Naina dijual ibu tirinya untuk menikah dengan pria yang tersohor karena kekayaan dan buruk rupanya, juga menjadi pemegang rekor tertinggi karena setiap tahunnya selalu menikahi ratusan wanita. Selain itu, Minos dikenal sebagai psikopat kejam.
Setiap wanita yang dinikahi, kurang dari 24 jam dikabarkan mati tanpa memiliki penyebab kematian yang jelas. Konon katanya para wanita yang dinikahi sengaja dijadikan tumbal, sebab digadang-gadang Minos bersekutu dengan Iblis untuk mendapatkan kehidupan yang abadi.
“Jangan bunuh aku, Tuan. Aku rela melakukan apa saja agar kau mengizinkanku untuk tetap tinggal di sini.”
“Kalau begitu lepas semua pakaianmu di sini. Di depanku!”
“Maaf, Tuan?”
“Kenapa? Bukankah kita ini suami istri?”
Bercinta dengan pria bertubuh monster mengerikan? Ugh, itu hal tergila yang tak pernah dibayangkan oleh Naina.
“... Karena baik hati, aku beri kau pilihan lain. Berlari dari kastil ini tanpa kaki atau kau akhiri sendiri nyawamu dengan tangan di pedangku?”
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 31 - Tamu Tak Diundang
Sebuah benda tumpul mengetuk-ngetuk tanah, gerakannya mirip seperti per spiral yang memantul-mantul. Kayu panjang itu memiliki setengah tubuh yang terbuat dari sekumpulan jerami, dibentuk persis badan manusia tanpa tangan, dipakaikan kemeja panjang, sehingga bagian tangan yang kopong itu terseok-seok terkena angin.
“Hee? Kenapa mereka justru tidur di tengah-tengah acara? Apa mungkin perayaan ditutup lebih awal?”
Boneka jerami atau kerap disebut orang-orangan sawah, bermonolog dengan tatapan bingung. Masih mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini.
Para binatang mendengkur bersamaan, tubuh mereka tergeletak secara sembarang di tanah, beberapa makanan masih ada di tangan atau mulut mereka. Hal itu tentu menjadi tanya besar dalam kepala boneka jerami tersebut.
Sampai ketika ia mendengar suara sesuatu, kasak-kusuk langkah kaki yang menginjak ranting pepohonan. Secara otomatis tubuhnya menengok pada sumber suara.
“Astaga! Bukankah dia...” Mata kaku yang tak bisa berkedip itu menunjukkan ketakutan kala melihat sesuatu yang seharusnya tak akan pernah bisa dirinya lihat di tempat ini.
“Ba-bagaimana dia bisa masuk ke tempat ini?!” sambungnya masih dalam gumam, suaranya yang melengking kecil menandakan apa yang dirinya lihat saat ini amat menyeramkan.
Setengah tubuhnya mulai berbalik, berusaha mengabaikan apa yang sudah dilihatnya barusan. Tapi aksi kabur yang sudah direncanakannya terpaksa batal saat bariton berat yang menggema di tengah keheningan, membuat bagian bawah miliknya mematung.
“Aku bisa melihatmu!”
Kayu kurus itu tak lagi memantul-mantul di tanah. Tapi tak juga berbalik sempurna untuk menatapnya kembali.
Meski hanya boneka jerami yang diberi nyawa, tapi dirinya tetap bisa merasakan hawa panas saat seseorang itu sudah berada di belakang tubuhnya. Seolah-olah rasa panas itu akan membakar tubuh jerami nya dengan mudah.
“Hanya kau satu-satunya yang sadar,” ujarnya kemudian, mata ungu menyala itu menatap nyalang boneka jerami di depannya.
Boneka jerami itu masih belum mau berbalik badan, mulutnya tiba-tiba bergetar karena kalut terlanjur menggerayangi tubuh, “A-aku tidak tahu. Aku juga ... baru sampai di sini. Jadi—”
“Hanya kau yang tak memakan atau meminum jamuan di sini. Dan karena itulah kau tetap sadar,” serobotnya dengan nada dingin.
“Eh? Maksudmu jamuan di sini sengaja diberi sesuatu untuk me—”
“Cepat bawa aku tempat penyihir gila itu!” Lagi, dia memotong pembicaraan. Kali ini intonasinya meninggi.
Burung gagak yang setia hinggap di atas bahu pria itu lantas menyahut, “Tuan, kita tidak boleh gegabah. Kita baru saja sampai. Setidaknya kita perlu mencari tahu tentang tempat apa ini.”
Mengabaikan perkataan Tora, Tuan Minos tak sekalipun mengalihkan pandangannya dari boneka jerami dihadapannya. “Kau tuli? Cepat antar aku ke sana! Ke tempat penyihir yang selalu kau dan para binatang di sini agung-agungkan.”
Merasa tak paham dengan ucapan yang dimaksud, dan merasa tersinggung karena dituduh mengenai hal yang tak pernah dirinya lakukan, boneka jerami itu secara reflek menoleh. Kali ini mereka sudah saling berhadapan.
“Apa maksudmu? Memaksa keluar dari kastil busukmu hanya demi membuat gaduh di sini? Jika kau mencari istrimu yang hilang, sudah terlambat, bung! Dia tak akan pernah—akhhkhh!”
Kayu ramping itu tak lagi menapak dengan tanah, tubuhnya diangkat oleh sihir yang dibuat oleh Tuan Minos. Kobaran api berwarna biru perlahan menjalar dari pergelangan tangannya, mencapai leher boneka jerami tersebut.
Semakin mencekik kuat. Nyaris membakar tubuh jerami itu.
“Cepat antarkan aku padanya!” titah Tuan Minos penuh penekakan, lalu mengangkatnya lebih tinggi ke udara.
“Pah-padah si-siapaah? A-aku tidakh tahu pe-penyi-hir yangh kau maksuddh!”
Merasa kesal karena telah membuang banyak waktu untuk mengoceh dengan boneka jerami menyebalkan itu, Tuan Minos mengetatkan rahangnya. Lantas menariknya lebih dekat, membuat jarak mereka hanya tersisa beberapa centi lagi.
“Antar aku pada seseorang yang paling kalian hormati di hutan ini!” jelas Tuan Minos tepat di depan wajah boneka jerami tersebut, hembusan napasnya yang panas sedikit menggosongkan wajah boneka itu.
***
Sementara di lain tempat, Naina yang belum sadarkan diri, sudah dipindahkan ke tepian sungai yang lokasinya tak jauh dari hunian seseorang yang telah menculiknya beberapa saat lalu.
Tubuhnya dibaringkan di sana, sebelumnya pakaiannya telah dilucuti dan kini tubuhnya hanya ditutupi oleh sebuah kain. Kulitnya menjadi pucat, serta luka di dahi akibat tusukan jari seseorang itu masih membekas di sana. Tampak biru keunguan.
Pria dengan muka keriput itu tertawa menyeringai, duduk tepat di sebelah Naina. Rambut panjang mengembang yang penuh dengan uban tersebut menjuntai menyapu permukaan wajah Naina ketika berusaha menatapnya dari dekat.
“Tubuh ini memang tidak se-sempurna gadis yang sebelumnya. Tapi jika harus menunggu ratusan bahkan ribuan tahun lamanya hanya untuk bertemu dengan gadis pemilik darah langka lagi, maka lebih baik aku menggunakan kesempatan ini sekarang,” ujarnya sambil berpindah tempat.
Tubuh ringkih berbalut baju panjang full hitam itu berpindah ke sisi kiri tubuh Naina, sebelum menurunkan kakinya ke dalam sungai, mulutnya komat-kamit merapalkan mantra.
Lalu telunjuknya dimasukkan ke dalam air, tak lama aliran sungai yang jernih tersebut berubah menjadi hitam pekat. Menyatu dengan warna kegelapan malam di sini, remang-remang dari cahaya bulan bahkan tak memantul dalam sungai tersebut.
Perlahan ia mulai masuk ke dalam aliran sungai yang hanya setinggi lutut orang dewasa itu. Duduk di sana, mulai merapalkan mantra dan menaburkan beberapa bunga yang telah dirinya bawa sebelumnya.
“Maaf telah menipumu gadis kecil,” bisiknya seraya mengguyurkan air kehitaman itu pada tubuh Naina yang kian memucat.
“Bagaimanapun juga, kehadiranmu sebagai pemilik darah langka di dunia ini, akan selalu menjadi incaran orang-orang sepertiku. Entah karena takdir buruk selalu menjadi ketetapanmu, kau justru mempermudah jalanku dengan menikah dengan si buruk rupa itu.”
Setelah cukup bolak-balik mengguyur tubuh Naina dari atas kepala hingga ujung kaki sebanyak 77 kali, pria itu beranjak dari sungai. Berjalan masuk ke dalam hunian miliknya, lalu kembali keluar sambil membopong tubuh seorang perempuan yang tampak kaku.
Dia menaruhnya tepat di sebelah tubuh Naina, sehingga saat ini mereka berbaring dengan sejajar. Dan kini giliran perempuan kaku itu yang ia guyuri air kehitaman dari sungai dengan jumlah yang sama seperti Naina tadi.
Setelahnya ia menggunting rambut Naina secara asal, mengambilnya segenggam, ia melakukan hal yang sama pada perempuan di sebelahnya. Kedua rambut mereka rencananya akan diikat oleh sesuatu.
“Tinggal satu langkah lagi, maka semuanya—”
Belum sempat perkataannya tuntas terucap, entah bagaimana sampai bisa dirinya tak sadar, rupanya pria tua itu mendapat tamu tak diundang yang kemungkinan akan mengancam kelancaran ritual yang hendak dilakukannya malam ini.
“Ka-kau—” Mulutnya mendadak kelu saat matanya membidik jelas seseorang yang menjadi tamu tak diundang di sini.
“Bukankah—” Belum sempat menyelesaikan ucapanya, mulutnya kembali terkunci saat melihat burung putih berekor panjang yang menjadi kaki tangannya selama ini, sudah berada di tangan seseorang di sana dalam keadaan tak bernyawa.
“Dia burung yang menyebalkan. Tapi sekarang sudah aku bunuh. Dan sebentar lagi pemiliknya akan menyusul!”
Burung yang berada dalam genggaman sebelumnya, langsung dilemparkan secara sembarang. Seperti menunjukkan bahwa burung itu tak ada harga dirinya lagi.
Pertemuan mereka setelah sekian lama tak berjumpa menciptakan ketegangan luar biasa di antara keduanya. Atmosfir di sini pun terasa mencekam, menghasilkan teror yang mengintai di setiap penjuru tempat.
“Ysandre Hellsong, persis seperti namamu, akan kubuat kau membayar semuanya malam ini dan segera kuantar kau ke neraka!”
Perkataan yang dilayangkan Tuan Minos barusan, laksana gemuruh yang mengisi kaki-kaki langit. Menggelegar, setiap katanya berisikan dendam berbalut amarah yang bergejolak.
***