DIBUANG ANAKNYA, DIKEJAR-KEJAR AYAHNYA?
Bella tak menyangka akan dikhianati kekasihnya yaitu Gabriel Costa tapi justru Louis Costa, ayah dari Gabriel yang seorang mafia malah menyukai Bella.
Apakah Bella bisa keluar dari gairah Louis yang jauh lebih tua darinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ria Mariana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Louis duduk di samping ranjang Bella lalu menyiapkan sendok dengan sop hangat yang baru saja dibawakan perawat. Ia mendekatkan sendok itu ke bibir Bella dan mencoba bersikap lembut.
"Bella, ayo makan. Kamu butuh tenaga supaya cepat pulih," ucap Louis.
Bella menggeleng pelan, menatap ke arah lain. "Aku tidak lapar, Louis."
"Kamu harus makan. Sekarang kamu cuma butuh istirahat dan asupan makanan yang cukup," kata Louis.
"Aku bilang tidak mau makan."
"Jangan keras kepala, Bella." Nada suara Louis mulai tegas, tapi ia berusaha menahan emosinya. "Kamu mau tetap lemah seperti ini?"
Bella terdiam, tangannya mencengkeram selimut. "Aku cuma tidak lapar," jawabnya singkat, hampir berbisik.
"Aapa aku sudah melakukan sesuatu yang membuatmu marah?" tanya Louis.
Bella akhirnya menatap Louis, matanya penuh kesedihan. "Tidak, kamu tidak salah apa-apa."
"Lalu, kenapa kamu begini?" tanya Louis.
"Karena aku baru sadar, aku mungkin meminta terlalu banyak darimu," ucap Bella.
Louis tampak bingung, alisnya berkerut. "Maksudmu apa? Aku tidak mengerti."
"Aku sudah memberatkan hidupmu. Kamu tidak perlu merasa terbebani lagi," kata Bella.
"Aku melakukan ini bukan karena terpaksa."
"Kamu di sini karena kamu suami yang baik, tapi aku tahu batasanku. Maafkan aku kalau aku sudah membuatmu merasa terbebani," ucap Bella.
"Aku hanya ingin kamu sembuh. Itu yang paling penting sekarang. Lupakan soal yang lain... Kumohon, makanlah!" pinta Louis.
"Aku cuma butuh waktu. Maaf kalau membuatmu khawatir," kata Bella.
Louis merasa buntu menghadapi Bella yang menutup diri. Tapi di dalam hati, ia menyadari bahwa sesuatu telah berubah di antara mereka, sesuatu yang belum bisa ia pahami sepenuhnya.
Louis menghela napas panjang, kesabaran di ujung tanduk. Ia meletakkan sendok dengan keras di meja kecil di samping ranjang, suaranya menggema di ruangan yang sunyi. Ekspresi wajahnya menunjukkan kekesalan yang selama ini ia tahan.
"Bella, cukup! Aku sudah mencoba membantumu, tapi kamu malah bertingkah seperti ini," ujarnya.
Bella tersentak, kaget mendengar nada suara Louis.
Louis menatapnya dengan pandangan tajam. "Aku tidak ngerti. Kamu ini kekanak-kanakan. Dengan semua wanita lain yang pernah aku kenal, tidak ada satu pun yang sikapnya seperti ini. Tapi kamu..." Louis menggelengkan kepalanya dan bingung.
"Aku cuma merasa..."
"Kamu merasa apa? Kamu merasa aku kurang peduli? Kurang perhatian? Aku sudah membatalkan semua pertemuan hari ini, duduk di sini dan menunggumu. Apa itu masih kurang?" tanya Louis.
"Aku cuma merasa kamu tidak benar-benar ada di sini. Tubuhmu di sini, tapi hatimu..."
"Hatiku? Bella, kamu tahu aku di sini karena aku peduli padamu. Tapi caramu menolak semua ini, menolak makan, hanya membuatku berpikir kamu tidak menghargai usahaku."
"Aku hanya berharap ada sesuatu yang lebih dari ini. Bukan hanya kewajiban," ucap Bella.
"Aku di sini karena aku suamimu dan itu bukan kewajiban yang ringan. Kalau itu belum cukup untukmu, aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan," kata Louis.
Suasana menjadi hening. Bella menatap Louis kemudian mengangguk pelan dan menerima kenyataan yang selama ini mungkin tak ia akui pada dirinya sendiri.
"Maaf," bisiknya akhirnya. "Aku seharusnya tidak berharap lebih."
Louis menghela napas panjang, menatap Bella dengan ekspresi dingin yang tak biasa. Ia melirik piring makanan yang belum tersentuh di meja kecil di samping tempat tidur Bella, lalu menggelengkan kepalanya dengan frustrasi.
"Terserah kamu, Bella. Mau makan atau nggak, itu urusanmu. Aku sudah cukup membuang waktu untuk hal ini," ucap Louis.
Bella menatapnya dengan mata yang mulai berair, tapi Louis tampak tak terpengaruh. Tanpa kata tambahan, ia berbalik dan berjalan menuju pintu.
Tanpa menoleh lagi, ia membuka pintu dan keluar dari ruangan, meninggalkan Bella sendirian.
Louis melangkah cepat keluar dari gedung rumah sakit, wajahnya tampak tegang dan ekspresi frustrasi terpancar jelas. Alister mengikutinya dari belakang, menyadari bahwa sesuatu telah membuat atasannya benar-benar kehilangan kesabaran.
"Tuan, maaf kalau saya lancang, tapi menurut saya, mungkin Anda sedikit terlalu keras tadi. Nona Bella masih dalam kondisi lemah, mungkin dia butuh lebih banyak perhatian," kata Alister.
"Alister, kamu pikir aku belum berusaha? Aku sudah mencoba sebaik mungkin untuk lembut. Aku sudah di sana sepanjang waktu, berusaha membuatnya makan, mendukungnya, tapi dia malah menolak semuanya."
"Saya tahu, Tuan. Saya melihatnya sendiri. Tapi mungkin bukan itu yang dia butuhkan saat ini. Mungkin yang dia inginkan adalah sesuatu yang lebih dari perhatian biasa."
Louis menghela napas berat, menatap kosong ke depan.
"Aku tahu dia butuh lebih tapi aku bahkan tidak yakin bagaimana caranya. Semua wanita yang pernah aku kenal, mereka tidak pernah bersikap seperti Bella. Mereka mengerti batasannya. Tapi Bella? Dia seolah menginginkan sesuatu yang aku tidak tahu apakah aku bisa memberikannya," kata Louis.
"Mungkin yang dibutuhkan Bu Bella hanyalah sedikit kejujuran dari Anda. Kadang, kehangatan bukan hanya soal tindakan, tapi tentang ketulusan. Coba jujur pada perasaan Anda, Tuan. Mungkin itu akan memberi Nona Bella kelegaan yang ia cari."
"Mungkin kamu benar, tapi kalau aku tidak bisa mencintainya seperti yang dia inginkan, aku takut malah akan lebih melukai dia."
Di sisi lain.
Di dalam kamar yang sunyi, Bella duduk di tepi ranjang, tatapannya kosong menatap jendela. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya, meskipun hatinya terasa sesak.
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka pelan. Louis melangkah masuk, wajahnya tampak berbeda yaitu sedikit melunak, tanpa ekspresi dingin yang tadi ia tunjukkan. Ia berdiri di dekat pintu, tampak ragu-ragu sebelum akhirnya mendekati Bella.
"Bella..." panggilnya pelan.
Bella menoleh, menatap Louis dengan mata yang masih memerah. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menunggu Louis melanjutkan.
"Aku minta maaf."
Bella menunduk, memainkan ujung selimutnya tanpa berani menatap Louis langsung.
"Untuk apa, Louis?"
Louis mengusap wajahnya, tampak kesal pada dirinya sendiri.
"Untuk tadi, aku terlalu keras padamu. Aku frustrasi dan aku kehilangan kesabaran. Seharusnya aku bisa lebih baik dari itu."
"Kamu tidak perlu minta maaf. Aku yang salah. Aku terlalu banyak berharap padahal kamu sudah cukup baik padaku," jawab Bella.
"Tidak. Aku sadar mungkin aku belum sepenuhnya mengerti apa yang kamu butuhkan. Aku bukan tipe orang yang pandai mengekspresikan perasaan," ucap Louis.
"Aku hanya ingin tahu apa yang kamu rasakan. Aku tidak minta lebih. Aku cuma ingin tahu apakah ada sedikit perasaan di hatimu buat aku," ucap Bella.
Louis terdiam, menatap Bella, tampak ragu sejenak sebelum akhirnya bicara dengan suara lembut, nyaris berbisik. "Bella, aku mungkin belum bisa mengatakan 'cinta'. Tapi kamu penting buatku. Aku ingin kamu bahagia, aku ingin kamu aman dan aku ingin ada di sini untukmu."
Bella menatapnya, matanya berkaca-kaca. "Itu sudah cukup, Louis. Terima kasih karena sudah mencoba."
Louis mengangguk, mengulurkan tangan untuk memeluk Bella dengan erat.
"Aku akan mencoba lebih baik. Mungkin aku butuh waktu, tapi aku akan berusaha untukmu."