"Jangan harap aku akan tunduk kepada siapapun! Apalagi seorang wanita sepertimu!" Alaska Dirgantara.
"Sekeras apapun hatimu menolakku, aku tidak peduli! Akan aku pastikan hati sekeras batu itu luluh dengan caraku!" ucap Arumi Nadya Karima.
Alaska Dirgantara, merupakan pewaris tunggal Dirgantara. Pria keras dan kasar yang terpaksa harus menerima perjodohan dengan wanita pilihan Papa Farhan---ayah kandungnya, sebagai syarat untuk mendapatkan aset keluarganya.
***
Terbangun dari koma selama tiga bulan, Arumi Nadya Karima dikagetkan dengan status barunya yang tiba-tiba sudah menjadi istri dari pria kejam yang bahkan tidak dikenalinya sama sekali. Dan lebih parahnya lagi, ia hanya dijadikan alat untuk mempermudah jalannya mendapatkan aset Dirgantara dari ayah mertuanya.
Akankah Arumi mampu menjalini hari-harinya berganti status seorang istri dari pria keras dan kejam? Atau memilih pergi dari suaminya? Yuk ikuti kisah selanjutnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lina Handayani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18 : Perdebatan Di Pagi Hari
..."Sejatinya istri hanya mentaati perintah suami, sedangkan suami melindungi istrinya. Keduanya harus dilaksanakan. Jangan berlebihan, karena itu akan menyakitinya, sewajarnya saja karena semua ada batasnya."...
...~~~...
Keesokan harinya, Arumi kembali ke rutinitas barunya. Ia mulai memasak untuk Alaska, sedangkan yang ditunggu masih nyaman berbaring di atas tempat tidur padahal hari sudah pagi, matahari pun sudah memunculkan cahayanya sehingga masuk ke dalam jendela kamar Alaska.
"Bi, ini semua masakannya susah siap. Tolong siapkan di atas meja makan ya? Arumi mau bangunin dulu Mas Alaska takutnya dia marah karena telat masuk kerja, soalnya Mas Alaska susah bangun," ucap Arumi sembari terseyum mengingat-ingat kebersamaannya dengan Alaska sewaktu masih di rumah mertuanya.
"Siap Non, tenang saja. Bibi urus semuanya, Non Arumi bangunin saja Den Alaska," ujar Bibi Retno sudah siap membawa makanan ke meja makan.
"Oke, terimakasih ya Bi? Maaf merepotkan terus," lanjut Arumi tidak enak kepada pembantunya itu.
"Iya tidak apa Non, Bibi senang kok enggak ngerasa direpotin," kata Bibi Retno seketika membuat Arumi tersenyum tenang.
"Kalau begitu, Arumi tinggal dulu ya? Mau ke atas," ucap Arumi yang langsung diangguki oleh Bibi Retno.
Beberapa menit kemudian, Arumi sudah berdiri di depan pintu kamar Alaska yang letaknya di tingkat atas, sehingga mengharuskannya menaiki anak tangga.
"Emm ... gimana ya? Aku ragu membangunkannya, tapi kalau enggak dibangunin nanti Mas Alaska makin marah. Ya udah, aku bangunin dari luar aja deh," gumam Arumi sembari menatap pintu kamar Alaska yang seharusnya juga ditempatin oleh dirinya.
Tok! Tok!
"Mas bangun! Mas sudah pagi!" teriak Arumi dengan sedikit mengeraskan suaranya.
Hening tidak ada sahutan dari dalam, lalu Arumi kembali mencoba memanggil nama suaminya.
"Mas Alaska! Bangun! Nanti telat masuk kerja." Arumi kembali berteriak dengan sangat keras, tetapi tidak menghasilkan apa-apa. Pintu itu masih tertutup dan belum terlihat tanda-tanda akan dibuka dari dalam.
"Gimana ini? Mas Alaska belum bangun-bangun, apa aku biarkan saja ya? Eh, tapi kan nanti Mas Alaska marah sama aku. Coba aku masuk saja kali ya? Mana tau enggak dikunci," gumam Arumi masih di depan pintu kamar Alaska.
Perlahan tangan lembut itu menggenggam genggang pintu kamar dengan hati yang berdebar karena saking takutnya.
"Bismillah, semoga tidak dikunci," kata Arumi penuh harap sekaligus takut.
"Huh! Alhamdulillah, enggak dikunci kamarnya. Aku jadi bisa masuk dengan mudah," ujar Arumi yang ternyata pintunya tidak dikunci oleh Alaska.
"Emm ... bagus juga ya kamarnya, aku suka walaupun baru sekali lihat kemarin, itu juga sekilas." Arumi nampaknya menatap sekeliling sudut ruangan kamar Alaska yang cukup luas.
Namun, perlahan pandangannya tiba-tiba tertuju kepada seorang laki-laki yang sedang tertidur nyenyak dibalik selimut tebal dan hangat itu. Langkah kakinya mengayun mendekati Alaska yang masih engan membuka kedua matanya.
Setalah Arumi sampai di samping tempat tidur Alaska, ia pun memberanikan diri untuk duduk di samping suaminya yang masih terlelap.
"Mas Alaska sangat tampan jika tertidur seperti ini. Wajahnya enak dipandang, berbeda dengan dia bangun, udah kayak gorila aja menakutkan. Untung masih tidur, dia enggak mendengar perkataanku," gumam Arumi kini sedang memandangi wajah tampan Alaska yang masih nyaman tertidur.
Dengan hati-hati, Arumi menggoyangkan tubuh Alaska supaya cepat bangun. Namun, masih belum ada reaksi apa-apa, ia pun menggoyangkan kembali tubuh suaminya dengan sedikit keras dan memanggil namanya dengan lembut.
"Mas bangun! Jangan tidur terus! Bangun Mas ih!" panggilnya sembari masih menggoyangkan tubuh Alaska.
Masih belum ada sahutan dari sang empu yang terlalu nyaman berbaring di atas tempat tidur walupun matahari sudah bersinar.
"Ih susah banget bangunin Mas Alaska! Kebiasaan deh. Aku coba cara lain aja kayak waktu itu," kata Arumi yang kini beranjak mendekati jendela kamar, lalu membuka lebar garden jendela itu supaya cahaya matahari dengan mudah masuk ke dalam kamar. Dengan sengaja pula Arumi membuka selimut tebal yang menyelimuti tubuh Alaska dengan sangat cekatan.
"Mas bangun! Sudah pagi, Mas kan harus berangkat kerja." Arumi memperingati Alaska supaya cepat bangun dari tidurnya.
"Ih apaan si? Masih ngantuk tau. Jangan ganggu deh! Masih pagi juga, buka-buka garden segala. Tutupin lagi sana!" titah Alaska yang seketika mengeliat karena suara Arumi dan juga sinar matahari yang masuk ke dalam kamar, ditambah selimut yang tersingkap membuatnya sadar dan terbangun. Namun, itu juga Alaska masih mengantuk.
"Ini sudah jam delapan pagi, cahaya matahari juga sudah masuk ni ke kamar Mas. Masa si Mas nyuruh tutupin lagi?" tanya Arumi yang sangat kesal dengan jawaban Alaska.
"Apa? Jam delapan pagi? Shitt! Kenapa kamu enggak bilang dari tadi? Dasar bodoh!" ungkap Alaska dengan segera turun dari tempat tidurnya dengan tenaga yang sudah kembali.
"Arumi sudah bangunin Mas dari tadi tahu, Mas Alaska nya saja yang kebo. Jadi, susah buat dibanguninnya. Udah Arumi ketuk-ketuk pintunya sambil berteriak terus menggoyangkan tubuh Mas waktu tidur tadi, tetap aja Mas Alaska enggak bangun-bangun," jelas Arumi membela dirinya yang memang tidak bersalah dari segi manapun.
"Diam! Jangan banyak bicara! Dan jangan mengatai aku lagi karena aku suamimu! Ingat itu, kamu jadi istri jangan membantah kata suami!" tegas Alaska dengan menatap tajam wajah Arumi.
"Iya Mas, maaf. Arumi cuma jelasin saja, enggak ngebantah kok," lanjut Arumi yang membuat Alaska semakin emosi.
"Sudah aku bilang diam! Jangan membantah! Itu kamu secara sengaja membantahku dengan berbicara seperti itu. Lebih baik kamu sekarang pergi dari sini! Aku mau mandi. Siapkan pakaianku dan juga serapannya dengan cepat," ucap Alaska yang tidak ingin berdebat lagi, karena itu akan membuang waktunya dengan percuma.
"Baik Mas, sarapannya sudah di bawah. Arumi siapin baju Mas dulu," ucap Arumi terburu-buru berjalan ke arah lemari untuk mengambil baju-baju yang akan suaminya kenakan hari ini.
Alaska terseyum puas, lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk menyegarkan tubuhnya. Hanya menghabiskan waktu sepuluh menit, Alaska sudah selesai dengan ritual mandinya, lantas ia pun melihat baju di atas tempat tidur yang sempat Arumi siapkan tadi.
Tangannya mengambil setelah baju yang dipilih Arumi. Senyuman muncul di wajah pria tampan itu setalah menatap baju kemeja juga jas, dan celana panjang yang istrinya pilih itu.
"Hem, cukup bagus juga pilihannya. Ini sesuai dengan seleraku, tidak buruk." Tanpa terduga Alaska memuji Arumi dengan memerhatikan baju pilihan istrinya itu.
...**************...
Beberapa menit kemudian, Alaska sudah siap dengan pakaian yang tadi disiapkan oleh Arumi. Alaska terlihat begitu tampan mengenakan baju itu, bawaannya terlihat berwibawa.
Kakinya Kini menuruni anak tangga. Dengan tatapan tajam, ia memerhatikan Arumi yang kini sedang menyiapkan sarapan untuknya. Alaska mulai terseyum melihat Arumi yang tidak hentinya bekerja karena ulah darinya.
"Mas ini sarapannya segera dimakan, nanti dingin," ucap Arumi, ia melayani Alaska dengan baik.
"Hem ya, kamu juga makan!" ujar Alaska bersikap dingin.
Arumi hanya mengangguk, seketika ruangan itu menjadi hening hanya suara sendok dan piring yang saling bersentuhan. Sampai Alaska menyelesaikan sarapan paginya, ia pun diantar Arumi ke depan rumah tanpa bicara sedikit pun.
"Aku kerja dulu, ingat nanti kamu di rumah beras-beras! Nyapu, ngepel, lap barang-barang di rumah ini sampai bersih, dan juga siram tanaman. Setelah aku pulang, semuanya harus beres dan bersih! Kalau tidak, maka akan ada hukuman untukmu," ucap Alaska seketika membuat kedua bola mata Arumi membulat sempurna.