Nuri terpaksa menerima perjanjian pernikahan 9 bulan yang ditawarkan Sabda, kerena Dennis, pria yang menghamilinya meninggal dunia. Sabda adalah kakak Dennis dan sudah memiliki istri. 9 bulan itu menjadi masa yang sulit bagi Nuri karena dia selalu mendapatkan intimidasi dari mertuanya dan istri pertama Sabda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1
Nuri, gadis itu mondar-mandir di dalam kamar kosnya yang sempit. Berkali-kali dia menatap layar ponsel yang dia pengang. Sejak semalam, kekasihnya yang bernama Dennis tak bisa dihubungi. Puluhan chat dia kirim, hasilnya sama, centang satu. Dan saat dia menelepon, hasilnya juga tetap sama, operator yang menjawab.
"Kamu dimana sih Den, jangan buat aku takut kayak gini. Kamu gak sedang ninggalin aku kan?" Nuri bermonolog dengan mata berkaca-kaca.
Gadis itu meraba perutnya, disana ada benih Dennis, dan sekarang, pria itu bak lenyap ditelan bumi.
Dret dret dret
Nuri langsung melihat ponsel di tangannya begitu benda pipih itu bergetar. Seketika dia langsung kecewa saat melihat nama Diana di layar, padahal dia berharap, Dennis yang menghubunginya.
"Hallo, Di," sahut Nuri lemas.
"Dennis Nur, Dennis." Suara Diana terdengar panik.
"Ada apa dengan Dennis?" Nada suara Diana membuat Nuri cemas.
"Dennis kemarin kecelakaan, dia meninggal."
Plug
Ponsel di tangan Nuri sekatika terjatuh. Seluruh tubuhnya terasa lemas, kakinya seperti tak bertulang, hingga beberapa saat kemudian, dia luruh ke lantai.
"Nur, Nuri, kamu denger aku kan?" sayup-sayup masih terdengar suara Diana. "Nuri, kamu baik-baik sajakan?"
Tangis Nuri pecah. Di dalam kamarnya yang sempit, dia meraung-raung sambil memegangi perutnya. Bagaimana dengan hidupnya dan calon anak mereka jika Denis benar-benar telah tiada?
.
.
Nuri menatap nanar makam Dennis yang masih dipadati pelayat. Dia hanya bisa menatap dari kejauhan dengan air mata yang terus mengucur deras. Dia teringat kejadian kemarin siang saat mereka bertemu.
"Gugurkan kandungan itu Nur, aku tak bisa menikahimu."
Ucapan Dennis terdengar seperti petir yang menyambar. Setega itu pria yang telah dia pacari sejak 7 bulan yang lalu menyuruhnya melakukan perbuatan keji tersebut.
Nuri menggeleng cepat. "Aku tidak mau. Aku tak mau melakukan semakin banyak dosa. Kamu harus tanggung jawab, Den." Nuri menarik-narik lengan Dennis.
"Aku tak mungkin menikahimu." Dennis menghempaskan kasar tangan Nuri. "Kamu tahukan, kita masih sama-sama kuliah semester 2, kita belum kerja. Aku belum siap menikah apalagi punya anak. Aku tak mau ibu dan kakakku marah jika mereka tahu aku menghamili anak orang." Dennis meraih kedua tangan Nuri lalu menggenggamnya. "Please Nur, gugurkan janin itu. Saat ini, hanya cara itu yang terbaik untuk kita berdua."
Nuri menarik kasar tangannya dari genggaman Dennis. "Enggak," dia menggeleng cepat dengan air mata bercucuran. "Aku gak akan gugurin kandungan ini." Dia memegang perut dimana sedang tumbuh janin hasil perbuatan dosanya dengan Dennis.
Dennis mengacak rambutnya frustasi sambil membung nafas kasar. Mengambil amplop coklat berisi uang yang ada di saku jaketnya. "Ambil ini, gugurkan janin itu." Dia meletakkan amplop berisi uang tersebut ketangan Nuri.
"Tidak." Nuri membuang uang tersebut. "Aku tidak mau," teriaknya.
"Terserah kalau itu mau kamu," Dennis balas membentak. Dia menatap Nuri tajam lalu pergi begitu saja.
Nuri tak habis pikir dengan kelakuan Dennis. Selama ini, pria itu sangat baik dalam memperlakukannya. Tapi sekarang, tiba-tiba berubah saat tahu dia hamil. Dia seperti bukan Dennis yang dia kenal.
"Dasar bajingan." Teriak Nuri sebelum Dennis benar-benar jauh. "Mau berbuat tapi tak mau tanggung jawab."
Meski mendengar makian Nuri, Dennis tetap melangkah pergi. Bisa habis dirinya kalau sampai ibu dan kakaknya tahu kelakuannya.
"Mati saja kau banggsat! Pecundang sepertimu lebih pantas mati. Semoga Tuhan segera mencabut nyawamu. Aku doakan kau tertabrak mobil dan langsung mati di tempat." Nuri yang sedang emosi jiwa terus meneriaki Dennis dengan sumpah serapahnya.
Nuri masih berada di area pemakaman saat satu persatu orang sudah meninggalkan tempat tersebut. Dan disaat semua orang bahkan keluarga Dennis sudah pergi, dengan langkah gontai, dia mendekati makam Dennis.
Dia menatap nanar nisan bertuliskan nama Dennis. Sumpah demi apapun, dia tak menginginkan ini semua terjadi. Dia tak sungguh-sungguh menyumpahi Dennis agar mati.
Nuri bersimpuh di depan makam yang masih basah. Dia benar-benar bingung sekarang. Pria yang menghamilinya meninggal, pada siapa dia harus minta pertanggung jawaban.
"Kenapa kamu pergi secepat ini, Den, kenapa?" tangis Nuri kembali pecah. Tangannya bergerak menyentuh nisan Dennis. "Tega kamu ninggalin aku dalam keadaan seperti ini."
Nuri makin sesenggukan saat memikirkan seperti apa nasibnya dan anaknya kelak.
"Bangun Den, bangun. Jangan pergi, jangan tinggalin aku. Aku tak tahu harus bagaimana sekarang. Aku dan anak dalam kandungan ini membutuhkanmu, Den. Jika kamu pergi, pada siapa aku harus minta pertanggung jawaban?" Nuri memukul-mukul gundukan tanah yang masih basah dihadapannya. "Dennis... aku butuh kamu."
Seorang pria yang berdiri tak jauh dari makan Dennis, kaget mendengar ucapan gadis berpakaian serba putih yang tidak dia kenal tersebut.
"Jangan pergi, Den. Aku dan anak kita butuh kamu," Nuri terus mengiba sambil memeluk nisan Dennis.
"Apa maksud ucapanmu?"
Deg
Nuri kaget saat mendengar suara laki-laki yang berasal dari belakangnya. Dia menoleh dan mendapati seorang pria dengan pakaian serba hitam serta kaca mata hitam berdiri di belakangnya.
Dia adalah Sabda, kakak kandung Dennis. Pria itu kembali kearea pemakaman untuk mencari ponselnya yang kemungkinan terjatuh disana.
"Kau bilang tadi sedang mengandung, apa aku tidak salah dengar? Dan kenapa kamu meminta pertanggung jawaban Dennis?"
"Anda siapa?" Tanya Nuri dengan suara bergetar. Dia takut karena ada yang mengetahui aibnya. Sejauh ini, hanya dia dan alm. Dennis saja yang tahu soal kehamilannya.
"Saya kakaknya Dennis," ujar Sabda sambil melepas kaca mata hitamnya.
Nuri menatap pria dihadapannya tersebut. Dennis sering cerita tentang kakaknya yang menggantikan ayahnya menjadi kepala keluarga setelah ayah mereka meninggal. Wajahnya mirip dengan Dennis.
"Tolong jelaskan maksud perkataanmu tadi. Apa kamu hamil anak....Den-nis?" Sabda sedikit ragu mengatakannya.
Nuri mengangguk. "Ya, saya hamil anak Dennis."