5 hari sebelum aku koma, ada sesuatu yang janggal telah terjadi, aneh nya aku tidak ingat apa pun.
__________________
"Celine, kau baik-baik saja?"
"Dia hilang ingatan!"
"Kasian, dia sangat depresi."
"Dia sering berhalusinasi."
__________________
Aku mendengar mereka berbicara tentang ku, sebenarnya apa yang terjadi? Dan aneh nya setelah aku bangun dari koma ku, banyak kejadian aneh yang membuat ku bergidik ketakutan.
Makhluk tak kasat mata itu muncul di sekitar ku, apa yang ia inginkan dari ku?
Mengapa makhluk itu melindungi ku?
Apakah ini ada hubungan nya dengan pria bermantel coklat yang ada di foto ku?
Aku harus menguak misteri ini!
___________________
Genre : Horror/Misteri, Romance
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maylani NR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehadiran Briyon
Jeritan Celine masih menggema, ketika melihat makhluk menyeramkan itu memegang paru-paru nya dengan kuku-kuku nya yang tajam.
Suasana di dapur tiba-tiba berubah drastis menjadi lebih mencekam. Aura gelap menyebar di belakang makhluk seram itu, menampilkan sesosok hantu pria dengan postur tubuh tinggi menyentuh langit-langit apartemen. Celine mengenali sosok itu dalam sekejap—Briyon.
"Briyon?" bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar di tengah ketakutannya.
Briyon bergerak cepat. Dengan kekuatan yang luar biasa, ia mencengkeram leher makhluk menyeramkan itu dari belakang. Kuku-kuku makhluk tersebut yang sebelumnya mencengkeram dada Celine segera terlepas. Briyon menarik tubuh hantu itu menjauh dari Celine dan mengangkatnya tinggi-tinggi, seperti sedang menangkap seekor binatang liar.
Mata Briyon berubah menjadi merah menyala, memancarkan kilatan yang dingin dan mematikan. Aura hitam pekat mulai mengelilingi tubuhnya, menebar hawa mencekam ke seluruh ruangan. Hantu yang sebelumnya begitu menakutkan kini tampak gemetar di genggaman Briyon, seolah-olah menyadari bahwa ia telah berhadapan dengan sesuatu yang jauh lebih kuat darinya.
Dari mulut Briyon keluar suara geraman yang dalam dan menggelegar, seperti peringatan terakhir bagi makhluk di hadapannya.
Celine, yang masih dalam keadaan terkejut, mundur perlahan ke sudut ruangan. Punggungnya menempel pada dinding dingin, tubuhnya gemetar hebat. Ia tidak pernah melihat Briyon seperti ini sebelumnya.
Sementara itu, Briyon tetap mencengkeram leher hantu itu dengan kekuatan yang tampak tak terbendung. Kabut hitam pekat mulai muncul dari tubuh Briyon, bergerak seperti makhluk hidup yang berusaha membungkus tubuh makhluk menyeramkan tersebut.
Hantu itu mengerang, mencoba melawan, tetapi kekuatannya memudar dengan cepat. Kabut hitam perlahan menelannya, menyelimuti seluruh tubuhnya hingga tak ada lagi yang terlihat selain kegelapan. Dalam hitungan detik, makhluk menyeramkan itu lenyap tanpa jejak, seperti ditelan oleh kekosongan.
Ruangan kembali sunyi. Hanya ada Briyon yang berdiri di tengah kabut yang perlahan memudar. Namun, ketika ia berbalik untuk melihat Celine, wajahnya tidak menunjukkan kehangatan seperti biasanya. Matanya tetap merah menyala, dan aura mengerikan masih mengelilinginya.
Celine menatapnya dengan ketakutan yang bercampur kebingungan. "B-Briyon …?" panggilnya dengan suara gemetar, berharap bisa mengenali pria yang begitu ia cintai.
Namun, Briyon hanya menatapnya tanpa berkata apa-apa, tatapan matanya yang merah tampak menusuk, penuh amarah yang belum sepenuhnya padam.
Celine masih berjongkok di sudut ruangan, tubuhnya gemetar hebat. Meski ia tahu itu adalah Briyon, sosok yang ia cintai, hati kecilnya tidak bisa menahan rasa takut yang begitu dalam. Aura gelap yang menyelimuti Briyon beberapa saat lalu masih terbayang jelas di pikirannya.
Ia menenggelamkan wajahnya dalam pelukan kedua tangannya, berusaha menghindari tatapan Briyon. Napasnya tersengal, dan ia tidak berani mengangkat kepala.
"Celine," suara lembut namun dalam terdengar memanggilnya.
Celine memberanikan diri sedikit mengintip. Matanya perlahan terbuka, dan di depan matanya, Briyon kini melayang mendekat. Ia tidak lagi terlihat seperti sosok yang menyeramkan seperti sebelumnya. Wajahnya kembali lembut seperti yang Celine kenal, dengan senyum kecil yang menenangkan.
Melihat itu, rasa takut yang sebelumnya melumpuhkannya mulai memudar. Senyuman Briyon terasa seperti sinar hangat di tengah malam yang dingin. Perlahan, Celine tersenyum kembali, air matanya masih mengalir namun kini bukan karena rasa takut, melainkan rasa rindu.
Ia merentangkan kedua tangannya, tubuhnya gemetar, tapi penuh harap. "Briyon …" panggilnya lembut, suaranya bergetar.
Celine ingin memeluknya. Namun, ketika tubuhnya mendekat, ia tersungkur ke lantai. Tubuh Briyon yang transparan membuatnya terjatuh ke depan.
"Aaahhh …" Celine meringis kesakitan sambil mengusap lututnya. Ia menatap Briyon dengan wajah kesal namun juga sedih. "Kenapa kamu tidak memadatkan tubuhmu?" keluhnya. "Aku kan ingin memelukmu …"
Briyon tidak menjawab, hanya menatapnya dengan senyum yang tetap hangat. Tatapannya penuh kasih, seolah meminta maaf atas keterbatasannya sebagai sosok yang sudah tidak lagi hidup di dunia manusia.
Namun, Briyon mendengar permintaan Celine. Ia mengangkat tangan kanannya perlahan, dan seketika, tangannya mulai memadat. Meski masih tampak seperti bayangan, kini tangannya terlihat lebih nyata. Dengan lembut, ia menyentuh wajah Celine.
Celine terkejut, merasakan dinginnya sentuhan itu. Tangan Briyon begitu dingin, seperti es yang baru saja dikeluarkan dari dalam freezer. Namun, ada kehangatan emosional yang tak bisa dijelaskan.
"Briyon …" bisik Celine, matanya membasah lagi. Ia menempelkan pipinya pada tangan dingin itu, menutup matanya sejenak. Meski dingin, ia merasa nyaman.
"Terima kasih sudah melindungi ku," ucap Celine dengan suara pelan, hampir seperti bisikan. Ia membuka matanya dan melihat senyuman Briyon sebagai jawaban.
Hening melingkupi ruangan. Hanya ada dua jiwa yang saling memahami, meskipun terpisah oleh dunia yang berbeda. Celine tahu ia tidak bisa memeluk Briyon sepenuhnya, tetapi sentuhan kecil itu sudah cukup untuk membuat hatinya terasa penuh.
...****************...
Di sebuah ruangan gudang, pukul 22:00
Terlihat ruangan itu sunyi, hanya di isi oleh suara samar tetesan air dari sudut gudang yang gelap. Sebuah lampu redup menggantung di tengah ruangan, memancarkan cahaya kuning temaram yang hanya cukup untuk menerangi sosok Sovia yang terikat di sebuah kursi kayu.
Tangan dan kakinya di ikat erat dengan tali, sementara mulutnya di lakban. Wajahnya tampak pucat, masih dalam kondisi pingsan setelah di bius oleh penculiknya. Namun, perlahan, Sovia mulai bergerak. Dengan tatapan sayup, ia membuka matanya, mencoba memahami keadaan di sekitarnya.
Ketika pandangannya semakin jelas, ia menyadari tempatnya berada. Sebuah gudang kosong yang gelap, dengan bau lembap dan debu yang menusuk hidungnya. Sovia berusaha bergerak, namun rasa sakit dari pergelangan tangannya yang terikat membuatnya tersentak.
"Di mana aku? Kenapa aku bisa ada di sini?" gumamnya dalam batin, berusaha tetap tenang meskipun hatinya diliputi rasa takut.
Perlahan, ingatannya kembali. Wajah dua pria kekar berjas hitam yang tiba-tiba menculiknya muncul di benaknya. Ia teringat bagaimana mereka membiusnya di jalan dan menyeret tubuhnya ke dalam mobil. "Sialan, sebenarnya mereka siapa?" pikirnya sambil mencoba melepaskan diri dari ikatan di pergelangan tangannya.
Dari luar ruangan, terdengar suara langkah kaki mendekat. Kemudian suara kunci yang diputar terdengar jelas, membuat jantung Sovia berdegup kencang.
Klak!
Kreaaat!
Pintu besar gudang itu terbuka, dan beberapa orang masuk ke dalam. Cahaya lampu dari lorong menerangi mereka sebentar sebelum pintu kembali ditutup, Sovia memfokuskan matanya, berusaha mengenali wajah orang-orang itu di bawah cahaya remang.
Awalnya, ia tidak bisa melihat dengan jelas siapa mereka. Namun, saat salah satu dari mereka mendekat dan berdiri di hadapannya, Sovia terkejut.
"Devid?" bisiknya dalam hati, matanya membelalak.
Pria itu tersenyum tipis, senyuman yang penuh dengan kesombongan. "Akhirnya pengganggu sudah ditangkap," katanya dengan nada dingin.
Sovia menatap Devid dengan campuran rasa marah dan bingung. Ia mencoba bersuara, tapi lakban di mulutnya membuatnya hanya bisa mengeluarkan suara teredam.
"Hmmmmmm ... mmmm ..."
Devid membungkuk sedikit, menatap Sovia dengan tatapan penuh kemenangan. "Kau terlalu banyak tau," katanya pelan namun menusuk. "Dan itu membuatmu dalam masalah."
Sovia merasa darahnya mendidih mendengar ucapan itu. Meski tubuhnya terikat, pikirannya berputar cepat, mencoba mencari cara untuk melawan atau melarikan diri.
Namun, Devid hanya tertawa kecil. "Jangan terlalu banyak berpikir, Sovia. Sekarang kau berada di tanganku. Tidak ada yang bisa menyelamatkanmu."
Ruangan kembali sunyi, hanya diisi oleh nafas Sovia yang berat dan ketakutan yang semakin mencengkeramnya.
...Bersambung ......