Rehan, seorang sarjana Fisika, tinggal di Jakarta dan mengandalkan logika dalam segala hal. Suatu malam hujan, ia berteduh di sebuah warkop dan bertemu Dinda, seorang pelayan yang cantik dan ramah. Rehan merasa ada sesuatu yang berbeda, tetapi ia tidak percaya pada perasaannya. Untuk membuktikan apakah perasaan itu nyata, Rehan memutuskan untuk melakukan eksperimen ilmiah tentang cinta, menggunakan prinsip-prinsip sains yang ia kuasai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertanyaan yang menghantui
Bayu berjalan menuju ruang kuliah, langkahnya agak terburu-buru, namun tetap terkesan tenang. Pikiran-pikirannya terasa seperti berkelahi satu sama lain—ada kebingungan, kegelisahan, dan perasaan yang sulit untuk diungkapkan. Di luar sana, di kampus yang ramai, teman-temannya mulai berlari menuju kelas masing-masing, namun Bayu merasa terisolasi dalam keramaian. Seperti biasa, ia mengalihkan perhatian ke dalam dirinya sendiri.
Di tengah keramaian itu, Rara muncul di depannya, mengenakan jaket biru tua dengan rambutnya yang tergerai sempurna. Bayu tidak bisa menahan pandangannya dari Rara, meskipun dia tahu itu bukanlah hal yang seharusnya ia lakukan. Setiap kali matanya bertemu dengan matanya Rara, perasaan itu datang lagi—perasaan yang tidak bisa ia pahami.
"Bayu!" suara Rara terdengar begitu jelas di tengah riuhnya suara kampus. "Kenapa lo kayak orang bingung gitu? Ada apa?"
Bayu menghela napas panjang. "Gue... gue gak tahu," jawabnya sambil menunduk, mencoba menghindari tatapan Rara. "Gue merasa ada yang aneh, Rara."
"Kenapa lo harus merasa aneh? Kan gak ada yang aneh," Rara merapatkan langkahnya. Wajahnya terlihat serius, meski ada sedikit rasa penasaran yang tergambar di matanya. "Kalau lo gak nyaman atau bingung, ya ceritain aja."
Bayu menatapnya sejenak, lalu menurunkan pandangannya ke lantai. "Gue cuma... merasa gak enak sama lo," ucapnya pelan.
Rara terdiam sejenak, matanya memandang Bayu dengan serius. "Kenapa? Lo gak suka sama gue?"
Bayu terdiam, merasa terjebak dalam pertanyaan itu. "Bukan itu maksud gue," jawabnya akhirnya. "Cuma, lo tahu kan, gue itu gak peka dalam hal-hal kayak gini."
Rara tersenyum. "Tapi lo gak perlu jadi peka kalau lo bisa jujur. Gue gak nyuruh lo ngerti soal perasaan gue, Bayu. Gue cuma... pengen lo tahu kalau gue ada di sini."
Bayu menatapnya lebih lama, mencoba mencerna kata-kata Rara. Dalam benaknya, berbagai kutipan filsafat yang pernah ia pelajari muncul, tapi tidak ada satu pun yang bisa memberikan jawabannya. "Gue ingat kata-kata Socrates... 'Kenalilah dirimu sendiri,' tapi, kenapa ya, gue malah makin bingung tentang diri gue sendiri?" gumam Bayu, lebih pada dirinya sendiri.
Rara sedikit terkejut mendengar kata-kata itu. "Lo... lo ngomong apa? Apa maksud lo?"
Bayu tersenyum kecut, merasa bodoh karena mengungkapkan sesuatu yang begitu filosofis dalam momen yang tidak tepat. "Gak apa-apa. Maksud gue, gue merasa... nggak cukup ngerti tentang diri gue sendiri, Rara."
Rara mengangguk pelan. "Mungkin itu alasan kenapa lo gak bisa ngerti orang lain, kan?" katanya dengan lembut.
Bayu terdiam. "Ya, mungkin." Dia menatap mata Rara yang penuh perhatian, dan entah kenapa, ia merasa sedikit lebih tenang.
"Apa lo tahu, Bayu?" Rara melanjutkan, "Kadang kita gak perlu ngerti semuanya. Kita cuma perlu menerima apa adanya dan jalanin hidup, tanpa terlalu banyak bertanya kenapa."
Bayu mengangguk pelan, mencoba mencerna kata-kata Rara yang terasa berbeda dari filosofi yang biasa ia pelajari. "Lo benar. Mungkin gue memang terlalu banyak bertanya pada diri gue sendiri."
Tiba-tiba, mereka mendengar suara teman-teman mereka dari kejauhan, yang sedang berjalan menuju ruang kelas. "Ayo, Bayu! Riko udah nunggu di kelas, ayo!" teriak Dimas, teman Bayu yang selalu ceria.
Bayu mengangguk dan memberi isyarat pada Rara. "Gue harus ke kelas dulu, Rara. Thanks ya."
Rara mengangguk sambil tersenyum. "Iya, gak apa-apa. Semoga lo bisa lebih paham tentang diri lo, Bayu."
Bayu tersenyum ragu, namun mencoba untuk meyakinkan dirinya sendiri. "Iya, gue akan coba."
Dia berjalan menuju kelas, pikirannya masih berkecamuk. Namun, di dalam dirinya, ada secercah harapan baru. Mungkin perasaan yang ia rasakan bukanlah sesuatu yang buruk. Mungkin perasaan itu justru yang akan mengubah dirinya—mengubah cara pandangnya terhadap dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya.
Di dalam kelas, Bayu duduk di bangkunya, menghadap papan tulis. Riko, Dimas, dan Adit sudah duduk di sebelahnya, sambil berbicara tentang tugas kuliah yang menumpuk. "Bro, gue pusing banget nih," kata Dimas, memiringkan kepala ke arah Bayu. "Tugas dari dosen itu, kenapa sih kayak gak ada habisnya?"
Bayu hanya mengangguk sambil menghela napas. "Iya, gue juga lagi pusing." Namun, dalam hatinya, Bayu tidak bisa berhenti berpikir tentang apa yang baru saja terjadi dengan Rara. Kata-katanya, tatapannya, semuanya berputar-putar di pikirannya.
"Lu kenapa, Bayu? Kayak mikir keras banget," tanya Riko, yang duduk di samping Bayu.
Bayu tersenyum sedikit. "Gak apa-apa. Cuma lagi mikirin beberapa hal."
Adit, yang duduk di depan mereka, menoleh. "Mikirin soal kuliah atau soal cewek?" godanya.
Bayu terdiam sejenak, tidak tahu harus berkata apa. Semua teman-temannya tahu kalau Bayu jarang berbicara tentang hal pribadi. "Gue cuma mikirin tugas sih," jawabnya akhirnya.
Namun, dalam hati, Bayu tahu bahwa tugas terbesar yang harus ia hadapi bukanlah soal kuliah atau ujian, tapi lebih pada perasaannya sendiri. Bayu harus memutuskan apakah ia siap menghadapi perasaan itu—perasaan yang datang begitu tiba-tiba dan tak terduga.
Di luar kelas, suasana kampus tetap ramai. Bayu tetap merasa terasing, tetapi ada satu hal yang ia sadari: untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia merasa sedikit lebih dekat dengan orang lain, dengan Rara.
Namun, perasaan itu juga terasa menakutkan. Bagaimana bisa dia, seorang yang selalu merasa tidak cukup, menghadapinya? Apakah dia bisa memahami perasaannya sendiri, ataukah dia akan terus terjebak dalam kebingungannya?
Bayu menggelengkan kepala, mencoba menepis pertanyaan-pertanyaan itu. Mungkin waktu yang akan memberi jawabannya. Namun satu hal yang pasti—Bayu merasa bahwa perjalanan hidupnya, yang selama ini ia jalani dengan kesendirian, kini sedang memasuki babak baru.
Babak yang penuh dengan pertanyaan—pertanyaan tentang diri sendiri, tentang orang lain, dan tentang perasaan yang tak bisa ia jelaskan.