Menaklukan Hati Ceo

Menaklukan Hati Ceo

Bab 1: Pertemuan yang Menggugah

Pagi itu, Jakarta bersinar cerah. Suara klakson mobil dan deru sepeda motor memenuhi udara, menciptakan simfoni kota yang tidak pernah tidur. Di tengah hiruk-pikuk ini, seorang wanita melangkah dengan percaya diri, mengenakan setelan jas berwarna hitam yang menyanjung lekuk tubuhnya. Lieka Fahrom, CEO perusahaan teknologi terbesar di Indonesia, menjadi pusat perhatian di setiap ruangan yang dimasukinya. Keanggunan dan aura kekuasaannya membuat banyak orang terpesona, meskipun sikap galaknya sering membuat orang segan untuk mendekat.

Lieka sedang bersiap untuk menghadiri rapat penting dengan investor. Di dalam mobilnya, dia merapikan rambut panjangnya yang tergerai, memastikan penampilannya sempurna. Dia tahu betul bahwa setiap detail harus diperhatikan dalam dunia bisnis yang penuh persaingan ini. Namun, di balik penampilannya yang tegas, ada rasa cemas yang menggelayuti hatinya. Proyek yang sedang dijalankan bisa menentukan nasib perusahaannya.

Setelah menempuh perjalanan singkat, mobilnya berhenti di depan gedung pencakar langit tempat perusahaannya beroperasi. Lieka melangkah keluar dengan langkah mantap, disambut oleh para karyawan yang sudah mengenal reputasinya. Dia melambai singkat, lalu melanjutkan perjalanan menuju lift.

Sementara itu, Tanier Alfaruq, seorang karyawan muda yang tampan dan kocak, berdiri di sudut lobi, menanti giliran untuk menyampaikan laporan kepada Lieka. Dia adalah seorang mahasiswa yang bekerja paruh waktu di perusahaan, dengan tekad untuk membantu Tanier dalam segala hal yang diperlukan. Kegembiraan dan rasa gugupnya bercampur menjadi satu saat melihat Lieka mendekat.

"Selamat pagi, Tanier!" sapa Lieka dengan senyuman hangat. Suaranya tegas, namun ada kelembutan di baliknya yang membuat Tanier terpesona.

"Selamat pagi, Bu Lieka," jawab Tanier, berusaha menjaga ekspresi wajahnya tetap tenang. Dia tahu betapa sulitnya bisa mendapatkan perhatian Lieka, apalagi dengan sifatnya yang keras dan penuh percaya diri.

Setelah menyelesaikan rapat, Tanier merasa perlu untuk mengekspresikan perasaannya. Dia telah menyimpan perasaan ini selama berbulan-bulan, melihat bagaimana Lieka menghadapi berbagai tantangan di perusahaan. “Akhirnya, saat yang tepat,” pikirnya, berusaha meyakinkan diri.

Saat Lieka berjalan melewati meja kerjanya, Tanier memberanikan diri untuk memanggilnya. "Bu Lieka, apakah saya bisa berbicara dengan Anda sebentar?"

Lieka berhenti dan memutar tubuhnya, menatap Tanier dengan tatapan penasaran. “Tentu, Tanier. Apa yang ingin kamu bicarakan?”

“Ini tentang proyek yang akan datang. Saya ingin menawarkan beberapa ide untuk meningkatkan efisiensi,” jawabnya, suaranya bergetar sedikit karena nervous.

Lieka mengangguk, memberi sinyal agar Tanier mengikuti ke ruang kerjanya. “Baiklah, kita bisa membahasnya di sana.”

Di dalam ruang kerja yang megah, penuh dengan peralatan modern dan lukisan abstrak, Tanier memulai presentasinya. Namun, semakin dia menjelaskan, semakin dia tidak bisa mengabaikan pesona Lieka yang memukau. Rambutnya yang panjang tergerai, wajahnya yang cantik terbatasi oleh raut serius saat mendengarkan penjelasannya. Tanier merasakan aliran ketegangan yang tidak biasa di antara mereka.

Saat Tanier menyelesaikan presentasinya, Lieka terdiam sejenak, menimbang setiap kata yang diucapkan. “Ide-ide kamu sangat menarik, Tanier. Saya suka kreativitas yang kamu tunjukkan,” ujarnya dengan senyuman.

Tanier merasa hatinya berdegup kencang. “Terima kasih, Bu Lieka. Saya harap bisa berkontribusi lebih banyak untuk perusahaan ini.”

Lieka mendekat, jarak di antara mereka semakin dekat. Dia menyadari ketulusan di balik kata-kata Tanier, dan itu mengusik perasaannya yang tersembunyi. “Kamu punya potensi yang besar, Tanier. Jangan pernah meragukannya,” ujarnya, meninggalkan Tanier dalam keadaan terpesona.

Setelah pertemuan itu, Tanier meninggalkan ruangan dengan perasaan campur aduk—antara gembira dan cemas. Dia tahu bahwa perasaannya terhadap Lieka lebih dari sekadar kekaguman, tetapi bagaimana mungkin dia bisa menyatakannya?

Setelah Tanier keluar dari ruangan, Lieka duduk sejenak di kursinya, merenungkan percakapan mereka. Ada sesuatu yang berbeda dari Tanier, sesuatu yang jarang ia temui di antara karyawan lain—sebuah kejujuran yang tulus dan semangat yang menggebu. Meskipun Lieka dikenal sebagai CEO yang galak dan tegas, Tanier tidak terlihat gentar di hadapannya, bahkan berani mengutarakan ide-idenya dengan percaya diri. Itu sesuatu yang ia hargai.

Ponsel Lieka bergetar di meja kerjanya, membuyarkan lamunannya. Ia mengambilnya dan melihat nama yang muncul di layar: Sugi, mantan suaminya. Sebuah nama yang selalu membawa ingatan pahit tentang masa lalu mereka. Lieka menghela napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengangkat panggilan tersebut.

"Ada apa?" tanya Lieka dengan nada dingin.

“Aku hanya ingin tahu kabarmu,” jawab Sugi dengan nada yang terdengar tenang namun penuh maksud terselubung. “Sudah lama kita tidak bicara, Lieka.”

“Kita tidak ada urusan lagi, Sugi. Jika ini tentang anak-anak, kamu bisa hubungi pengacara,” balasnya cepat. Suaranya mengandung ketegasan yang tidak bisa dibantah.

Sugi tertawa kecil di ujung telepon. “Oh, tenang saja, ini bukan tentang anak-anak. Aku hanya ingin membicarakan... kita. Mungkin kita bisa memperbaiki semuanya.”

Lieka mengepalkan tangannya, menahan amarah. Sugi, seperti biasanya, selalu tahu bagaimana caranya menyentuh saraf terlemahnya. Namun, masa lalu mereka terlalu penuh dengan luka dan pengkhianatan untuk bisa diperbaiki begitu saja.

“Kita sudah selesai, Sugi. Jangan buang waktuku lagi,” katanya dengan nada dingin sebelum memutuskan panggilan tanpa menunggu jawaban dari mantan suaminya.

Setelah itu, Lieka menatap pemandangan kota Jakarta dari balik kaca besar ruangannya. Hatinya masih belum sepenuhnya pulih dari pernikahannya dengan Sugi, tetapi ia tidak akan membiarkan masa lalu itu menghancurkan masa depannya lagi. Ia menguatkan dirinya, menyingkirkan pikiran tentang Sugi dan kembali fokus pada pekerjaannya.

***

Di sisi lain gedung, Tanier masih memikirkan interaksinya dengan Lieka. Rasa gugup yang sempat ia rasakan kini berganti menjadi kebanggaan. Dia berhasil menyampaikan ide-idenya kepada salah satu wanita paling berpengaruh di Indonesia, dan Lieka menerimanya dengan baik. Namun, di balik kebanggaannya, ada perasaan lain yang terus mengganggu pikirannya—perasaan yang lebih dalam dari sekadar rasa hormat terhadap bosnya.

Saat Tanier memasuki ruang kerja timnya, dia disambut oleh Fadil, teman sekantornya yang juga menjadi tempatnya curhat di perusahaan.

“Gimana tadi? Katanya lo presentasi di depan Bu Lieka?” tanya Fadil sambil menyandarkan tubuhnya di meja, menunggu jawaban dengan antusias.

Tanier tersenyum tipis. “Gue berhasil, bro. Dia suka sama ide-ide gue.”

Fadil tertawa dan menepuk bahu Tanier. “Gila, lo emang jago. Dapet pujian dari Bu Lieka? Itu kayak dapet bonus tahunan, tau nggak.”

Tanier ikut tertawa, tapi senyumnya segera memudar ketika ingatan tentang tatapan Lieka menghantui pikirannya. Tatapan itu, meskipun singkat, terasa begitu intens. “Tapi... gue nggak tau kenapa, bro, ada yang beda dari dia hari ini.”

Fadil mengangkat alis, penasaran. “Maksud lo?”

Tanier menggelengkan kepala. “Gue nggak tau pasti. Cuma, ada sesuatu di balik tatapannya. Gue ngerasa kayak dia lagi mikirin sesuatu yang berat, tapi dia nggak mau nunjukin.”

“Yah, namanya juga CEO, bro. Lo kira jadi bos di perusahaan sebesar ini gampang? Pasti banyak tekanan,” kata Fadil, berusaha menenangkan. “Yang penting sekarang lo udah bikin kesan bagus. Siapa tau karir lo bakal cepet naik.”

Meski begitu, Tanier tak bisa menghilangkan perasaan aneh itu. Ada sesuatu tentang Lieka yang membuatnya ingin lebih dekat, ingin mengenalnya lebih jauh, bukan hanya sebagai bos. Tapi dia tahu batasnya. Lieka adalah wanita berkelas, sementara dia hanya seorang mahasiswa yang bekerja paruh waktu untuk mencari pengalaman. Tidak mungkin ada kesempatan untuk lebih dari sekadar hubungan profesional, bukan?

Namun, saat malam semakin larut dan pekerjaannya selesai, pikiran tentang Lieka masih memenuhi benaknya. Dia berbeda. Itu satu-satunya hal yang Tanier bisa yakini. Dan dia tahu, entah bagaimana, pertemuan itu baru awal dari sesuatu yang lebih besar di antara mereka.

***

Sementara itu, di kantornya, Lieka mencoba untuk fokus pada laporan-laporan yang menumpuk di mejanya, tapi pikirannya terus kembali kepada Tanier. Pemuda itu memiliki sesuatu yang berbeda—sesuatu yang membuatnya merasa lebih hidup, meskipun dia tidak ingin mengakuinya.

Malam itu, Lieka merasakan ketegangan yang tidak biasa di hatinya. Apa yang sebenarnya dia rasakan terhadap Tanier? Sebuah pertanyaan yang terus menghantui pikirannya ketika dia menatap keluar jendela, menyaksikan kota Jakarta yang tetap hidup di malam hari.

Pertemuan dengan Tanier telah menggugah sesuatu dalam dirinya—sebuah perasaan yang telah lama terkubur di bawah kesibukan dan luka masa lalunya. Dan meskipun dia mencoba mengabaikan perasaan itu, dia tahu bahwa hubungannya dengan Tanier tidak akan berhenti sampai di sini.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!