[Update tiap hari, jangan lupa subscribe ya~]
[Author sangat menerima kritik dan saran dari pembaca]
Sepasang saudara kembar, Zeeya dan Reega. Mereka berdua memiliki kehidupan layaknya anak SMA biasanya. Zeeya memenangkan kompetisi matematika tingkat asia di Jepang. Dia menerima hadiah dari papanya berupa sebuah buku harian. Dia menuliskan kisah hidupnya di buku harian itu.
Suatu hari, Zeeya mengalami patah hati sebab pacarnya menghilang entah kemana. Zeeya berusaha mencari semampu dirinya, tapi ditengah hatinya yang terpuruk, dia malah dituduh sebagai seorang pembunuh.
Zeeya menyelidiki tentang masa lalunya. Benarkah dia merupakan seorang pembunuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29 | Miss Diah
Setelah berpamitan pada satpam di gerbang sekolah, aku melanjutkan langkahku menuju ruang guru. Dalam hati, aku berdoa agar ada seseorang yang mau menceritakan apa yang tersembunyi di balik peristiwa itu.
Ketika aku sampai di depan pintu ruang guru, aku mengetuknya pelan. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka dan seorang guru berambut blonde muncul. Dia tampak terkejut melihatku datang.
“Selamat datang! Apa yang bisa saya bantu?” tanyanya, menatapku dengan rasa canggung.
“Ada yang ingin saya tanyakan, Bu.” Suaraku bergetar, tetapi aku berusaha untuk tetap tenang.
“Mari bicara di dalam,” jawabnya, mengangguk sambil membuka pintu ruang guru lebih lebar.
Aku mengikuti langkah guru itu menuju tempat duduk yang tersedia di dalam ruang guru.
“Silakan duduk,” kata guru itu, mengisyaratkan agar aku duduk di kursi yang berhadapan langsung dengannya.
Dia mengambil tempat di seberang meja, tatapan tajamnya membuatku takut. Aku berusaha tetap tenang agar suasana ini tidak terasa lebih canggung.
“Jadi, siapa yang datang ke mari? Zeeya Vierhalt?” rupanya dia mengenaliku, nada bicaranya seolah meremehkan aku.
“Iya. Saya datang ke mari untuk mengetahui kejadian tiga tahun lalu, Bu.” Jawabku, tetap tenang.
“Oh, bangunan lama sekolah yang terkena gempa sudah direnovasi, kamu pasti melihatnya saat baru sampai, kan?”
Ucapannya membuatku bingung. “Saya tidak ingin tau hal itu …”
“Kenapa?” dia memotong perkataanku, “kejadiannya sangat menghebohkan. Beberapa murid yang sedang berada di gedung itu mengalami cedera parah, semua meninggal dunia. Hanya keponakan kepala sekolah yang masih selamat sampai sekarang.”
“Sungguh kejadian yang mengerikan ya, Bu … tapi … saya hanya ingin mengetahui tentang anak sekolah ini yang pernah hanyut di sungai belakang asrama.”
Wajahnya berubah, seolah tidak ingin membicarakan hal yang ingin aku jnginkan. “Ah, itu ...”
Dia terdiam sejenak, memikirkan kata-katanya. “Bukan kah seharusnya kamu menanyakan peristiwa itu kepada orang tuamu, bukan kepadaku?”
Aku menatap pin nama di saku jas guru itu yang bertuliskan Diah Jordan. “Kenapa Miss Diah berpikir seperti itu?”
Miss Diah menarik napas dalam-dalam, tampak berpikir keras. “Jadi, aku harus mulai dari mana? sepertinya orang tuamu memang menyembunyikan sesuatu dari putri mereka.”
“Apa pun itu, saya siap,” kataku, mencoba menegaskan apa yang aku inginkan.
“Baiklah. Jadi ... apa kamu lupa, kamu telah mendorong sahabatmu sendiri ke sungai?”
Tunggu, badanku mulai merinding. Seolah punggungku dibasahi keringat dingin. Aku tertegun, tidak bisa percaya apa yang baru saja kudengar.
“Maksud Miss Diah ...?” kepalaku dipenuhi tanda tanya.
“Kamu sendiri yang mendorong anak itu hingga jatuh ke dalam sungai.”
“Kian Hanami?” tanyaku memastikan anak yang dimaksud Miss Diah.
“Memangnya kamu hilang ingatan?!” Miss Diah kembali meremehkanku. “Siswa laki-laki yang baru saja pindah ke sekolah ini. Kamu bilang, dia teman masa kecilmu. Dia orang yang kamu dorong ke sungai!”
Kairo? Apa aku pernah mendorong Kairo ke sungai? Aku berusaha merangkai ingatan dalam pikiranku.
“Lalu ... apa yang terjadi dengan anak itu ...?” tanyaku ragu dan bibirku terasa bergetar.
“Tentu saja, dia meninggal. Tenggelam dalam sungai. Kenapa masih perlu bertanya?”
“Saya tidak mengerti. Anak yang hanyut dalam sungai ada dua orang? Kian dan ... Kairo?” Aku merasa bingung, berusaha memahami semua potongan informasi yang diberikan Miss Diah.
Miss Diah hanya mengangguk. “Sekarang kamu sudah ingat, kan? Sampai di sini saja pembicaraan kita. Seharusnya kamu tidak datang ke mari.”
Dia beranjak dari kursinya, berbalik lalu pergi. Rasa panik menyelimutiku. Aku merasakan sesak di dada, bingung sekali. Kalau Kairo waktu itu jatuh ke sungai dan meninggal, lalu siapa Kairo yang waktu itu aku temui?
“Tunggu, Miss. Apa yang terjadi pada Kian Hanami? Apa aku juga yang membunuh lalu menghanyutkannya?” aku ikut berdiri, suaraku meninggi.
Dia berhenti sejenak, menatapku dengan ekspresi wajah datar. “Pelankan suaramu. Lebih baik ... tanyakan langsung pada orang tuamu.”
“Satu pertanyaan lagi.” Kataku tegas untuk menghentikan langkah kakinya. “Apa di sekolah ini dulu ada anak bernama Sarah?”
“Sarah? Banyak siswa yang bernama Sarah,” jawabnya, tampak mulai kehilangan kesabaran.
“Anak bernama Sarah yang mungkin berhubungan dengan Kian Hanami. Semacam saudaranya atau temannya?” aku melanjutkan, berharap bahwa aku bisa menemukannya.
“Kalau tidak salah ... Kian punya kakak perempuan. Tapi namanya bukan Sarah.”
Sekarang aku tahu. Sarah adalah kunci dari masalahku. Semua masalah ini sangat berputar-putar tanpa ujung. Aku berusaha berpikir dengan jernih. Tapi sepertinya sia-sia. Aku tidak ingat segalanya.
“Kalau bukan Sarah, lalu siapa namanya?” tanyaku, tak sadar bahwa Miss Diah sudah meninggalkan ruang guru.
Aku memandang sekeliling, berharap bisa menemukan sesuatu. Pas sekali. Aku melihat di sudut ruangan, jejeran buku profil siswa tahun ajaran baru yang tersusun rapi di sebuah lemari.
Kalau Sarah adalah siswi sekolah ini, berarti dia ada di buku profil siswa itu. Untung aku pernah bertemu dengannya beberapa kali. Aku cukup mengingat bagaimana wajahnya.
Dengan langkah mantap, aku menghampiri lemari tersebut. Setelah membuka lemari, aku mulai menyusuri deretan buku profil siswa, memeriksa setiap sampul. Aroma kertas dan debu sedikit mengganggu, tetapi aku tidak peduli. Dalam pencarianku, aku mulai membuka buku satu per satu, berharap menemukan wajah yang kuingat.
Akhirnya, setelah beberapa buku, aku menemukan buku profil siswa pada tahun ketika aku dan Kian masuk di sekolah ini. Seperti foto yang aku temukan pada album di kamar Reega, wajah kami berdua mirip sekali. Aku mengamati setiap wajah yang muncul, tidak ada wajah yang mirip Sarah di sana.
Tapi aku tidak akan menyerah. Aku terus mencari, sampai akhirnya, di buku profil siswa terakhir, aku menemukan foto seorang gadis yang wajahnya sangat familiar, Sarah. Fotonya terpampang di buku profil siswa yang berjarak dua angkatan dariku dan Kian. Memang benar, dia Sarah dan mungkin dia juga kakaknya Kian Hanami.
...Nama : Kanara Brianca Hanami
...
...Tempat, tanggal lahir : XXX
...
...Alamat : Jalan Gayudra Timur nomor 9
...
Kubaca profilnya di bawah foto, yap, dia orang yang aku cari. Ada alamatnya juga, tak butuh waktu lama untuk aku bisa menemukannya.
...
Di sisi lain
Nova yang menunggu di luar kamar mandi wanita, merasa risih karena menunggu lama di sana. Kakinya mulai merasa pegal dan dia berulang kali melirik jam tangannya, menghitung detik yang berlalu dengan rasa cemas.
“Kenapa Nona lama sekali?” tanyanya pada rekan kerjanya, Tiana yang berdiri di sampingnya.
Tiana mengangkat bahunya, “Perlu aku cek ke dalam?” tawarnya.
Nova mengangguk. Tiana pun segera melangkah masuk ke dalam toilet restoran yang cukup ramai itu. Dia mengetuk salah satu bilik yang terlihat ada orang di dalamnya. Hanya bilik itu yang berisi orang dari sekian bilik yang ada.
“Nona, kenapa lama sekali? Apa Anda perlu bantuan?” Tiana mengetuk bilik tersebut.
Seketika seseorang keluar dari bilik. Dengan sedikit bingung, Tiana menyadari bahwa orang itu bukanlah orang yang dia cari.
“Oh, Anda bukan Nona Zeeya? Maafkah saya ...” Tiana tergagap, merasa malu karena telah salah orang.
“Bukan.” Perempuan dari dalam bilik itu keluar toilet.
Tiana mengecek setiap bilik yang ada di dalam toilet itu, dia benar-benar tidak menemukan seseorang yang sedang dia cari. Rasa panik mulai menjalar di dalam dirinya. Dia cepat-cepat kembali menemui Nova.
“Nova, gawat! ‘kode kuning’, Nona menghilang!” katanya panik.
“Sialan!” Nova mengambil walkie-talkie miliknya lalu berkata, “situasi darurat ‘kode kuning’. Saya, Nova melaporkan ...”
...
dari judulnya udah menarik
nanti mampir dinovelku ya jika berkenan/Smile//Pray/
mampir di novel aku ya kasih nasihat buat aku /Kiss//Rose/