Anggista Anggraini, yang lebih akrab di sapa dengan nama Gista, mencoba menghubungi sahabatnya Renata Setiawan untuk meminjam uang ketika rentenir datang ke rumahnya. Menagih hutang sang ayah sebesar 150 juta rupiah. Namun, ketika ia mengetahui sahabatnya sedang ada masalah rumah tangga, Gista mengurungkan niatnya. Ia terpaksa menemui sang atasan, Dirgantara Wijaya sebagai pilihan terakhirnya. Tidak ada pilihan lain. Gadis berusia 22 tahun itu pun terjebak dengan pria berstatus duda yang merupakan adik ipar dari sahabatnya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
07. Dalam Pengaruh Obat.
“A-anda mabuk?” Gista mendorong pelan tubuh Dirga yang tadi ditangkapnya. Bau minuman beralkohol, menguar sangat keras dari tubuh pria itu.
“Aku tidak mabuk, Anggista.” Pria dewasa itu menegakan kembali badannya.
Ia kemudian melepas jas yang di gunakan, lalu memberikannya pada Gista. “Cuci sekalian.” Perintahnya.
Dirga pergi ke dapur untuk mencari air minum dingin. Wanita dengan pakaian minim tadi, sepertinya memasukkan sesuatu ke dalam gelas minuman Dirga. Dan ia tau, semua itu pasti ulah teman-temannya.
Untung saja pria itu cepat tanggap. Jika tidak, bisa di pastikan saat ini Dirga sudah berada di kamar hotel bersama wanita bayaran itu.
“Si-al.” Umpat Dirga saat air dingin yang di teguknya tidak mampu menghilangkan rasa panas yang mulai menyerang tubuhnya.
“Ada apa, pak?” Gista memberanikan diri untuk bertanya. Namun, sedetik kemudian gadis itu mengatupkan bibirnya saat melihat tatapan tajam sang atasan.
“Cepat selesaikan pekerjaanmu.” Ucap Dirga dingin, kemudian pergi ke kamarnya.
Jantung Gista tiba-tiba berdetak kencang. Dengan cepat ia memasukkan pakaian Dirga ke dalam mesin cuci. Karena hanya untuk menghilangkan bau apek, Gista mengatur waktu paling cepat pada mesin cuci itu.
Ia harus segera menyelesaikannya, dan pergi dari apartemen itu. Suasana hati Dirga sepertinya sedang tidak baik-baik saja. Dan Gista tidak mau terkena amukan pria itu.
Setengah jam berlalu.
Gista mengangkat pakaian pakaian itu, kemudian mengantungnya.
“Selesai. Aku harus pergi dari sini.” Gadis itu pun beranjak. Namun, langkahnya meragu. Haruskah ia berpamitan pada Dirga?
Kepala Gista menggeleng pelan. Lebih baik pergi saja. Toh Dirga juga sudah menyuruh untuk menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat.
Maka, Gista pun melangkah menuju pintu apartemen. Namun, suara pecahan benda yang terdengar dari lantai dua menghentikan langkah gadis itu.
Kepala Gista memutar, menatap ke ujung tangga.
“Apa yang terjadi?” Tanyanya sendiri.
Namun, itu bukanlah urusan Gista. Ia pun memutar gagang pintu.
Prang!!
Gista terlonjak ketika sekali lagi, suara pecahan benda terdengar. Gadis itu pun mengurungkan niatnya untuk pergi.
“Bagaimana jika terjadi sesuatu dengan pak Dirga?” Gumamnya. Tanpa berpikir lebih panjang, Gista berlari menaiki tangga.
Langkah gadis itu melambat setelah sampai di lantai dua. Pecahan botol kaca berhamburan di depan pintu kamar Dirga yang terbuka lebar.
“Pak Dirga, apa anda baik-baik saja?” Teriak Gista. Dengan kaki berjingkat, ia melangkah mendekat ke arah kamar pria itu.
“Jangan mendekat, Anggista.” Teriak Dirga yang sedang duduk di atas ranjang sembari memegang gelas bertangkai dengan kepala tertunduk.
“Astaga. Sepertinya dia memang mabuk.” Gumam Gista.
Gadis itu pun memberanikan diri untuk masuk. Ia mendorong keluar pecahan botol menggunakan kakinya yang beralaskan sepatu kets.
Gista pikir, Dirga tidak akan memperdulikan dirinya. Namun gadis itu salah.
“Astaga.” Gista terlonjak saat memutar tubuhnya. Dirga sudah berdiri di belakang gadis itu.
“P-pak Dirga.”
“Kamu ternyata keras kepala juga.” Ucap Dirga dengan bibir mencebik.
Gista dapat mencium bau minuman keras yang keluar dari mulut pria dewasa itu. Ia pun memalingkan wajahnya.
“Bukannya saya sudah menyuruh kamu untuk tidak mendekat?” Tanya pria itu lagi.
“M-maaf, pak. Tapi saya tidak bisa melihat kekacauan ini. Bapak sedang mabuk. Bagaimana jika nanti tanpa sadar menginjak pecahan botol itu?”
Dirga kembali mencebikan bibirnya. “Sudah saya katakan, Anggista. Saya tidak mabuk. Buktinya saya masih ingat siapa nama kamu.”
Gista menelan ludahnya dengan kasar. Kaki gadis itu perlahan mundur. Namun tiba-tiba Dirga menutup pintu kamar itu. Dan membuatnya terkurung.
“P-pak Dirga. Saya mau keluar.” Ucap Gista terbata. Mata gadis itu membola, kala tubuh Dirga begitu dekat dengannya.
“Bukannya kamu sendiri yang menawarkan diri?” Tanya pria itu dengan tatapan sayu.
Dahi Gista sedikit berkerut. Ucapan Dirga terasa ambigu. Apa mungkin, maksud pria itu adalah tentang percakapan mereka tempo hari?
Bukankah Dirga menolaknya?
“Maksud pak Dirga, apa?” Gadis itu memberanikan diri untuk bertanya.
“Saya sudah meminta kamu pergi, Anggista. Untuk apa kamu begitu perduli datang kemari? Saya tidak akan mati hanya karena terkena pecahan botol. Jika itu yang kamu khawatirkan.” Ucap Dirga.
Kepala Gista mengangguk pelan.
“Kalau begitu, biarkan saya keluar, pak.” Gadis itu memberanikan diri mendorong tubuh sang atasan. Membuat pria itu berjarak dengannya.
Namun sayang Gista tidak dapat membuka pintu kamar itu.
“Pak, kenapa di kunci?” Tanya gadis itu mulai ketakutan.
Bagaimana jika Dirga menghabisinya? Lalu membuang ja-sad Gista dari balkon apartemen ini?
“Saya mau mandi.” Ucap pria itu. Yang kemudian berlalu menuju ruang ganti.
Gista pun hanya mampu menganga. “Ya, tapi tolong buka dulu pintunya, pak.”
Namun Dirga menghiraukan permintaan gadis itu. Ia dengan cepat masuk ke dalam kamar mandi, kemudian mengguyur tubuhnya di bawah keran air dingin.
Efek obat yang dimasukkan ke dalam minumannya sungguh sangat besar. Dirga tidak mampu lagi menahan rasa panas yang kini menguasai tubuhnya.
“Si-al. Aku akan memberikan perhitungan pada kalian semua.” Geram Dirga pada ketiga temannya.
Sementara itu, di dalam kamar Gista sibuk mencari kunci cadangan. Tidak masalah jika Dirga menganggapnya lancang. Ia harus segera keluar dari kamar itu sebelum sang atasan selesai mandi.
Gista meneriksa satu persatu laci meja nakas. Namun tidak menemukan apapun. Dimana kiranya Dirga menyimpan kunci cadangan kamar ini?
Bugh!!
Gista kembali terlonjak ketika mendengar sesuatu yang jatuh di dalam ruang ganti. Rasa ingin tau menuntun gadis itu pergi untuk melihatnya.
“Astaga. Pak Dirga.” Ia mendapati Dirga terkapar di lantai kamar mandi. Dengan tubuh basah. Namun masih menggunakan kemeja putih dan celana bahan hitam, pakaian kerjanya.
Gista berjongkok. Mencoba untuk membantu membangunkan tubuh sang atasan yang sangat berat itu.
“Saya tidak apa-apa, Anggista.” Ucap pria itu.
“Apanya yang tidak apa-apa? Sudah terkapar seperti ini.” Jawab Gista.
“Saya tidak mabuk—
“Iya, pak Dirga. Bapak tidak mabuk. Hanya saja kelebihan alkohol.” Sela Gista dengan cepat.
“Berat sekali.” Gumam gadis itu saat berhasil membuat Dirga berdiri.
“Saya memang tidak mabuk. Tetapi saya dalam pengaruh obat perang-sang, Anggista.” Jelas Dirga.
Gista menelan ludahnya dengan kasar. Ia dengan cepat mendorong tubuh Dirga.
‘Obat perang-sang? Astaga! Jadi karena itu pak Dirga bersikap aneh? Dia pasti sangat tersiksa sekarang.’
Meski belum pernah berpengalaman, namun Gista tau apa pengaruh obat itu untuk orang yang meminumnya.
Penampilan Dirga begitu menyedihkan. Basah kuyup seperti seekor tikus di dalam selokan. Gista yakin, pria itu berusaha keras untuk menghilangkan pengaruh obat itu dalam tubuhnya.
“O-obat perang-sang?” Ulang Gista/
Kepala Dirga mengangguk pelan.
“Untuk apa bapak minum obat itu?”
“Saya di kerjai oleh teman-teman saya, Anggista. Dan sebaiknya sekarang kamu pergi.” Dirga merogoh saku celana yang ia gunakan kemudian menyerahkan kunci pada gadis itu.
“Pak, tunggu.” Gista menahan lengan Dirga yang hendak kembali masuk ke dalam bilik kamar mandi.
“S-saya bisa membantu bapak.” Ucap Gista saat Dirga menatap penuh tanya padanya.