Calista Izora, seorang mahasiswi, terjerumus ke dalam malam yang kelam saat dia diajak teman-temannya ke klub malam. Dalam keadaan mabuk, keputusan buruk membuatnya terbangun di hotel bersama Kenneth, seorang pria asing. Ketika kabar kehamilan Calista muncul, dunia mereka terbalik.
Orang tua Calista, terutama papa Artama, sangat marah dan kecewa, sedangkan Kenneth berusaha menunjukkan tanggung jawab. Di tengah ketegangan keluarga, Calista merasa hancur dan bersalah, namun dukungan keluarga Kenneth dan kakak-kakaknya memberi harapan baru.
Dengan rencana pernikahan yang mendesak dan tanggung jawab baru sebagai calon ibu, Calista berjuang untuk menghadapi masa depan yang tidak pasti.
Dalam perjalanan ini, Calista belajar bahwa setiap kesalahan bisa menjadi langkah menuju pertumbuhan dan harapan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rrnsnti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
mantan Jehana
Pintu ruangan Calista terbuka, menampakkan sosok kak Kania yang baru saja datang. Jehana merasakan lega karena ada yang bisa membantunya menghadapi situasi ini. Kania berjalan cepat, khawatir melihat Calista yang duduk di tepi ranjang sambil mengusap air mata yang tak kunjung berhenti.
"Eh, Calista, kenapa?" tanya Kania dengan nada panik saat melihat wajah Calista yang penuh dengan kesedihan.
"Kangen Kenneth katanya, biasa bawaan bayi," jawab Jehana, mencoba meringankan suasana. Kania mengangguk mengerti, meski tampak tidak sepenuhnya yakin.
"Sabar ya, Cal. Nanti kakak telepon Kenneth suruh cepetan balik ya," kata Kania dengan lembut, berusaha menenangkan adik iparnya. Calista hanya mengangguk pelan, hatinya terasa berat.
"Kak Kania sama siapa kesini?" tanya Jehana, mencoba mengalihkan perhatian dari kesedihan Calista.
"Oh, sama pacar aku... Eh, itu dia orangnya," jawab Kania sambil menunjuk seorang laki-laki yang baru saja masuk ke dalam ruangan Calista.
Calista dan Jehana terdiam, melihat laki-laki itu dengan ekspresi terkejut. Laki-laki tersebut pun tampak kaget saat melihat dua wanita di dalam ruangan.
"Sayang, sini!" panggil Kania agar laki-laki tersebut mendekat.
"Cal, Na, kenalin ini pacar aku, namanya Kendra," Kania memperkenalkan pacarnya pada mereka berdua. Kendra hanya bisa tersenyum gugup, merasa tidak nyaman dengan situasi ini.
"Oh iya, aku ke kantin bawah dulu ya, mau beli sesuatu," ucap Kania. "Kendra, tolong jagain adik ipar aku sama temennya ya di sini." Kania pun segera pergi menuju kantin, meninggalkan Kendra bersama Calista dan Jehana.
"Eh Cal, Na... hehehehe," Kendra mencoba membuka percakapan, tetapi suaranya terdengar canggung.
"Oh, jadi pacar lo yang lo selingkuh sama gue ternyata kak Kania," sindir Jehana dengan nada sinis.
"Berani-beraninya lo selingkuhin kakak ipar gue dan jadiin temen gue selingkuhan lo!" omel Calista dengan nada marah.
"Sumpah, maafin gue! Gue khilaf," Kendra mencoba meminta maaf, namun wajahnya terlihat ketakutan oleh dua wanita yang bersikap tajam.
"Alah, basi! Jangan di maafin, Na. Buaya darat!" seru Calista, menatap Kendra dengan tatapan tajam.
"Jangan gitu dong, Cal!" Kendra mencolek dagu Calista, berusaha merayu agar Calista mau berbaik hati. Namun, Calista segera memukul lengan Kendra.
"Gak usah megang-megang gue! Gak suka gue sama lo!" kata Calista galak.
"Na, lo diem aja? Lo belum move on ya dari gue?" tanya Kendra dengan nada percaya diri.
"Mata bapak lo belum move on! Eh, dengerin ya, gue tuh putus sama lo bagaikan buang emas dapet berlian! Gue udah punya pacar yang lebih bisa jadiin gue ratu satu-satunya di hidup dia!" jelas Jehana dengan tegas.
"Masa iya? Gue gak percaya. Lagian gak mungkin lah, kalo lo secepat itu move on dari gue," goda Kendra.
"Ckk, lo liat aja nanti!" balas Jehana, memutar bola matanya malas.
"Heh! Gue bilangin ke kak Kania loh ya, biar di putusin!" ancam Calista, menatap Kendra dengan serius.
"Eh, eh, Cal, janganlah please..." Kendra tampak ketakutan, berusaha meredakan suasana.
"Bener ya? Gue pegang nih omongan lo, dan kalo sampe lo punya pacar lagi... beuhhh, gue bocorin sampe akar-akar nya ke kak Kania," sinis Calista, membuat Kendra hanya bisa mengangguk pasrah. Jehana tertawa melihat kekhawatiran Kendra.
"Iya, iya, ampun..." Kendra pun pasrah pada Calista, membuat Calista dan Jehana menjadi senang.
Keadaan pun menjadi hening, dengan Jehana dan Calista hanya menatap Kendra sinis. Kendra yang ketakutan hanya bisa bermain dengan handphone-nya.
"Anjir, gue kayak masuk kandang macan," batin Kendra.
"Gausah lirik-lirik! Gue colok mata lo nanti!" omel Calista pada Kendra yang tertangkap basah sedang melirik ke arah mereka.
"Janganlah galak-galak, kasian bayinya nanti pas lahir emosian kayak lo, Cal," Kendra mencoba menenangkan Calista.
"Bayi-nya udah emosi liat muka lo! Rasanya pengen nendang lo aja," sindir Jehana, menambahkan bumbu pada suasana tegang itu.
Baru saja Kendra mau berbicara, tiba-tiba...
"Udah diem! Gak usah ngomong! Lo ngomong bawaan-nya kita emosi!" omel Calista dan Jehana kompak, membuat Kendra kembali menutup mulutnya.
Tak lama kemudian, Kania kembali dengan membawa sekantong makanan untuk mereka.
"Loh, kok pada diem? Canggung ya?" tanya Kania, bingung melihat suasana hening di ruangan.
"Iya, kak, canggung banget nih," jawab Jehana sambil menekan nada suaranya agar terdengar lebih dramatis.
"Oh, iya, nih buat kalian. Kalo mau makan, ambil aja," persilakan Kania, lalu Kendra yang merasa lapar segera mengambil makanan dari kantong Kania, sementara Calista dan Jehana hanya menggelengkan kepala melihat tindakan Kendra.
"Calista..." panggil Kenneth yang baru saja kembali dari kampus.
"Ken! Hai!" seru Calista senang, membuat Kenneth bingung.
"Tumben, kenapa si Calista jadi begini?" tanya Kenneth dengan tatapan bingung, melihat wajah Calista yang merah.
"Hormon ibu hamil, Ken," jawab Kania, mengedipkan mata.
"Ken, sini..." panggil Calista, menyuruh Kenneth mendekat.
"Sebentar ya... aku cuci tangan dulu, kotor soalnya habis kemana-mana," kata Kenneth, lalu Calista mengangguk.
"Gak usah begitu deh, Cal. Gue geli," kesal Jehana saat melihat wajah Calista yang cemberut dengan imut.
"Yee, sirik aja," sindir Kendra, tertawa geli melihat tingkah Jehana dan Calista.
"Eh, kok kamu mulutnya begitu sih, Kendra? Emang kalian udah saling kenal?" tegur Kania kebingungan, membuat Kendra panik.
"Nggak, kak, kita gak kenal. Emang kayaknya pacar kakak aja tuh yang sok akrab," ceplos Jehana, membuat Kendra terdiam.
Kenneth yang sudah selesai mencuci tangan segera keluar dari kamar mandi dan menghampiri Calista yang berada di ranjang.
"Kenapa, Cal?" tanya Kenneth, melihat Calista yang masih terlihat murung.
Calista hanya menggelengkan kepala, berusaha menyembunyikan kesedihannya.
"Dih, aneh," gumam Jehana, merasa ada yang tidak beres.
"Ken, tadi si Calista nangis, katanya kangen sama lo. Lagian lo lama banget sih di kampus," ceplos lagi Jehana, tak bisa menahan diri untuk tidak memberikan informasi itu.
"Emang iya? Serius?" tanya Kenneth, terlihat khawatir.
"Iya, tapi bukan aku yang kangen. Nih, si dedek yang kangen papa-nya," jawab Calista malu, mencoba menyembunyikan perasaannya.
"Uh, bagai di terbangkan ke awan lalu dijatuhkan begitu saja ke daratan, sakit!" ledak Kendra pada Kenneth, disertai tawa kecil.
Kendra pun mendapatkan cubitan dari Kania, membuatnya terkejut. "Alay," sindir Jehana pada Kendra, yang membuat suasana semakin ringan.
Kendra yang merasa terpojok, berusaha untuk ikut dalam obrolan, tetapi setiap kali ia membuka mulut, Calista dan Jehana selalu menyela.
Tak lama, suasana mulai kembali normal. Kenneth duduk di samping Calista, mencoba menggenggam tangannya. "Cal, kamu kenapa sih? Cerita sama aku," pintanya lembut.
Calista mengalihkan pandangannya, berusaha mengumpulkan kata-kata. "Gak apa-apa, Ken. Aku cuma kangen."
"Kangen? Kangen sama apa? Sama aku atau sama yang lain?" Kenneth menggoda, berusaha mencairkan suasana.
Calista tersenyum tipis, "Kangen sama kamu, sayang."
Kendra yang melihat momen itu hanya bisa geleng-geleng kepala, sementara Jehana mulai merasa tergerak hatinya melihat kemesraan mereka.
Kania yang menyaksikan situasi itu, merasa lega. "Eh, kalian jangan terlalu manja ya. Kasihan bayinya!" serunya, berusaha mengingatkan agar keduanya tidak terlalu larut dalam perasaan.
"Ya, ya, kami ingat," jawab Kenneth sambil tertawa, merangkul