.
"NOOO!" teriak Nadia, air matanya mengalir deras.
Prometheus berjalan mendekatinya, tetapi sebelum dia bisa menyerang, Ardan melemparkan pisau yang mengenai mata kiri Prometheus. Itu tidak melukai pria itu, tetapi cukup untuk mengalihkan perhatiannya.
"Ambil waktu untuk kabur, Nadia!" teriak Ardan.
"Tapi—"
"Pergi! Sekarang!"
Nadia akhirnya berlari menuju salah satu pintu keluar, tetapi Prometheus berbalik dengan cepat dan menembakkan bilah logam kecil dari lengannya. Bilah itu menembus punggung Nadia, dan dia jatuh tersungkur di lantai, darah mengalir dari tubuhnya.
Elara yang menyaksikan semuanya merasa amarahnya memuncak. "Kau akan membayar untuk ini!"
Dia menyerang Prometheus lagi, kali ini menggunakan senjata api yang dia ambil dari Nadia. Dia menembak ke arah sambungan armor di leher Prometheus, tetapi serangannya lagi-lagi tidak menghasilkan apa-apa.
Prometheus menangkap senjata itu dan menghancurkannya dengan tangan kosong. "Kau keras kepala," katanya. "Tapi kau hanya manusia. Lemah."
---
Ketika Elara hampir kehilangan harapan, Ardan berteriak, "Elara! Kadir meninggalkan sesuatu di sakunya!"
Elara merogoh saku jaketnya dan menemukan perangkat kecil berbentuk kapsul. Itu adalah granat EMP yang diberikan Kadir sebelum mereka memasuki fasilitas.
Dengan cepat, dia mengaktifkan granat itu dan melemparkannya ke arah Prometheus. "Ambil ini!"
Granat itu meledak, menciptakan gelombang energi yang langsung melumpuhkan Prometheus. Armor di tubuhnya mulai bergetar, dan dia jatuh ke lantai, tubuhnya bergerak-gerak tak terkendali.
Elara tidak menyia-nyiakan waktu. Dia mengambil bilah logam dari salah satu penjaga yang tewas dan menusukkannya ke leher Prometheus, tepat di celah kecil antara armor dan kulitnya. Kali ini, darah—campuran merah dan hitam—menyembur keluar.
Prometheus mengeluarkan suara seperti raungan binatang, tetapi akhirnya tubuhnya terkulai lemas.
"Dia... dia sudah mati," gumam Ardan, suaranya lelah.
Elara berdiri dengan napas terengah-engah, tubuhnya dipenuhi luka dan darah. Dia menatap tubuh Prometheus dengan perasaan campur aduk—kemenangan, tetapi juga kehilangan.
"Kita kehilangan terlalu banyak," katanya lirih.
---
Namun, sebelum mereka bisa beristirahat, alarm lain berbunyi. Suara mekanis terdengar dari pengeras suara.
"Protokol penghancuran otomatis diaktifkan. Fasilitas akan dihancurkan dalam 10 menit."
"Kita harus keluar dari sini!" seru Ardan.
Mereka berlari menuju jalan keluar, melompati puing-puing dan menghindari ledakan yang mulai terjadi di seluruh fasilitas. Ketika mereka akhirnya mencapai permukaan, mereka melihat Jejak Darah mulai runtuh, menelan semua yang ada di dalamnya.
Elara berdiri diam sejenak, menatap kehancuran di depan matanya. "Ini belum selesai," gumamnya. "Eden masih ada. Dan aku akan memastikan mereka hancur, apa pun yang terjadi."
Ardan menepuk bahunya. "Kita akan melakukannya bersama. Untuk Nadia, Malik, dan semua orang yang sudah mereka hancurkan."
Elara mengangguk, matanya penuh tekad. "Ini baru permulaan."