Kirana, seorang wanita lembut dan penyabar, merelakan hidupnya untuk menjadi istri dari Dion, pria pilihannya. Namun, kebahagiaan yang diharapkan tak kunjung datang. Sejak awal pernikahan, Kirana dibayangi oleh sosok mertuanya, seorang wanita yang keras kepala dan suka mengontrol. Mertuanya tak pernah menganggap Kirana sebagai bagian dari keluarga, selalu merendahkan dan mencampuri setiap keputusan Kirana.
Kirana merasa seperti boneka yang diatur oleh mertuanya. Setiap pendapatnya diabaikan, keputusannya selalu ditolak, dan kehidupannya diatur sesuai keinginan sang mertua. Dion suaminya, tak pernah membela Kirana. Ia terlalu takut pada ibunya dan selalu menuruti segala permintaan sang ibu. Ditengah konflik batinnya, akankah Kirana kuat mengarungi bahtera rumah tangganya? Atau akhirnya ia menyerah dan memilih berpisah dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rose.rossie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Kirana mundur beberapa langkah, tubuhnya gemetar. Nafasnya memburu, dan ia bisa merasakan bulu kuduknya meremang. Bayangan di luar jendela itu masih bergerak pelan, seakan mempermainkannya. Ia ingin berteriak, tetapi suaranya tercekat di tenggorokan. Tubuhnya membeku, terjebak dalam ketakutan yang terasa begitu nyata.
"Andi!" panggil Kirana dengan suara serak. Namun, suaranya hampir tak terdengar di tengah deru jantung yang berdetak kencang di dadanya.
Andi, yang berada di ruang tamu, mendengar suaranya yang nyaris putus asa. Ia berlari ke arah kamar Kirana dan mendapati Kirana berdiri dengan wajah pucat di depan jendela. Tanpa banyak bicara, Andi mendekati jendela, menyibak tirai, dan melihat ke luar.
Namun, saat ia melihat keluar, bayangan itu telah hilang. Hanya ada taman yang gelap dan sunyi, seolah-olah tidak ada apa pun yang mengganggu.
“Kirana, di mana dia?” tanya Andi sambil memegang bahu Kirana dengan lembut namun mantap.
“Aku… aku melihatnya, Andi. Dia ada di sana. Berdiri dan menatap ke sini,” bisik Kirana dengan suara gemetar. Matanya masih terfokus pada titik di luar jendela, mencoba mencari bayangan itu kembali, meski kini sudah tidak ada apa-apa lagi.
Andi menenangkan Kirana dengan lembut, memeluknya untuk menenangkan kegelisahannya. “Mungkin kau lelah, Kirana. Setelah semua ini, mungkin pikiranmu sedang tidak tenang. Jangan biarkan dia menguasai ketakutanmu.”
Kirana menarik napas panjang, mencoba memulihkan kendali dirinya. Namun, perasaan bahwa Dion benar-benar ada di sekitar sini masih menghantuinya. “Andi, aku merasa dia mengawasiku. Apa pun yang kita lakukan, dia selalu tahu. Rasanya seperti… aku tak bisa pergi dari bayangannya.”
Andi mengangguk pelan, terlihat serius. “Baiklah, jika kau merasa tak aman di sini, kita bisa pindah untuk sementara. Cari tempat yang lebih aman, hingga kita tahu cara mengatasi ancaman ini.”
Kirana memandang Andi dengan mata yang penuh harap. “Kau yakin, Andi? Tempat yang jauh dari sini… mungkin bisa memberiku sedikit ketenangan.”
Andi tersenyum kecil, mengusap pundak Kirana dengan lembut. “Tentu saja, aku akan mengurus semuanya. Kita berangkat besok pagi.”
Malam itu, Kirana akhirnya merasa sedikit lega. Andi masih ada di dekatnya, menjaga hingga ia tertidur meski tetap tak bisa lelap. Namun, menjelang fajar, suara ponsel Kirana kembali berdering. Tanpa melihat siapa yang menelepon, ia langsung mengangkatnya.
“Jangan kira aku akan melepaskanmu begitu saja, Kirana,” suara Dion terdengar lirih, tetapi penuh ancaman.
Kirana menahan napas, merasa nadinya berdenyut kencang. Dengan suara yang hampir tak terdengar, ia berbisik, “Apa maumu, Dion? Aku sudah tak punya apa-apa lagi yang bisa kau ambil.”
Dion tertawa kecil, sinis. “Aku ingin kau tahu, Kirana… aku akan selalu ada. Di mana pun kau bersembunyi, aku akan menemukanmu. Kau pikir bisa lari dariku? Jangan bermimpi.”
Sambungan telepon terputus begitu saja, meninggalkan Kirana yang masih menggenggam ponsel dengan tangan gemetar. Matanya terpejam, mencoba menenangkan diri, tetapi ancaman Dion terasa semakin nyata. Andi yang berada di dekatnya segera menyadari perubahan di wajah Kirana.
“Kirana, apa yang dia katakan kali ini?”
Kirana membuka matanya, memandang Andi dengan tatapan yang penuh ketakutan. “Dia bilang, ke mana pun aku pergi, dia akan menemukan aku.”
Andi mendesah keras, semakin bertekad untuk melindungi Kirana. “Kita akan pergi pagi ini. Tidak ada waktu untuk menunggu lagi. Mari kita cari tempat yang aman, jauh dari sini.”
Mereka mengemasi barang-barang mereka dengan cepat, dan beberapa jam kemudian, mereka sudah berada di mobil, meninggalkan rumah Kirana. Di sepanjang perjalanan, Andi terus berusaha menenangkan Kirana, meyakinkannya bahwa mereka akan baik-baik saja. Namun, bayangan ancaman Dion tetap menggantung, membuat Kirana tak sepenuhnya bisa tenang.
Ketika mereka tiba di kota kecil yang jauh dari tempat tinggal Kirana sebelumnya, mereka memutuskan untuk menginap di sebuah penginapan sederhana. Suasana sepi dan tenang, tampak aman dan jauh dari hiruk-pikuk yang bisa membuat mereka cemas.
Kirana duduk di tepi ranjang, memandangi ponselnya yang kini ia matikan, berharap Dion tak akan bisa menghubunginya lagi. Namun, saat malam semakin larut, sebuah ketukan pelan terdengar di pintu kamar. Kirana dan Andi saling berpandangan, bingung siapa yang bisa mengunjungi mereka di tempat ini.
Andi berdiri, mendekati pintu, dan bertanya dengan suara rendah, “Siapa di luar?”
Tidak ada jawaban. Hanya hening yang mengisi ruang, seolah-olah ketukan tadi hanyalah imajinasi.
Kirana merasakan jantungnya berdegup kencang, ketakutan mulai menjalari pikirannya. Andi melihat ke arah Kirana, mengisyaratkan agar dia tetap tenang. Dengan hati-hati, Andi membuka pintu sedikit, mencoba melihat ke luar. Namun, tak ada siapa pun di sana, hanya lorong yang gelap dan sepi.
Andi menutup pintu kembali, dan ketika ia berbalik, tiba-tiba suara ponsel Kirana berdering lagi, meskipun sebelumnya telah dimatikan. Kirana mengambil ponsel itu dengan tangan gemetar, menatap layar yang menampilkan nomor tak dikenal.
Ia mengangkat telepon itu dengan perlahan, suaranya nyaris tak terdengar saat berkata, “Halo?”
“Bermain petak umpet, ya? Kau pikir ini bisa membuatmu bebas?” Suara Dion kembali terdengar, dingin dan penuh ancaman.
Kirana terdiam, merasakan seluruh tubuhnya membeku. Sebelum ia sempat merespons, sambungan telepon kembali terputus. Dan saat itu juga, terdengar ketukan keras di pintu kamar, lebih keras dan mendesak.
Andi segera mendekati pintu dengan wajah tegang, memberi isyarat kepada Kirana untuk tetap di belakang. Dengan napas yang tertahan, Andi membuka pintu perlahan, hanya untuk melihat…
Sosok Dion berdiri di sana, dengan senyum dingin yang mengerikan di wajahnya.
“Aku sudah bilang, kau tak bisa lari dariku, Kirana.”
Kirana mundur beberapa langkah, tubuhnya gemetar. Nafasnya memburu, dan ia bisa merasakan bulu kuduknya meremang. Bayangan di luar jendela itu masih bergerak pelan, seakan mempermainkannya. Ia ingin berteriak, tetapi suaranya tercekat di tenggorokan. Tubuhnya membeku, terjebak dalam ketakutan yang terasa begitu nyata.
"Andi!" panggil Kirana dengan suara serak. Namun, suaranya hampir tak terdengar di tengah deru jantung yang berdetak kencang di dadanya.
Andi, yang berada di ruang tamu, mendengar suaranya yang nyaris putus asa. Ia berlari ke arah kamar Kirana dan mendapati Kirana berdiri dengan wajah pucat di depan jendela. Tanpa banyak bicara, Andi mendekati jendela, menyibak tirai, dan melihat ke luar.
Namun, saat ia melihat keluar, bayangan itu telah hilang. Hanya ada taman yang gelap dan sunyi, seolah-olah tidak ada apa pun yang mengganggu.
“Kirana, di mana dia?” tanya Andi sambil memegang bahu Kirana dengan lembut namun mantap.
“Aku… aku melihatnya, Andi. Dia ada di sana. Berdiri dan menatap ke sini,” bisik Kirana dengan suara gemetar. Matanya masih terfokus pada titik di luar jendela, mencoba mencari bayangan itu kembali, meski kini sudah tidak ada apa-apa lagi.
Andi menenangkan Kirana dengan lembut, memeluknya untuk menenangkan kegelisahannya. “Mungkin kau lelah, Kirana. Setelah semua ini, mungkin pikiranmu sedang tidak tenang. Jangan biarkan dia menguasai ketakutanmu.”
Kirana menarik napas panjang, mencoba memulihkan kendali dirinya. Namun, perasaan bahwa Dion benar-benar ada di sekitar sini masih menghantuinya. “Andi, aku merasa dia mengawasiku. Apa pun yang kita lakukan, dia selalu tahu. Rasanya seperti… aku tak bisa pergi dari bayangannya.”
Andi mengangguk pelan, terlihat serius. “Baiklah, jika kau merasa tak aman di sini, kita bisa pindah untuk sementara. Cari tempat yang lebih aman, hingga kita tahu cara mengatasi ancaman ini.”
Kirana memandang Andi dengan mata yang penuh harap. “Kau yakin, Andi? Tempat yang jauh dari sini… mungkin bisa memberiku sedikit ketenangan.”
Andi tersenyum kecil, mengusap pundak Kirana dengan lembut. “Tentu saja, aku akan mengurus semuanya. Kita berangkat besok pagi.”
Malam itu, Kirana akhirnya merasa sedikit lega. Andi masih ada di dekatnya, menjaga hingga ia tertidur meski tetap tak bisa lelap. Namun, menjelang fajar, suara ponsel Kirana kembali berdering. Tanpa melihat siapa yang menelepon, ia langsung mengangkatnya.
“Jangan kira aku akan melepaskanmu begitu saja, Kirana,” suara Dion terdengar lirih, tetapi penuh ancaman.
Kirana menahan napas, merasa nadinya berdenyut kencang. Dengan suara yang hampir tak terdengar, ia berbisik, “Apa maumu, Dion? Aku sudah tak punya apa-apa lagi yang bisa kau ambil.”
Dion tertawa kecil, sinis. “Aku ingin kau tahu, Kirana… aku akan selalu ada. Di mana pun kau bersembunyi, aku akan menemukanmu. Kau pikir bisa lari dariku? Jangan bermimpi.”
Sambungan telepon terputus begitu saja, meninggalkan Kirana yang masih menggenggam ponsel dengan tangan gemetar. Matanya terpejam, mencoba menenangkan diri, tetapi ancaman Dion terasa semakin nyata. Andi yang berada di dekatnya segera menyadari perubahan di wajah Kirana.
“Kirana, apa yang dia katakan kali ini?”
Kirana membuka matanya, memandang Andi dengan tatapan yang penuh ketakutan. “Dia bilang, ke mana pun aku pergi, dia akan menemukan aku.”
Andi mendesah keras, semakin bertekad untuk melindungi Kirana. “Kita akan pergi pagi ini. Tidak ada waktu untuk menunggu lagi. Mari kita cari tempat yang aman, jauh dari sini.”
Mereka mengemasi barang-barang mereka dengan cepat, dan beberapa jam kemudian, mereka sudah berada di mobil, meninggalkan rumah kerabat Andi. Di sepanjang perjalanan, Andi terus berusaha menenangkan Kirana, meyakinkannya bahwa mereka akan baik-baik saja. Namun, bayangan ancaman Dion tetap menggantung, membuat Kirana tak sepenuhnya bisa tenang.
Ketika mereka tiba di kota kecil yang jauh dari tempat tinggal Kirana sebelumnya, mereka memutuskan untuk menginap di sebuah penginapan sederhana. Suasana sepi dan tenang, tampak aman dan jauh dari hiruk-pikuk yang bisa membuat mereka cemas.
Kirana duduk di tepi ranjang, memandangi ponselnya yang kini ia matikan, berharap Dion tak akan bisa menghubunginya lagi. Namun, saat malam semakin larut, sebuah ketukan pelan terdengar di pintu kamar. Kirana dan Andi saling berpandangan, bingung siapa yang bisa mengunjungi mereka di tempat ini.
Andi berdiri, mendekati pintu, dan bertanya dengan suara rendah, “Siapa di luar?”
Tidak ada jawaban. Hanya hening yang mengisi ruang, seolah-olah ketukan tadi hanyalah imajinasi.
Kirana merasakan jantungnya berdegup kencang, ketakutan mulai menjalari pikirannya. Andi melihat ke arah Kirana, mengisyaratkan agar dia tetap tenang. Dengan hati-hati, Andi membuka pintu sedikit, mencoba melihat ke luar. Namun, tak ada siapa pun di sana, hanya lorong yang gelap dan sepi.
Andi menutup pintu kembali, dan ketika ia berbalik, tiba-tiba suara ponsel Kirana berdering lagi, meskipun sebelumnya telah dimatikan. Kirana mengambil ponsel itu dengan tangan gemetar, menatap layar yang menampilkan nomor tak dikenal.
Ia mengangkat telepon itu dengan perlahan, suaranya nyaris tak terdengar saat berkata, “Halo?”
“Bermain petak umpet, ya? Kau pikir ini bisa membuatmu bebas?” Suara Dion kembali terdengar, dingin dan penuh ancaman.
Kirana terdiam, merasakan seluruh tubuhnya membeku. Sebelum ia sempat merespons, sambungan telepon kembali terputus. Dan saat itu juga, terdengar ketukan keras di pintu kamar, lebih keras dan mendesak.
Andi segera mendekati pintu dengan wajah tegang, memberi isyarat kepada Kirana untuk tetap di belakang. Dengan napas yang tertahan, Andi membuka pintu perlahan, hanya untuk melihat
Sosok Dion berdiri di sana, dengan senyum dingin yang mengerikan di wajahnya.