Anna seorang gadis desa yang memiliki paras cantik. Demi membayar hutang orang tuanya Anna pergi bekerja menjadi asisten rumah tangga di satu keluarga besar.
Namun ia merasa uang yang ia kumpulkan masih belum cukup, akan tetapi waktu yang sudah ditentukan sudah jatuh tempo hingga ia menyerah dan memutuskan untuk menerima pinangan dari sang rentenir.
Dikarenakan ulah juragan rentenir itu, ia sendiri pun gagal untuk menikahi Anna.
"Aku terima nikah dan kawinnya...." terucap janji suci dari Damar yang akhirnya menikahi Anna.
Damar dan Anna pada hari itu di sah kan sebagai suami dan istri, Namun pada suatu hari hal yang tidak di inginkan pun terjadi.
Apa yang terjadi kelanjutan nya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MomoCancer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
"Brengs*k! Kenapa jadi begini, aku ingin pria itu diusir warga kampung, bukan malah menjadi suami Anna, kalian! Kalian .. buat mereka jera, aku punya rencana .."
Anton dan beberapa kaki tangannya pun, merencanakan sesuatu untuk memberikan pelajaran kepada Damar dan Anna.
Pria tua itu merasa sangat kalah, untuk pertama kalinya, apapun yang ia inginkan harus terpenuhi termasuk mendapatkan Anna. Namun dikarenakan Damar yang selalu ada disampingnya, sudah membuat rencana untuk menikahi Anna gagal, terlebih sekarang malah keadaan berbalik ia tidak mendapatkan apa-apa dan pria itu yang kini menjadi suami Anna.
...
Cahaya mentari pagi menyongsong dinding-dinding bagian rumah Anna yang terbuat dari anyaman bambu, Anna meresapi setiap sentuhan aroma pagi ini yang terasa berbeda. Sebilah hati yang patah kini telah menjadi satu.
"Sejuk sekali," gumam Anna.
Dekap hangat pelukan Damar dari belakang, mengejutkan wanita itu. Ia terperanjat seketika sentuhan tangan pria dengan perawakan bak atletis tiba-tiba melingkar begitu saja diperutnya.
"Pagi, istriku yang cantik?" Sapa Damar seraya berbisik.
Anna tersenyum, wajahnya bersemu merah. Ada desiran menggelitik didalam hati, bagaikan kupu-kupu tengah berterbangan didalam perutnya.
"Mas, sudah bangun?"mendayu-dayu.
"Aku terbangun karena kamu gak ada disamping aku, aku masih ingin peluk kamu lebih lama."ucapnya bermanja dibalik tengkuk Anna, dengan menikmati aroma shampo yang khas yang digunakan istrinya membuat ia semakin betah.
"Mas, malu. Nanti ada orang liat, gak enak." Mencoba melepaskan pelukannya.
"Apa sih yang harus kamu maluin, kita sudah menjadi sepasang suami istri." Mendekap lebih erat tubuh kecil istrinya.
Bagi Damar saat- seperti ini yang membuatnya merasakan kehidupan sesungguhnya, lama ia tidak pernah merasakan hal seperti ini. Bagai sebuah mimpi kini dia sudah memperistri anak gadis seseorang, meski usia mereka berselisih beberapa namun, tidak memungkinkan bagi Damar untuk tidak bisa bersama dengan wanita yang sudah mencuri hatinya.
Lain bagi sang rentenir kejam itu, melihat pemandangan dua manusia yang dimabuk asmara membuat dadanya sangat panas dan sesak. Ia mengepal kuat tangannya, ada kekecewaan dimatanya begitu juga amarah yang tengah meluap-luap.
Pria setengah baya itu menghentakkan kakinya, dan pergi menuju rumah Anna.
"Wah .. wah .. wah .. pengantin baru. Maaf jika kedatangan ku mengganggu keromantisan kalian."
"Mau apa kamu?"ketus Damar.
"Tentu saja aku sedang ingin menagih hutang kepada Anna, calon istriku, upss! Maaf mantan calon istriku."tampang wajah menyebalkan itu selalu membuat Damar nyaris kehilangan kesabaran nya dan ingin memberikan bogem mentah untuk pria tua itu.
"Berapa?" Tanya Damar.
"500 juta, beserta bunganya."
"Apa? Bukannya, orang tua saya hanya berhutang pada juragan hanya 100 juta."ujar Anna mengutarakan bahwa mereka tidak memiliki hutang sebanyak yang telah ia sebutkan.
"Kamu tahu, sistem kerjaku, Anna. Setiap bunga yang ditentukan akan berjalan terus setiap harinya. Begitupun hutang bapak kamu. Aku sudah memberikan keringanan dalam beberapa waktu ini, tapi kamu sudah banyak mempermainkan aku, Anna. Sebelum kamu berangkat ke Jakarta aku sudah berbaik hati memberikan kamu waktu tiga bulan, tapi kamu tidak kunjung membayar juga. Kemudian kamu meminta waktu lagi, sudah aku berikan. Masih kamu permainkan aku, Anna. Lalu kamu menyerah dan siap untuk menjadi selirku, malah kamu menikah dengan pria ini. Lalu salah aku dimana?"kata Anton dengan angkuhnya.
Anna tidak bisa berkata-kata lagi. Ia memang bersedia saat itu namun karena orang tuanya meninggal, terpaksa Anton menundanya sebagai kebaikan hatinya untuk memberikan waktu pada Anna yang tengah berkabung. Jika seandainya Marwan dan Ratih tidak meninggal kemungkinan Anna susah diperistri oleh Anton.
"Baik saya akan membayar nya." Ucap Damar mengambil selembar kertas, dari tasnya dan memberikannya pada Anton.
"Mas, kamu gak perlu berkorban lagi, ini sudah cukup."pinta Anna.
"Tidak apa-apa. Sekarang kamu adalah tanggung jawabku, dan aku gak akan biarkan siapapun semena-mena lagi sama kamu." Ucap Damar,
"Ambil ini, dan pergi sekarang juga. Jangan ganggu lagi Anna, paham!" Tegas Damar melempar kan selembar cek, bertuliskan nilai uang sejumlah 500 juta rupiah.
"Damar Putra Darmawan. Ternyata kau bukan orang biasa, aku pernah mendengar namamu, wahai kau anak kurang ajar. Keturunan Darmawan group, menikahi wanita dari desa karena ketahuan berzinah. Hahaha, itu pasti akan menggemparkan, bukan?" Anton kembali mengingatkan Damar pada perbuatan nya yang menjijikan. Tanpa menunggu lama, bogem mentah ia layangkan sekeras mungkin. Hingga orang tua itu tersungkur ke tanah.
"Pergi! Sekali lagi bicara omong kosong, akan aku pastikan Anda menyesal!"
"Baiklah, Ayok kita tinggalkan tempat ini!" Tatap Sinis. Anton mengajak beberapa anak buahnya untuk pergi dari sana.
Anna bermurung sedih, ucapan Anton terngiang-ngiang ditelinganya. Dari kasta Anna dan Damar memang tidak bisa dibandingkan, bak langit dan bumi jauh sekali.
"Kenapa?"
"Aku takut, orang rumah tahu kamu sudah menikahiku, mas."
"Jangan dengarkan ucapan Anton, dia hanya sedang menggertak kamu. Sudah tenang, ya. Biar itu menjadi urusanku." Peluk Damar membawa Anna masuk kedalam rumah.
*********
"Angga, bagaimana Damar sudah bisa dihubungi?" Tanya pak Suryo.
Angga menggeleng. Ia menatap layar ponselnya, tidak satupun pesan nya ia balas. Bahkan via telepon pun tidak ia jawab, kini handphone nya pun sudah tidak aktip.
Pesan baru ia kirim beberapa kali, namun tidak juga terkirim, disana masih bercontreng satu. Jelas Damar dengan sengaja mematikannya agar orang lain tidak bisa menghubungi nya maupun tahu dimana keberadaan nya.
Tanpa persetujuan dari pak Suryo, Angga menyusul Damar ke kampung Anna. Dengan bermodalkan selembar alamat yang mbok Yun berikan.
"Angga pamit, mbok. Titip papa ya?"
Mbok Yun mengangguk.
Angga pun pergi melajukan mobilnya. Ia khawatir kondisi papanya yang kini sakit-sakitan semenjak kepergian Damar. Kondisinya bukan baik malah semakin memburuk terlebih perusahaan kini tengah bermasalah akibat Bella, yang mengadu kepada Prastikno untuk menarik sahamnya dari perusahaan Darmawan apabila Damar tidak kunjung menikahi nya juga.
"Damar.. damar.. lu bener-bener biang masalah."gumam Angga.
Perjalanan yang cukup panjang, Angga menepi sejenak untuk mengisi perutnya yang sudah merasa keroncongan sedari pagi tadi.
Kini siang telah berganti malam, Angga masih belum sampai ditempat kediaman Anna. Angga baru setengah jalan, perjalanan menuju ke desa Asri Kenangan amat jauh apalagi berkendara sendiri. Ia harus menahan kantuk juga lelah nya seharian menjalankan mobil tanpa sopir.
Damar dan Anna menikmati makan malam yang sudah dibuatkan Bude Sri, wanita paruh baya itu mewanti-wanti untuk mereka agar segera pergi dari desa itu, kemungkinan masalah baru akan terjadi, apa bila mereka masih berada disana. Terlebih Anton begitu dendam kepada Damar yang sudah berhasil merusak rencananya untuk menikahi Anna.
"Iya bude, Damar mengerti."
"Ya sudah bude pulang dulu, anaknya pakde Kasim lagi sakit jadi bude mau bantu-bantu sedikit disana."kata bude Sri.
"Iya bude, salamin juga buat pak Kasim, maaf jika saya sudah merepotkan nya, juga saya meminta maaf karena belum sempat menjenguk anaknya." Ucap Damar.
"Iya, nak. Kalian baik-baik ya. Bude pergi."
Anna dan Damar mengangguk bersamaan. Mereka segera menyelesaikan makan malamnya, dan mengemas barang, agar esok hari mereka bisa langsung pergi ke kota, menemui pak Suryo yang mungkin akan mendapatkan kejutan yang benar-benar membuat nya sedikit kecewa atas keputusan yang sudah Damar ambil.
Belum sempat merebahkan tubuhnya, percikan cahaya kecil terlihat dari arah luar, Anna mencoba mencari tahu percikan api yang ia lihat baru saja.
Betapa terkejutnya Anna seketika panik, ia berlari dan memberitahukan suaminya Damar, jika ada api yang tengah ingin membakar rumah nya.
"Mas, mas, bangun! Rumah kita kebakaran, ayok mas kita harus keluar."
"Kebakaran?"
"Iya, ayok cepat!"
Damar beringsut dari sana, ia melihat api itu begitu cepatnya menyebar, nyaris mereka terjebak didalamnya, namun dengan sigap Damar segera membawa Anna keluar melalui pintu dapur . Sayangnya beberapa peninggalan orang tua Anna terbakar habis bersama dengan rumah itu. Namun beruntung nya Anna masih sempat membawa tas milik Damar yang sudah mereka siapkan sore tadi.
"Astaghfirullah, mas cobaan apa lagi ini? Rumah peninggalan ibu sama bapak habis." Tangis Anna meratap, ia tidak bisa berkata-kata lagi semuanya sudah dilahap sijago merah. Api itu cepat menyebar, apalagi rumah yang mereka tempati terbuat dari kayu dan bambu, api pun melahap nya dengan mudah.
"Sabar, sayang."mencoba menenangkan istrinya.
Para warga bergotong royong membantu memadamkan api, namun rasanya percuma api sudah semakin besar mereka sulit untuk memadamkan nya.
Beberapa ibu-ibu dan bapak-bapak hanya bisa terdiam mematung, disaat rumah Anna habis hanya tertinggal puing-puing sisa kebakaran.
"Maaf Anna, kami tidak bisa membantu lebih banyak," ucap salah satu warga.
"Terimakasih pak, Bu. Itu lebih dari cukup ko, mungkin bukan rejeki saya," Isak tangis Anna masih belum berlalu.
"Terimakasih banyak pak, Bu. Sudah banyak membantu, juga sudah menerima kami dikampung ini. Saya dan Anna mungkin malam ini akan pergi ke kota dan Saya rasa itu yang terbaik, sebelumnya mohon maaf jika saya banyak membuat kerusuhan, tolong titipkan salam saya untuk bude Sri dan pakde Kasim."
"Tentu saja. Maafkan sikap kami juga ya,"
Damar dan Anna mengangguk pelan. Anna melangkah kan kakinya begitu berat, meninggalkan kampung halaman juga tempat kelahirannya tidak mudah baginya, disaat orang tua nya sudah tidak ada lagi. Satu kenang-kenangan yang ditinggalkan kini hanya tinggal setumpukan abu.
Anna pun pasrah saat digendeng pergi oleh Damar, walaupun ia tahu hatinya masih belum bisa lepas dari tempat dimana dia dibesarkan.